Taubat dalam Tasawuf Karakter Spiritual

nu.or.id

Salah satu makhluk yang sangat kompleks adalah manusia. Penciptaan manusia dipadukan antara unsur akal dan nafsu. Kedua unsur tersebut menanamkan gejolak dalam diri seorang manusia yang sulit untuk dihindari. Unsur  akal tidak mesti sejalan dengan unsur  nafsu. Oleh karenanya, bisa diprediksikan akan selalu terjadi gejolak kedua unsur tersebut untuk mendapakan hati sang nahkoda yang bernama manusia.

Unsur akal yang ada pada manusia menurut Imam Mawardi dalam adàb  ad-dunyâ wa ad-dîn memiliki sebuah potensi sangat berharga bagi manusia, karena unsur akal merupakan yang bisa membedakan antara manusia dengan hewan. Melalui unsur akal, seorang manusia bisa tahu apa itu hakikat dari semua yang Allah SWT berikan dan juga bisa mengetahui baik dan buruk segala ciptaan-Nya. Unsur Akal dari segi bahasa, berakar dari kata عقل-يعقل yang memiliki makna mengikat.

Bacaan Lainnya

Pada sisi yang berbeda unsur nafsu dalam diri manusia menurut Ahmad Warson Munawwir menuliskan nafs itu adalah  jiwa, ruh, jasad, orang, diri sendiri, semangat, hasrat dan kehendak. Kata nafsu merupakan kata yang banyak diistilahan atau disebutkan dalam al-Qur’an. Dalam al-Qur’an, kata nafsu diartikan sesuatu yang menghasilkan tindakan dalam diri manusia.

Hal senada juga disampaikan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengenai nafsu, beliau mengartikan bahwa  nafsu merupakan sesuatu yang mendekati sebuah tabiat memiliki cocok. Kecocokan tersebutlah yang menjadikan satu bentuk karya yang ada pada  manusia, sebagai urgensi kelangsungan hidupnya.

Dalam karyanya ‘awârif al-ma’ârif, Syaikh Syihabuddin Umar Suhrawardi membagi pengertian nafsu menjadi dua makna. Pertama, Nafs-i-shay’ berarti sebuah nafsu yang terbit dari sesuatu yang berupa esensi atau dzat dan memiliki hakikat dari sesuatu tersebut. Bisa dimaknai bahwa nafsu itu berdiri atas nafsunya itu sendiri. Kedua, Nafs-i-nâthiq-i-insâni  yang berarti nafsu yang bersifat rasional manusia yang terdiri dari abstrak pada berbagai karunia atau anugerah yang berada pada tubuh, bisa dinamakan dengan fitrah dasar manusia dan suatu kecemerlangan yang dikaruniakan atau dianugerahkan oleh Allah SWT karena kemuliaan jiwa manusia sebagai tempat pengungkapan kedekatan dan kesalihan.

Dari pengertian dua unsur tersebut maka manusia tidak luput dari sebuah kesalahan. Sepanjang hidupnya setiap kesalahan selalu menyertainya, baik itu bentuk kesalahan kepada Allah SWT sebagai sang pencipta maupun kesalahan sebagai makhluk sosial sebagai manusia. Oleh karenanya, Allah SWT memberikan solusi atas semua perbuatan yang dilakukan oleh manusia dengan sebuah pertaubatan.

Dalam tafsir Sa‘id Hawwa taubat itu;

أي: توبة صادقة  أو خالصة وقال ابن كثير : توبة صادقة جازمة تمحو ما قبلها من السيئات وتلم شعث التائب وتجمعه و تكفر عما كان يتعاطاه من الدناءات

Taubat yang benar atau yang murni. Ibnu Katsīr mengatakan dengan taubat yang benar dan memutuskan maksudnya menghapus kesalahan-kesalahan sebelumnya. Menghimpun yang terserak atau mengumpulkannya dan menghapuskan segala perbuatan yang hina.

