Musik adalah Pintu Maksiat, Benarkah?

Musik itu haram, musik menjadi pintu banyak maksiat. Industri musik harus ditutup, sehingga berbagai hal yang mendatangkan mudharat juga akan tertutup. Demikian kata Ustadz Uki Kautsar (mantan gitaris Band Noah/Peterpan).

Belakangan memang sedang tren para artis “hijrah”, meninggalkan dunia mereka dengan wajah yang berbeda. Tetapi ungkapan Uki tersebut tentu sangat berbeda dengan jalan beberapa musisi yang sebelumnya “hijrah”. Sebut saja Ustadz Derry Sulaiman, mantan gitaris band metal Born by Mistake. Derry sebelumnya sebagai musisi beraliran cadas, tetapi kini penampilan dan alirannya berubah total. Biasa membawakan lagu keras nan glamor, sekarang sangat melekat dengan lagu-lagu religi sebagai media dakwahnya. Hal yang sama dilakukan oleh vokalis Matta Band sampai Nine Ball, mereka tetap sebagai musisi, bermain musik, tetapi genrenya diubah menjadi religi, sebagai konsekuensi mereka hijrah.

Bacaan Lainnya

Lalu, bagaimana sebenarnya hukum musik tersebut?

Perbedaan sikap musisi/artis yang hijrah sebenarnya menggambarkan hukum musik itu sendiri, pemahaman yang mereka amalkan adalah berdasarkan ajaran dari guru spiritualnya. Perkara musik masuk pada ranah furu’iyyah fiqhiyyah, bukan ushuliyyah aqâidiyyah, karena dalil yang digunakan bersifat zhanni (dalil yang sifatnya mengandung beberapa kemungkinan), maka hukumnya pun bisa beragam tergantung pemahaman.

Sebagian ulama mengharamkan musik berdasarkan ayat yang mengandung makna “laghwun” atau hadits-hadits yang terdapat isyarat tentang beberapa alat musik. Tetapi lagi-lagi harus dipahami, bahwa dalil tersebut tidak ada yang bentuknya sharih (dalil dengan teks jelas), yang menjelaskan bahwa musik tersebut haram.

Eksplorasi dalil yang digunakan oleh ulama yang membolehkan musik adalah ta’liq, yaitu musik haram apabila melalaikan. Jika tidak melalaikan terhadap kewajiban, melalaikan dari mengingat Allah, atau liriknya tidak bertentangan dengan syariat, maka tidak ada celah untuk mengharamkan musik. Karena Nabi sendiri pernah mendengarkan syair dari sahabat, menggunakan thobl (genderang), duf (rebana), atau buq (terompet raksasa), semuanya merupakan jenis alat musik.

Bagaimana seharusnya memahami dalil-dalil yang mengharamkan musik?

Syaikh Muhammad Ghazali – Ulama terkemuka kontemporer, Mesir – menjelaskan bahwa ayat yang mengandung makna “laghwun” atau QS. Luqman ayat 6 (Dan diantara manusia (ada) yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah…) yang dijadikan dalil tidak menjelaskan tentang nyanyian atau musik, tetapi menjelaskan apa yang dimaksud ayat tersebut. Artinya, orang yang berniat menyesatkan orang lain dari jalan Allah, tentu ia sesat dan kafir. Tidaklah seseorang membeli mushaf Al-Qur’an untuk dijadikan bahan olok-olok dan sebagai alat penyesatan dari jalan Allah, maka ia kafir. Demikian penjelasan Syaikh Muhammad Ghazali.

Adapun hadits-hadits yang memberikan isyarat keharaman musik, menurut Ibnu Hazm, hadits-hadits tersebut tidak ada yang shahih, diantara mereka terdapat perawi yang dhaif, majhûl atau matrûk.

Misalkan riwayat dari Abu Malik al-Asy’ari, ia mendengar Nabi Saw. bersabda: “Akan ada sekelompok orang dari umatku yang meminum khamar, sementara mereka menamakannya dengan nama lain. Mereka melakukannya sambil mendengarkan suara musik yang dimainkan di hadapan mereka serta nyanyian yang dilantunkan oleh para biduanita. Sebagai akibatnya, bumi akan dimusnahkan oleh Allah”.

Ibnu Hazm mengatakan bahwa salah satu perawi hadits ini, Mu’awiyah bin Shaleh adalah seorang dhaif. Kemudian, ancaman pada hadits tersebut belum tentu ditujukan kepada permainan musik atau biduanita. Lebih besar kemungkinan ditujukan kepada mereka yang menghalalkan khamar. Penetapan suatu hukum dalam agama tidak boleh berdasarkan dugaan semata-mata.

Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Siapa saja yang duduk di tempat seorang biduanita dan mendengarkan nyanyiannya, maka Allah Swt. akan menuangkan timah yang sedang meleleh ke telinganya kelak pada hari kiamat”.

Hadits tersebut menurut Ibnu Hazm adalah hadits palsu, karena tidak pernah dikenal di kalangan ahli hadits sebagai riwayat melalui Anas.

Barangkali ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, hadits yang paling sering digaungkan oleh mereka yang mengharamkan musik secara mutlak, yaitu dari Abu Malik al-Asy’ari, ia mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Akan ada di antara umatku orang-orang yang menghalalkan sutra (untuk laki-laki), khamar, dan permainan musik”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari secara mu’allaq. Menurut Ibnu Hazm, hadits ini sanadnya terputus, tidak bersambung antara al-Bukhari dan Shadaqah bin Khalid, perawi hadits ini.

Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulum ad-Dîn mengomentari hadits tersebut dengan mengatakan bahwa yang dimaksud al-Bukhari adalah gambaran secara menyeluruh dari sebuah pesta yang diisi dengan acara minum khamar serta nyanyian yang diiringi perbuatan maksiat. Pesta seperti ini jelas keharamannya sesuai ijmak ulama. Pendapat serupa juga dianut oleh Yusuf al-Qardhawi dalam kitab Fatâwa Mu’âsirah, Muhammad Ghazali dalam kitab as-Sunnah an-Nabawiyyah; Baina Ahl al-Fiqh Ahl al-Hadits, dan mayoritas ulama ahlussunnah wal jama’ah.

Jadi, hukum musik tersebut sifatnya kondisional. Apabila di dalamnya terdapat maksiat yang melalaikan, liriknya bertentangan dengan syariat, tentu hal tersebut menjadi haram. Sebaliknya, jika unsur tersebut tidak ditemukan, bahkan melalui musik ajaran Islam lebih mudah diterima masyarakat, hukum musik menjadi boleh.

Terlalu cepat menyimpulkan suatu hukum agama memiliki konsekuensi yang sangat besar. Ada miliaran umat Muslim yang merasa tenang dengan lantunan islami, dari perkantoran hingga jalanan terdengar lantunan shalawat, lalu semuanya kita hukumi haram dan berbuat maksiat? Bagaimana mungkin agama mengharamkan lagu-lagu Rhoma Irama yang membangkitkan gairah keagamaan dan semangat kebangsaan? Apa benar agama akan mengharamkan lantunan shalawat dari Nissa Sabyan dan lainnya, yang menginspirasi kaum milenial untuk meneriakkan shalawat di setiap sudut kehidupan yang selama ini dipenuhi lagu percintaan? Apa jadinya para habaib yang mendendangkan shalawat, mengajak masyarakat semakin dekat dan cinta kepada Rasulullah Saw., lalu Rasulullah akan mengharamkannya?

Perlu belajar agama dengan tepat, baik dari segi ilmu ataupun guru. Syaikh Zainuddin Abdul Majid dalam banyak kesempatan berpesan, “Rajin berguru pada ahlinya”. Mungkin Ustadz Uki Kautsari perlu belajar ke Institut PTIQ Jakarta, seperti Ustadzah Oki Setiana Dewi, agar pemahaman agama tidak setengah-tengah, melihat agama secara luas, memahami keragaman dalam beragama, sehingga tidak memonopoli kebenaran, apalagi menyembunyikan kunci surga sendirian dengan kelompoknya. Semangat keberagamaan yang tinggi akan memberikan nilai positif terhadap agama tersebut apabila dibarengi dengan pemahaman yang tepat. Wallahu a’lam.

Editor: MAY

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *