Fikih dalam KBBI artinya adalah ilmu tentang hukum Islam. Fikih juga merupakan salah satu ilmu keislaman tradisional yang eksis dan mandiri. Bahkan fikih menjadi yang paling kokoh dan mampu menguasai corak pemikiran umat Islam dari masa ke masa terhadap agamanya sehingga fikih dominan membentuk cara berfikir mereka. Kenyataan ini kemudian merumuskan istilah fikih kontemporer sebagai jawaban dari problematika terkini yang dihadapi umat Islam.
Istilah fikih kontemporer membedakan fikih yang telah ada sejak masa kenabian Muhammad SAW dan masa para sahabat Nabi yang sering disebut dengan istilah fikih klasik. Fikih klasik banyak berisi hukum Islam yang mengatur pelaksanaan berbagai macam ibadah yang dibebankan pada setiap muslim yang sudah mukallaf yang meliputi lima prinsip pokok yaitu wajib, sunnah, makruh, haram, dan mubah. Akan tetapi fikih klasik memiliki keterbatasan tekstual untuk mengadaptasikannya pada problematika kemasyarakatan terkini. Meskipun demikian, fikih klasik menyiapkan warisan berharga untuk membangun hukum di masa depan, seperti fikih kontemporer.
Fikih kontemporer merupakan istilah yang terdiri dari dua kata yaitu fikih dan kontemporer. Kata fikih atau fiqh (فقه ) secara bahasa adalah mashdar dari bab فقِهَ , يفقَهُ faqiha – yafqahu, yang artinya pemahaman. Secara istilah fikih ialah معرفة بالأحكام الشرعية العملية بأدلتها التفصيلية artinya pengetahuan tentang hukum-hukum syariat praktis berdasarkan dalil-dalil rincinya. Atau bisa juga diartikan sebagai ilmu yang dengan ilmu itu mengetahui hukum-hukum syara’ yang amaliyah (praktis) yang diperoleh dari dalil-dalil yang bersifat tafshili (terperinci).
Jadi, apabila kata kontemporer yang diartikan dalam KBBI adalah sewaktu, sesama, pada waktu atau masa yang sama, pada masa yang kini atau terkini, maka secara istilah fikih kontemporer dapat maknai dengan perkembangan fikih dewasa ini atau terkini. Atau dengan pengertian lainnya, yaitu suatu ilmu tentang hukum-hukum syariat Islam yang bersifat praktis atau ahkam ‘amaliyah dari dalil-dalil yang terperinci terhadap masalah-masalah terkini yang dihadapi umat Islam.
Ketentuan-ketentuan hukum praktis atau ahkam ‘amaliyah yang dihasilkan oleh fikih kontemporer tersebut sudah tentu merujuk pada sumber hukum syariah islamiyah yang meliputi al-Qur`an, sunnah atau hadis, ijma`, dan qiyas. Hanya saja peran ijtihad begitu kental mewarnai dinamika fikih ini. Hal ini terjadi karena lahirnya fikih kontemporer dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yaitu, Pertama, fikih kontemporer lahir karena adanya arus modernisasi yang memunculkan problematika baru sebagai bagian yang melekat bagi pemikir-pemikir Islam dalam berijtihad. Kedua, fikih kontemporer muncul karena adanya kesadaran para ulama untuk merevisi standar hukum yang berlaku bagi umat Islam yang lebih islami bukan sekedar menjiplak hukum sekuler hasil bangsa Barat. Ketiga, masih terikatnya pemikiran fikih klasik terhadap permasalahan tekstual sehingga kurang mampu beradaptasi dengan dinamika kekinian yang terjadi.