Istilah taubat di atas dimaknai oleh Sa‘id Hawwa yaitu taubat sadîqah (jujur, benar) dan khalîsah (murni, bersih, tulus). Selanjutnya dijelaskannya dengan mengutip Ibnu Katsir bahwa taubat nasûha adalah taubat yang menghapus kesalahan yang telah lalu. Berbagai kekusutan ataupun kesalahan yang membuat diri terhina dan rendah lalu dihimpun dan menjadi terhapus dengan taubat.[2] Artinya taubat tersebut berfungsi menghilangkan dan menghapus kesalahan. Taubat juga dipahami dapat memutus rangkaian dosa ibarat memutus tali yang mengikat suatu benda. Apabila ujung tali dekat benda tersebut dipotong maka tidak ada lagi hubungan tali dengan benda tersebut. Begitulah tujuan yang dikehendaki dari taubat nasûha.

Dijelaskan juga dalam tafsir Ibnu Ârabi bahwa taubat nasûha berfungsi memperbaiki jiwa yang rusak, membetulkan yang salah atau menutup yang cacat, sebab hal yang rusak, salah atau cacat tersebut tidak dapat baik kembali kecuali dengan taubat. Taubat inilah yang disebut dengan taubat khālisah yaitu murni dari ketercampuran atau tercemar dari kecenderungan kepada hal–hal yang mengandung dosa kepada posisi ia bertaubat.

Penafsiran Ibnu Ârabi terkait dengan taubat nasûha menegaskan bahwa dengan taubat nasûha seseorang terlepas dari dosa, naik (taraqqi) dari tempat yang masih tercemar dengan dosa ke posisi taubat yang membuka tabir antara hamba dengan Tuhan. Maqām ini memperbaiki dan menyempurnakan yang rusak dari kesalahan dan dosa.

Dengan memperbaiki dan menyempurnakan setiap perbuatan yang merusak yang menyebabkan kesalahan dan dosa, maka karakter spiritual yang dibutuhkan oleh setiap insan sedini mungkin adalah taubat. Taubat dengan senantiasa mematenkan diri untuk selalu cermat dan taat dalam setiap kehidupan dalam menjalankan aktivitas agar selalu teringat akan hal-hal yang dapat menarik pada jurang kesalahan dan kecurangan.

Proses membangun karakter spiritual sedini dan sekecil mungkin dapat membentuk habit terkecil secara otomatis hingga tergapai semua keinginan untuk selalu dekat dengan Sang Khâlik, Sang pemberi setiap nikmat kepada hamba-Nya untuk senantiasa selalu ingin bercengkrama dengan-Nya. Karakter Spiritual yang dibangun itu dengan senantiasa selalu melakukan sebuah pengampunan kepada Sang Khâlik yang Maha Ghafûr diiringi dengan selalu berkomunikasi kepada setiap orang disekelilingnya dengan komunikasi yang qaulan sadidan, qaulan ma’rufan, dan ahsana qaulan agar senantiasa bisa dengan mulus ketika berkomunikasi dengan Sang Maha Pendengar. Taubat Hablumminallâh dan Minannâs.

Referensi

  1. Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim, Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Yang Memendam Rindu, (Jakarta: Darul Falah, 1424 H)
  2. Al-Mawardi, Imâm, Adâb al-Dunya wa al-Dîn, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1999)
  3. Arabi, Ibnu, Tafsir Ibnu Ârabi, , Beirut: Dâr al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H/2006 M, Jilid. ke-2, cet. ke–2
  4. Hawwa, Sa‘id, al–asâs fī at–Tafsîr, Kairo: Dâr al-Salâm, 1424 H/2003 M, cet. Ke–6, Jilid ke-10
  5. Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002)
  6. Nashari, Fuad, Agenda Psikologi Islami (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002)

Suhrawardi, Syaikh Syihabuddin Umar, ‘Awârif al-Ma’ârif, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *