Dunia Sophie adalah buku yang menamai dirinya novel filsafat, sebagaimana tercantum di dalam judulnya dalam edisi bahasa Indonesia terbitan Mizan. Buku ini memang seperti hendak menjelaskan tema-tema di dalam filsafat melalui tokoh-tokoh filsafat secara berkesinambungan sejak tokoh filsafat yang pertama hingga masa-masa modern dan pascamodern. Caranya adalah dengan menceritakan karakter bernama Sophie yang mendapatkan pelajaran filsafat dari seorang guru misterius lewat surat-surat.
Untuk menyampaikan dua misinya, yaitu bercerita tentang Sophie dan memberikan pelajaran filsafat, buku ini terbelah kepada dua hal yaitu, kisah Sophie sendiri dan pelajaran filsafat yang diterima oleh Sophie. Bagi pembaca yang kurang telaten, mereka hanya akan membaca bagian pelajaran filsafat dan mengabaikan kisah tentang Sophie. Sebagai catatan, novel ini memang menulis secara berbeda bagian kisah Sophie dan bagian pelajaran filsafat. Perbedaan penulisan itu tampak pada perbedaan font sehingga memudahkan pembaca untuk membaca hanya bagian pelajaran filsafatnya saja—atau kisah Sophie-nya saja.
Persoalannya, mereka yang kurang telaten akan ketinggalan pesan penting dari penulis tentang filsafat yang sedang ditulisnya, padahal itulah semacam twist yang membuat pelajaran filsafat versi penulis menjadi menarik, unik, dan berbeda serta jarang ditemukan di dalam buku-buku filsafat lainnya. Mereka yang hanya membaca bagian pelajaran filsafatnya pastilah keliru memahami bahwa buku ini sekadar menjadikan media novel dan pengisahan sebagai upaya untuk memudahkan pelajaran filsafat atau semata-mata hendak membuat pelajaran filsafat yang dianggap membosankan menjadi menarik. Sesungguhnya penulis hendak menyelipkan pesan filosofis di balik caranya bertutur, yang hanya mungkin dipahami oleh mereka yang membacanya dengan telaten. Karena itulah buku ini bukan hanya novel filsafat tetapi juga novel filosofis.
Twist dalam novel ini tampak di pertengahan novel. Sejak awal novel Sophie digambarkan sebagai anak yang sedang membaca surat-surat dari seorang misterius. Surat-surat tersebut berisi pelajaran filsafat sekaligus berisi kisah tentang seorang bernama Hilde. Ternyata Sophie bukanlah pelaku sebagaimana dibayangkan, meskipun tetap Sophie sebagai pemeran utama. Sophie tidak lebih dari karakter rekaan ayah Hilde yang diceritakannya kepada anaknya di dalam surat-suratnya. Yang membedakan Sophie dengan orang-orang pada umumnya—misalnya ibunda Sophie—adalah kesadarannya sebagai karakter rekaan, sedangkan orang-orang pada umumnya tidak menyadari hal itu.
Dengan bertutur seperti gambaran di atas, penulis sedang membuka sebuah perdebatan besar di dalam filsafat yang menyangkut banyak tema seperti: apakah manusia sungguh-sungguh bebas atau tidak lebih dari wayang yang dikendalikan dalang? Apakah makna bebas itu sejatinya? Apakah manusia adalah subjek bagi semua aktivitasnya atau manusia sekadar objek dari kenyataan yang melingkupinya? Apakah yang tampak ini semuanya nyata atau sesugguhnya maya? Apa yang dimaksud nyata? Apakah ketika manusia manusia menginginkan sesuatu, maka mereka sungguh menginginkannya atau ada kekuatan di luar diri mereka yang membuat mereka menginginkannya? Apa yang dimaksud ingin? Bahkan lebih jauh: Apakah kita ini benar-benar ada atau hanya rekaan dari sesuatu yang jauh lebih besar dari kita? Masih banyak lagi yang lain yang diselipkan oleh penulis lewat cara bertuturnya yang tidak sempat dipahami oleh tulisan ini.
Kita tentu tidak bisa menerima kenyataan bahwa kita sama sekali tidak memiliki diri dan pikiran kita dan juga tindakan-tindakan kita walaupun belum tentu kita bersedia bertanggung jawab atas semua itu. Namun di dalam kesadaran terdalam, kita juga memahami bahwa kita tidak sepenuhnya sebagai pengendali utama atas semua itu. Terlalu banyak hal yang benar-benar berada di luar kendali kita.
Karenanya, mengetahui bukan persoalan menguasai atau mengendalikan, tetapi lebih merupakan pengenalan terhadap batas-batas kemampuan manusiawi dan memanfaatkannya untuk hidup bersama manusia lain dengan lebih baik. Manusia tidak hanya menjadi ‘âlim (mengetahui) tetapi juga ‘ârif (mengenal). Kedua istilah ini sesungguhnya bermakna serupa dan berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Namun kedua istilah ini berbeda makna. Segala akar kata yang berkaitan dengan ‘âlim selalu bermakna penguasaan, pembekukan, pengotakan, perangkuman, dan segala hal yang bersifat menjajah. Bebeda dengan segala akar kata yang berkaitan dengan ‘ârif karena lebih bermakna pengakuan terhadap perbedaan, kekurangan, dan cacat. Karena itulah kata ‘ârif sering bergandengan dengan kata bijaksana.
Ilmu pengetahuan dan teknologi modern lebih menekankan kepada dimensi ‘âlim dan mengabaikan dimensi ‘ârif sehingga ilmu pengetahuan modern lebih berarti menguasai dan menjajah serta mengeksploitasi daripada mengenali, memahami, dan tumbuh bersama. Kerusakan alam dan akhirnya kerusakan manusia adalah kensekuensi tak terelakkan dari sok ‘âlim-nya manusia dan melupakan ke-‘ârif-annya.[]
Editor: AMN