Setelah kita berjuang secara spiritual, memerangi nafsu amarah. Meningkatkannya menjadi nafsu lawamah. Berusaha lagi dengan mengubahnya menjadi nafsu mulhimah.
Kini kita sampai pada nafsu mutmainah (the serene self), nafsu yang tenteram. Di dalamnya ada keyakinan yang kokoh terhadap Allah, swt. Berperilaku yang baik, hidup dipenuhi dengan amal saleh. Merasakan kenikmatan spiritual dekat dengan Allah SWT. Hidup dalam mengabdi dan memuja-Nya. Ada rasa syukur yang mendalam atas karunia hidup di dunia. Ada kepuasan hati di dalamnya.
Tahapan nafsu ini menurut sebagian sufi termasuk zona aman. Meski begitu ego negatif, seperti hawa nafsu, masih dapat mempengaruhi pemilik nafsu mutmainah meski sifatnya sementara tidak permanen.
Allah SWT menyapa mereka dalam klasifikasi nafsu ini dengan sangat apresiatif penuh cinta pada hamba-Nya, “Wahai jiwa yang tenteram, kembalilah kepada Tuhanmu, dengan ridha dan diridhai (Tuhan)” (QS. Al-Fajr/89: 27-28).
Tempat mereka yang bernafsu mutmainah ini adalah di surga-Nya bersama hamba-hamba Allah lainnya yang saleh (QS. Al-Fajr/89: 29-30).
Ketika sifat-sifat Iblis yang tirani telah dapat ditundukkan. Sifat-sifat hewani telah dapat dikendalikan. Maka orang pada taraf ini telah mencapai keseimbangan (balance) secara psikologi sufi.
Dalam kondisi seperti itu, yang muncul adalah sifat-sifat luhur terpuji (al-akhlaaq al-kariimah), seperti kerendahan hati (tawaadhu’), harga diri (‘izzah), kelembutan (luthf), dan ketundukan (concordance).
Prof. Robert Frager atau Syaikh Raghib Al-Jerahi, dalam Heart, Self, and Soul, mengatakan bahwa pada tahap ini, orang akan menikmati impian umum manusia beriman, para zahid, para pelaku kebaikan, orang-orang yang lurus dalam hidup, para pencipta kedamaian, orang-orang yang suci (QS. Al-Baqarah/2: 222), dan hamba-hamba yang taat yang hidup dengan tenteram.
Itulah pencapaian spiritual sejati. Merasa puas dengan masa sekarang, dengan segala yang ada, dengan segala yang Allah swt berikan (ar-ridhaa’ bi al-qadhaa’).
Ketenteraman hati dan kepuasan batin itu berakar dari cinta pada Allah SWT. J. Nurbakhsh dalam The Psychology of Sufism mengatakan ketika nafs tirani disentakkan oleh cinta yang menyergap, maka ia berubah menjadi nafs yang tenteram.
Ada cahaya hati yang menetralkan kecenderungan-kecenderungan negatif dan angan-angan (thuul al-amal) dari tingkat nafs yang lebih rendah. Salah satu dasar dari tahapan nafsu ini ada penyingkapan hati. Yang sangat penting bagi peningkatan nafs ke tahap lebih tinggi lagi.
Syaikh Muzhaffir mengilustrasikan nafs mutmainah ini, seperti berikut: di antara sekian isteri, cuma satu yang paling disukai Harun Al-Rasyid. Bukan paling cantik, tetapi perempuan sederhana (plain woman). Ketika ditanya, apa sebabnya. Harun Al-Rasyid mendemonstrasikan tawaran pada mereka.
Para isteri itu, disuruh masuk ke dalam kamar penuh dengan perhiasan dan harta. Mereka beramai-ramai masuk dan berebut harta. Hanya satu yang tidak masuk, yaitu perempuan sederhana itu.
Ketika ditanya, “Mengapa kau tidak mengambil sesuatu untuk dirimu ?” Perempuan itu menjawab, “Yang saya mau hanyalah melayani Anda. Andalah yang saya cintai, dan kepuasan Anda adalah satu-satunya yang saya inginkan”.
Harun Al-Rasyid berkata, “Kini, kalian saksikan sendiri. Mengapa aku lebih memilih dia dari yang lain. Karena kecantikan batiniah nya (inner beauty), maka aku juga mencintainya. Setiap keinginannya adalah perintah bagiku”.
Fakta historis itu, bisa dijadikan ilustrasi seperti apa, bagaimana sifat, karakter, penampilan mereka dengan nafs mutmainah kaitannya dengan Allah SWT dan sesama manusia (QS. Ali Imran/3: 112). Alangkah indah, hidup dengan nafs mutmainah ini. Semoga kita semua diberi kemampuan untuk bisa secara terus menerus meng-up grade diri hingga nafs yang suci. Aamiin.[]
Editor: AMN