Tafsir Al-Mishbah merupakan salah satu tafsir Al-Qur’an yang merupakan buah karya Cendekiawan Muslim Indonesia M. Quraish Shihab. Hampir semua para pengkaji tafsir Al-Qur’an mengetahui karya monumental ulama lulusan Al-Azhar Cairo itu, karena kekayaan ilmu yang dikandung di dalamnya.
Telah banyak akademisi yang meneliti (bahkan sebagian mengkritik) tafsir Al-Mishbah dari berbagai sisinya, mulai dari sisi teologi, sintaksis, morfologi, historis, fiqih, dan lain sebagainya. Tafsir Al-Mihbah memiliki keluasan ilmu yang menarik untuk digali para pembacanya.
Satu hal yang menarik dalam tafsir Al-Mishbah dan jarang disingkap ialah sisi-sisi lokalitas tafsir karya mantan Menteri Agama ini. Pasalnya, sebuah karya tak bisa lepas dengan konteks sosial dan budaya dimana dilahirkan (ditulis). Pun demikian dengan Al-Mishbah, lekat di dalamnya nilai-nilai lokalitas keindonesiaan.
Pertama, aspek kebebasan beragama. Ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah 256, beliau M. Quraish tegas menyatakan bahwa tidak ada paksaan untuk menganut agama Islam. Penggunaan diksi “menganut” cakupannya luas, termasuk kebebasan keyakinan, keberagamaan dan kepercayaan.
Kebebasan beragama sendiri merupakan ciri khas dari bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragam. Gagasan Quraish Shihab menguatkan posisi Pancasila dan UUD 1945 yang tegas membentengi kebebasan beragama.
Kedua, aspek penghormatan kepada semua manusia. Dalam menafsirkan QS. Al Al-A’raf 189, M. Quraish mengomentari kondisi kekerasan terhadap perempuan yang seringkali terjadi di Indonesia. Kenyataan ini bertentangan dengan visi Al-Qur’an yang mengafirmasi kesetaraan kepada ciptaan Allah.
Lebih lanjut beliau menegaskan redaksi di dalam terjemahan Al-Qur’an yang menyatakan ‘perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki’ bukan memposisikan perempuan sebagai makhluk nomor dua. Keduanya tetap setara di sisi Allah dan dalam soal kemanusiaan. Allah pun menegaskan melalui QS. Al-Hujurat 13, bahwa semua manusia diciptakan dalam jenis laki-laki dan perempuan agar saling mengenal, bukan saling menguasai apalagi merendahkan.
Quraish Shihab mengkritik adanya kasus perendahan perempuan yang seringkali terjadi bukan hanya di Indonesia, tetapi di dunia. Al-Qur’an bagi beliau, sudah sejak 14 abad yang lalu mengedepankan kesetaraan dan persamaan antar manusia. Ini relevan dengan konteks keindonesiaan dimana semua masyarakat diberi kesempatan dalam urusan sosial, politik, kemanusiaan, dan lain sebagainya.
Aspek ketiga adalah aspek kebebeadan berpendapat dengan menggunakan moralitas. Dalam tafsir QS. Ali Imran 159, Quraish secara tidak langsung mengafirmasi pentingnya demokrasi. Menurutnya, kebebasan berpendapat penting untuk mewujudkan masyarakat yang maju dan kritis, yaitu dilakukan oleh orang-orang yang cakap dalam bermusyawarah.
Sebaliknya, Quraish Shihab menolak otoritarianisme. Dalam bersosial dan bermasyarakat, kemerdekaan perlu dijunjung tinggi. Pemerintah dan masyarakat perlu memiliki kedekatan. Kondisi ini sejalan dengan konteks Indonesia dimana masyarakat diberi kebebasan berpendapat dibuktikan adanya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memberi masukan, pandangan, dan kritik kepada pemerintah.
Aspek-aspek tersebut di atas memberi isyarat kuat bahwa tafsir Al-Mishbah lekat dengan lokalitas keindonesiaan. Tidak hanya hendak menampilkan nilai-nilai Qur’ani, karya Guru Besar Ilmu Al-Qur’an ini juga memberi apresiasi terhadap lokalitas keindonesiaan yang juga harus dijunjung tinggi oleh masyarakat. Ini sekaligus menegaskan bahwa Islam dan keindonesiaan tidak meski dipertentangkan. Keduanya bisa menjadi sayap agar masyarakat Indonesia terbang dalam kemajuan, kebudayaan, dan keagamaan.[]