Beberapa faktor di atas menjadikan dinamika fikih kontemporer lebih berkembang sehingga melahirkan nilai baru dan corak pemikiran baru dengan beragam istilah seperti fikih sosial, kontekstualisasi hukum Islam , fikih demokratis, fikih kemanusiaan, fikih lintas agama, dan yang akhir-akhir ini fikih Nusantara. Kenyataan ini semakin menguatkan tentang keterkaitan fikih dengan konteks-konteks kehidupan terkini sehingga menjadikannya bukan sekedar sebagai ilmu teoritis (ulumul nazhariyah), akan tetapi juga menjadikannya sebagai ketentuan-ketentuan hukum praktis (ahkam ‘amaliyah) yang dapat diaplikasikan dalam berbagai macam aspek kehidupan. Dari sinilah objek kajian fikih kontemporer dikatagorisasikan menjadi beberapa aspek, yaitu:
- Aspek hukum (al-ahwal al-syakhshiyah), yang biasa disebut dengan istilah hukum perdata keluarga Islam, seperti perkembangan hukum waris, akad nikah via telepon, nikah hamil, KB, poligami, dan kawin kontrak.
- Aspek ekonomi (mu’amalah, maaliyah atau al-ahkam al-madaniyah), seperti masalah hukum ribawi, zakat produktif, zakat profesi, wakaf tunai, dan jual-beli online.
- Aspek pidana (al-ahkam al-jinaiyah), seperti isu-isu HAM dan humanisme beragama serta sistem hukum konvensional.
- Aspek kewanitaan, seperti isu-isu gender, kepemimpinan wanita dalam ibadah khusus dan umum, praktik berbusana dan berdandan, dan wanita karir.
- Aspek medis, seperti isu-isu pembahasan transgender, transplantasi organ tubuh, cloning, bayi tabung, hukum kebiri, dan euthanasia.
- Aspek teknologi, seperti penyembelihan secara modern, penggunaan teknologi ilmu falak dengan hisab/astronomi modern, dan hukum shalat di angkasa luar.
- Aspek politik, seperti konsep dan cita-cita negara Islam, kepala negara perempuan, loyalitas aparat sipil dan militer kepada pimpinan.
- Aspek Ibadah (mahdhah), seperti zakat fitrah dengan uang tunai, tayamum selain tanah, perjalanan haji dan umrah via travel, jama’ah haji dan umrah wanita tanpa mahram, dan ibadah kurban dengan uang.
Dari beberapa aspek di atas yang menjadi objek kajian fikih kontemporer diharapkan dapat menghasilkan fatwa-fatwa yang bersifat adaptif dan akomodatif terhadap situasi dan kondisi masa kini yang dihadapi umat Islam dalam menyelesaikan berbagai macam masalahnya. Biasanya fatwa-fatwa tersebut dalam bentuk kolektif atau al-fatwa al-ijma’i dan dalam bentuk individu atau al-fatwa al-fardli.
Fatwa kolektif atau al-fatwa al-ijma’i adalah fatwa yang dihasilkan oleh ijtihad sekelompok orang, tim atau panitia yang sengaja dibentuk. Biasanya fatwa kolektif ini dihasilkan melalui suatu diskusi dalam suatu lembaga ilmiah dengan persyaratan anggotanya adalah memiliki kemampuan tinggi dalam bidang fikih dan berbagai ilmu yang lainya yang mendukung. Misalnya Majlis Ulama Indonesia (MUI), Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam, dan Kementerian Agama.
Sedangkan fatwa individu atau al-fatwa al-fardli adalah hasil penelitian individu terhadap dalil dan hujjah yang akan dijadikan dasar berpijak dalam perumusan suatu fatwa. Misalnya fatwa Syek Mahmud Shalatout, fatwa Yusup Qaradhawi, Fatwa Ibn Taimiyah, Fatwa Muhammad bin Wahab, fatwa Syeikh Muhammad Abduh, dan Fatwa Syeikh Rashid Ridha. Meskipun fatwa mereka hasil ijtihad yang bersifat perorangan, namun seringkali dijadikan dasar untuk menetapkan fatwa kolektif.
Dengan demikian, maka pembahasan di atas mengantarkan pada pengertian fikih kontemporer sebagai suatu ilmu tentang syariat Islam yang bersifat praktis, adaptif, dan akomodatif terhadap situasi dan kondisi masa kini yang dihadapi umat Islam dalam menyelesaikan segala permasalahnya dengan cara merujuk pada al-Qur`an, sunnah atau hadis, ijma`, dan qiyas, melalui ijtihad yang dilakukan oleh kolektif atau perorangan dengan syarat memiliki kemampuan tinggi dalam bidang fikih dan berbagai ilmu lainnya yang mendukung.
Editor: IS