Perbedaan Kata Al-Khasyyah dan Al-Khauf dalam Al-Quran dan Rahasianya

Dalam Al-Quran, banyak kita temui dua kata yang di atas. Banyak pembaca yang berasumsi bahwa kedua-duanya sama. Karena ketika melihat terjamahan yang ada dalam seluruh Al-Quran terjamahan di Indonesia, maknanya sama-sama takut. Tidak dibedakan antara keduanya. Kalau dalam istilah bahasa Indonesia, disebut dengan kata sinonim. Yaitu, kata yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu kata dengan kata lainnya. Seperti kata laris-laku, meong-kucing, lemah-lemas dan lain sebagainya. Dari contoh tersebut, dalam semantic bahasa Indonesia, tidak menunjukkan perbedaan signifikan.

Berbeda dengan semantik Arab. Ketika ada padanan kata atau sinonim dalam Al-Quran, bukan hanya sekedar supaya tidak terjadi pengulangan kata. Melainkan ada perbedaan yang mencolok. Seperti kata al-khasyah dan al-khauf. Jadi bagaimana cara membedakannya dalam bahasa Arab?  Kitab Al-I’jaaz Al-Bayaan li Al-Qur’aan, karya Ibnu Al-Azruq, menjelaskan bahwa keduanya berbeda sebagaimana kata al-khusyuu’ dengan al-khudhuu’ yang sama-sama mempunyai arti merendahkan hati.

Bacaan Lainnya

Kata al-khasyyah-a al-khauf adalah perbuatan rasa takut yang timbul dari dalam hati. Yang membedakannya adalah kalau al-khasyyah, rasa takutnya pure dari dalam hati (benar-benar dari dalam hati tanpa ada unsur paksaan). Sementara kata al-khauf, rasa takutnya tidak murni, melainkan ada unsur paksaan, karena ancaman dan tindakan radikal.

Yang menarik adalah setiap dua kata di atas, mempunyai makna rahasia tersendiri. Umpamanya kata al-khsyyah dengan segala bentuk variannya tidak digunakan dalam Al-Quran kecuali dalam konteks kehidupan dunia saja karena dunia adalah tempatnya ujian bagi seluruh manusia. Kata al-khasyyah selalu dikaitkan dengan perkara yang semestinya ditakuti. Seperti perkara alam ghaib (QS. Yasin/36: 11, QS. Qaaf/50: 33, QS. Al-Anbiya/21: 49, QS. Fathir/35: 18, QS. Al-Mulk/67: 13, QS. Ar-Ra’ad/13: 21 dan QS. Al-Mu’minun/23: 57), terjadinya hari kiamat, kefakiran, menyangkut anak-anak yatim dan pembangkangan orang-orang kafir terhadap Allah. Dan jika menyangkut dengan al-khasyyah itu sendiri, maka pada hakikatnya tidak ada yang harus ditakuti kecuali Allah semata, tidak bagi makhluk ciptaan-Nya (QS. An-Naziat/79: 19, QS. Al-Ahzab/33: 37, QS. At-Taubah/9: 18, dan QS. Ali Imran/3: 173). 

Rasa al-khasyyah yang ada dalam hati orang-orang kafir berbeda dengan orang-orang beriman. Jika rasa takutnya orang kafir hanya ada di akhirat nanti, ketika jasad mereka dipenuhi dengan siksaan (QS. Al-Ghasyiah/88: 1-4, QS. An-Nazi’at/79: 8-12, QS. Al-Ma’arij/70: 43-44, QS. As-Syura/42: 44-45, dan QS. Al-Qamar/54: 6-7). Sementara rasa takutnya (al-khasyyah) orang-orang beriman, hanya ada dalam kehidupan dunia. Dan rasa al-khasyah-nya dibarengi dengan ketaqwaan dan penghambaan kepada Allah Swt. (QS. Al-Isra/17: 108-109, QS. Al-Mu’minun/23: 1-2, QS. Ali Imran/3: 199 dan QS. Al-Anbiya/21: 90].

Kata khasyyatullah dalam Al-Quran selalu beriringan dengan orang-orang yang menyampaikan risalah, yang mengikuti az-dzkir (Al-Quran), yang beriman, para ulama, yang kesemuannya itu merupakan orang-orang yang Allah meridhoi mereka, dan mereka ridho terhadap perintah Allah (QS. Ali Imran/3: 183). 

Dari sekian banyak kata al-khasyah dalam Al-Quran, biasanya digunakan untuk manusia, tapi kali ini digunakan untuk menceritakan al-khasyah yang dimiliki gunung dan batu yang sejatinya tidak mempunyai perasaan (aadaatul hissi). Sebagaimana diceritakan dalam Al-Quran bahwa ada gunung yang merasa takut ketika Al-Quran hendak diturunkan padanya (QS. Al-Hasyar/59: 12) dan ada macam air yang turun karena takut (QS. Al-Baqarah/2: 74). Jadi apa rahasianya? Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa batu dan gunung juga pada hakikatnya mempunyai perasaan, seperti halnya manusia. Dan rahasia di balik ayat ini adalah, gunung aja ketika hendak diturunkan Al-Quran padanya dia takut-tersungkur karena kemualiaan yang akan dia pikul, yakni Al-Quran. Bagaimana dengan manusia yang mempunyai panca indra? Jika ternyata manusia melalui panca indra yang dimiliknya, dan tidak mampu mengambil ibrah dari dalam Al-Quran, maka celakalah kemanusiaan manusianya yang disebabkan oleh kerasnya fikiran dan hati. Bahkan lebih keras dari batu dan gunung tersebut. Kemudian di akhir ayat QS. Al-Hasyar/59: 12 di atas, Allah menutup ayatnya dengan mengatakan semoga dengan permisalan gunung yang takut pada ayat ini, bisa menjadi ibrah bagi manusia, agar mereka berfikir.[]

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *