Memahami Fikih Muamalah

Fikih dalam KBBI artinya ilmu tentang hukum Islam. Salah satu di antara tujuan hukum Islam adalah untuk mengatur teknis hubungan antara manusia dengan Allah SWT dan juga mengatur tekhnis hubungan antara manusia dengan sesamanya. Relasi yang pertama memformulasikan konsep fikih ibadah, sedangkan relasi yang kedua memformulasikan konsep fikih muamalah. Jika dalam fikih ibadah ketentuan-ketentuan hukumnya mengatur tekhnis hubungan antara manusia dengan Allah SWT, maka dalam fikih muamalah ketentuan-ketentuan hukumnya mengatur tekhnis hubungan antar sesama manusia dalam kaitannya dengan keduniaan.

Fikih Muamalah tersusun dari dua kata, yaitu fikih (فقه) dan muamalah (معاملة). Kata fikih (فقه) secara etimologis berasal dari kata faqiha (فقه) yang berarti paham. Secara terminologis fikih didefinisikan oleh Muhammad Utsman Syabiir dalam buku Al-Madkhol fii Fiqh Al-Muamalat Al-Maliyah adalah suatu pengetahuan tentang hukum syariat Islam yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat disertai dengan dalil-dalil yang terperinci.

Sedangkan kata muamalah (معاملة) berasal dari kata ’amila (معاملة – يعامل – عامل ) oleh Ibnu Manzur dalam Lisaan Al-`Arab diartikan dengan interaksi atau pergaulan dengan yang lain. Artinya juga muamalah disini merupakan hubungan kepentingan yang terjalin antar sesama manusia atau hablun minannas yang sangat luas cakupannya. Secara terminologis muamalah menurut Muhammad Rawwas Qal’ahji dalam Mu’jam Lughotu Al-Fuqohaa adalah hukum-hukum syariat yang mengatur hubungan antar manusia di dunia. Lebih rinci lagi pengertian muamalah yang disebutkan oleh Ahmad Asy-Syarbashi dalam Mu’jam Al-Iqtishoodi Al-Islaami yakni hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan perkara dunia melihat terhadap eksistensi manusia mulai dari jual beli, sewa dan sejenisnya. Pengertian ini, kemudian secara khusus mengkatagorikan muamalah menjadi lima bentuk yaitu pertukaran harta, pernikahan, perdata dan pidana, amanah dan waris sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abidain dalam Haasyiyah Ibn ‘Abidain. Lebih khusus lagi muamalah diartikan sebagai hukum yang berkaitan dengan harta benda atau ilmu yang mengatur pertukaran harta dan manfaat antara manusia melalui akad dan transaksi seperti yang dikemukakan oleh Ali Fikri dalam Al-Muaamalat Al-Maaliyah wa Al-Adabiyah.

Dari pengertian fikih dan muamalah baik secara umum maupun khusus, maka dapat disimpulkan bahwa fikih muamalah adalah ilmu yang mempelajari hukum-hukum yang mengatur hubungan antar manusia dalam perkara harta dan kebendaan. Pengertian ini bersifat khusus sesuai dengan objek kajiannya yang berupa harta sehingga fikih muamalah dapat mencakup aspek pertukaran harta dengan cara jual beli, sewa menyewa, pemberian dalam bentuk hibah dan wasiat, pembebasan, perkongsian, dan juga kepercayaan seperti rahn atau gadai dan kafalah. Artinya juga bahwa fikih muamalah merupakan ilmu yang mengatur pertukaran harta dan manfaat di kalangan masyarakat dengan media akad yakni perjanjian tertulis berdasarkan syariat Islam antara dua pihak yang menerima hak dan yang melakukan kewajibannya yang harus dipenuhi setelah melakukan penawaran atau ijab dan penerimaan atau qabul. Akad yang sah yaitu akad yang memenuhi rukun dan syaratnya. Sedangkan akad yang tidak sah yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun dan syaratnya.

Objek kajian di atas termasuk ke dalam kegiatan ekonomi. Kaidah fikih muamalah menjadi penting digunakan dalam mengidentifikasi transaksi-transaksi ekonomi tersebut. Salah satu kaidah fikih muamalah yang mendasar dalam konteks ini contohnya adalah:

Hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Maksud kaidah di atas yaitu bahwa semua hal yang berhubungan dengan muamalah pada dasarnya diperbolehkan dalam syariat Islam, apabila belum ada dalil dalam al-Qur`an dan hadis yang melarangnya. Artinya  hukum asal dari akad transaksi muamalah adalah boleh atau mubah, asalkan tidak ada dalil yang tegas mengharamkannya atau akad tersebut tidak menyelisihi konsep aturan dari dalil-dalil umum yang telah ada. Kaidah ini juga didukung oleh hadis Rasulullah SAW yang berbunyi: antum a’alamuu bi ‘umurid dunyakum, yang artinya kamu lebih tahu atas urusan duniamu.

Kaidah fiqih muamalah di atas memberikan ruang lingkup yang sangat luas terhadap penetapan hukum-hukum yang mengatur tekhnis hubungan antar sesama manusia dalam kaitannya dengan keduniaan atau secara khusus yang mengatur hubungan antar manusia dalam perkara harta dan kebendaan atau kegitan ekonomi. Ini berarti kegiatan ekonomi dalam bentuk suatu transaksi baru yang muncul dalam fenomena kontemporer, maka transaksi tersebut bisa dikatakan pada dasarnya diperbolehkan selama transaksi tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang dilarang dalam Islam atau bertentangan denga al-Qur`an dan hadis.

Beberapa faktor larangan terhadap transaksi-transaksi yang baru muncul pada masa kontemporer ini di antaranya adalah: Pertama, faktor  haram karena zatnya. Misalnya ketentuan hukum syariat Islam yang mengharamkan minuman keras dan daging babi. Ketentuan hukum ini menjadikan transaksi yang berhubungan dengan obyek yang diharamkan tersebut juga diharamkan. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih ma haruma fi’luhu haruma tholabuhu, yang artinya setiap apa yang diharamkan atas obyeknya, maka diharamkan pula atas usaha dalam mendapatkannya. Kaidah ini juga memberikan dampak bahwa setiap obyek haram yang didapatkan dengan cara yang halal, maka tidak akan merubah obyek haram tersebut menjadi halal.

Kedua, faktor haram selain zatnya. Maksudnya adalah dilarangnya suatu transaksi oleh syariat Islam karena disebabkan adanya unsur-unsur yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah seperti adanya unsur penipuan atau tadlis; adanya unsur rekayasa pasar dalam penyuplaian barang atau yang disebut dengan ikhtikar; adanya unsur rekayasa pasar dalam hal demand atau yang diistilahkan dengan bai’ najasy; adanya unsur ketidakpastian atau taghrir; dan adanya unsur tambahan yang memberatkan dalam transaksi pinjam meminjam yang dikenal dengan nama riba.

Ketiga, adanya faktor tidak sah. Maksudnya adalah bahwa segala macam transaksi yang tidak sah atau tidak lengkap akadnya, maka transaksi tersebut dilarang dalam Islam. Sebab yang menjadikan transaksi tidak sah yaitu tidak terpenuhinya rukun transaksi seperti hilangnya atau tidak  adanya salah satu dari pelaku, objek atau ijab kabul dalam suatu transaksi. Selain itu juga, tidak terpenuhinya syarat transaksi seperti adanya dua akad yang saling berkaitan atau disebut dengan ta’alluq. Ta’alluq terjadi bila dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan, di mana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua. Biasanya yang seperti ini terjadi bila suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus sehingga terjadi ketidakpastian atau taghrir akad mana yang harus digunakan, maka transaksi ini dianggap tidak sah.

Dari uraian di atas, maka secara sederhana dan secara khusus fikih muamalah dapat dipahami sebagai ilmu yang mempelajari hukum-hukum yang mengatur hubungan antar manusia dalam perkara pertukaran harta dan kebendaan serta manfaatnya di kalangan masyarakat pada masa kini (kontemporer) dengan media akad yang merujuk pada kaidah hukum asal urusan muamalah tersebut adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

EDITOR: IS

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *