Melangitkan kata dasarnya langit yang mendapat imbuhan me-kan yang berfungsi menjadi kata kerja aktif transitif. Di antara makna imbuhan me-kan adalah menyebabkan. Adapun kata langit dalam KBBI artinya adalah ruang luas yang tebentang di atas bumi, tempat beradanya bulan, bintang, matahari, dan planet lain. Namun kata langit jika diberi imbuhan me (melangit), maka bisa berarti kiasan seperti memiliki cita-cita yang tinggi atau harga yang tinggi. Begitu pula kata langit yang diberi imbuhan me-kan (melangitkan) bisa memiliki arti kias yaitu meninggikan dalam fungsinya sebagai menyebabkan, sehingga rumusan Al-Qur`an melangitkan manusia bisa diartikan secara kias yakni Al-Qur`an menyebabkan tinggi kedudukan manusia.
Terkait dengan arti kias melangitkan manusia, salah satu contohnya dijelaskan oleh Darwis Hude dalam acara Launching IBIHTAFSIR.ID pada 23 Juli 2021 yaitu bahwa manusia pada akhirnya kembali kepada Allah SWT sebagaimana yang terkandung dalam Surah al-Baqarah: 156, yang artinya: “…sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.”
Penjelasan di atas dilatarbelakangi oleh pernyataan Nasaruddin Umar dalam acara yang sama yang menyebutkan bahwa Al-Qur`an adalah undangan sekaligus tiket untuk kembali ke kampung halaman di surga. Kembali ke kampung halaman di surga ini menjadi target utama dalam gagasannya melangitkan manusia dengan Al-Qur`an. Gagasannya ini berasumsi bahwa tidak ada artinya bicara tentang pembumian Al-Qur`an kalau tidak sanggup melangitkan manusia. Menurutnya perlu pemahaman terhadap pesan Al-Qur`an yang komprehensif untuk mampu melangitkan manusia tersebut. Misalnya memahami pesan Al-Qur`an bukan sekedar pemahaman pada tingkatan iqra` pertama dan kedua akan tetapi dilanjutkan dengan melakukan pendekatan iqra` ketiga dan keempat sebagaimana yang diucapkan Jibril kepada Nabi Muhammad SAW saat turun wahyu pertama. Memahami pesan-pesan Al-Qur`an, menurutnya juga dilakukan jangan berhenti pada tempat wukuf yang artinya pemberhentian sementara seperti wukuf di Arafah saat haji yang harus diteruskan ke tempat lainnya, akan tetapi berhentilah pada tempat wushul atau sampai ke tempat finish. Cara ini dilakukan karena memang Al-Qur`an memiliki makna yang berlapis-lapis.
Dari sekian banyak lapisan makna dari pesan-pesan Al-Qur`an, salah satu di antaranya yang relevan dengan konteks ini adalah seperti yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali dalam bukunya Jawahirul Qur`an. Menurutnya hakikat terdalam dari keseluruhan ayat-ayat Al-Qur`an adalah mana yang tergolong jawahir (permata), dan mana yang menjadi durar (cahaya permata). Keduanya bagi Al-Ghazali merupakan jiwa dan lubuk Al-Qur`an yang tidak dapat dipisahkan, seperti matahari dengan cahayanya.
Ayat-ayat yang tergolong jawahir merupakan ayat-ayat yang berkaitan dengan ma`rifatullah yaitu ayat-ayat yang memberikan informasi tentang Zat Allah dan eksistensin-Nya, sifat-sifat dan asma-Nya, serta af`al-Nya atau segala perbuatan-Nya. Misalnya ayat ke-163 Surah al-Baqarah, yang artinya: “Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. Ayat ini menginformasikan Allah sebagai Tuhan seluruh manusia, baik yang beriman maupun yang kafir atau yang munafik sebagaimana yang diungkapkan oleh M. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah. Menurutnya juga ayat ini menjelaskan tentang Allah Yang Maha Esa dalam Zat, sifat, dan perbuatan-Nya.
Sementara ayat-ayat durar merupakan ayat-ayat yang berkaitan dengan kehambaan makhluk-makhluk Allah termasuk manusia dengan segala prilaku amaliah dan ubudiyahnya kepada-Nya. Salah satu contohnya terdapat dalam Surah al-Maidah: 35 yaitu, “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah washilah yaitu jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjuanglah di jalan-Nya, agar kamu mendapatkan kebahagiaan”. Tiga perintah dalam ayat ini yaitu bertakwa, mencari washilah, dan berjihad di jalan Allah harus direalisasikan oleh setiap orang beriman yang meyakini esensi dan eksistensi Allah.
Dari ketiga perintah tersebut satu di antaranya adalah berupaya untuk mencari washilah yaitu jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya. Kata washilah dalam ayat ini menurut Shihab artinya adalah sesuatu yang menyambung dan mendekatkan sesuatu dengan yang lain atas dasar keinginan yang kuat untuk mendekat diri dengan cara-cara tertentu. Merealisasikan perintah ini bagi setiap orang yang ingin dekat dengan-Nya merupakan pengamalan terhadap makna ayat-ayat durar sebagai bukti adanya kesadaran yang tinggi terhadap ma`rifatullah yang diinformasikan dalam bentuk ayat-ayat jawahir.
Ayat-ayat jawahir yang mengajarkan manusia tentang eksistensi dan esensi Tuhan dan ayat-ayat durar yang menuntun manusia mendekati-Nya dalam perspektif tasauf Al-Ghazali tersebut di atas, bisa dikatakan sebagai upaya melangitkan manusia dengan Al-Qur`an dalam bingkai ma`rifatullah hingga pada tahap wushul atau sampai kepada Allah.
Konsep lain yang sinonim dengan wushul ini adalah ittishal (tersambung) maksudnya tersambung dengan Allah. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam bukunya Madarijus Salikin menjelaskan konsep ini dengan mengutip salah satu ayat durar dalam Surah al-Najm: 8-9, yang artinya: “Kemudian dia mendekat lalu turun, maka jadilah dia sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat”.
Ada dua penafsiran yang berbeda dalam ayat ini yaitu, Pertama, yang mendekat dan bertambah dekat lagi kepada Nabi Muhammad sehingga jaraknya seperti dua ujung panah atau lebih dekat lagi adalah Allah. Kedua, yang mendekat dan bertambah dekat lagi itu adalah malaikat Jibril. Misalnya tafsiran Shihab yang menyebutkan bahwa terjadinya pertemuan antara Jibril yang bertempat di ufuk yang amat tinggi dengan Nabi Muhammad.
Meskipun adanya dua penafsiran yang berbeda ini, namun demikian terdapat titik temu persamaan di antara keduanya yang mendukung gagasan Al-Qur`an melangitkan manusia dalam konsep ittishal tersebut yakni keduanya dipahami sebagai kasih sayang Allah kepada seorang hamba yang dimanja-Nya hingga dapat didekati oleh-Nya atau didekati oleh malaikat-Nya, begitu kata Al-Biqa`i.
Dari pernyataan ini, maka ittishal atau tersambung dengan Allah melalui Allah yang mendekat sebagaimana dalam penafsiran pertama, bagi Ibnu Qayyim maksudnya adalah seseorang mendapatkan kembali Tuhannya setelah lama kehilangan. Seperti seseorang yang mencari harta simpanannya yang sekian lama tidak didapatkannya, lalu kemudian akhirnya dia berhasil medapatkannya. Satu atsar yang terkait dengan ittishal ini menyebutkan, “Carilah Aku (Allah), niscaya kamu akan mendapatkan Aku. Jika kamu sudah mendapatkan Aku, maka kamu akan mendapatkan segala sesuatu, dan jika kamu tidak mendapatkan Aku, maka kamu tidak akan mendapatkan segala sesuatu”.
Sedangkan penafsiran kedua yang menyatakan bahwa malaikat Jibril yang mendekat bukan Allah yang mendekat, maka bagi Al-Ghazali ittishal disini maksudnya adalah tersambung dengan alam malakut seperti alam para malaikat. Meskipun yang mendekat adalah malaikat Jibril, akan tetapi kedudukannya yang tinggi dan mulia menjadikan orang yang didekatinya juga mulia. Kedudukan alam malaikat yang tinggi dan mulia ini disebutkan dalam Surah al-Najm: 7 yakni: “Sedang dia (Jibril) berada di ufuk yang tinggi”.
Jadi singkatnya penafsiran keduanya baik yang mendekat adalah Allah, ataupun yang mendekat adalah malaikat kepada seorang hamba, pada esensinya keduanya adalah ittishal yang melangitkan manusia.
Dengan demikian Al-Qur`an sebagai undangan dan tiket pulang kampung halaman di surga memberikan pesan bahwa manusia pada akhirnya kembali kepada Allah. Bukan dengan kematian saja untuk kembali kepada-Nya, akan tetapi ada ittishal atau tersambung dengan Allah dan alam malakut saat kehidupannya. Tersambung dengan keduanya menjadi gagasan Al-Qur`an melangitkan manusia. Gagasan ini mendukung pernyataan pembumian Al-Qur`an tidak ada artinya kalau tidak sanggup melangitkan manusia.
Editor: IS