Nikah Muda: Solusi Atau Polusi?

Fenomena nikah muda sudah lazim terjadi di seluruh dunia, hal ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi, adat, hingga pemahaman keagamaan. Di Indonesia sendiri, hal tersebut bisa ditemukan di daerah Jawa,  Kalimantan, Banten, Lombok, dan daerah lainnya.

Bacaan Lainnya

Dalam konteks hukum Islam, tidak ditemukan nash yang sifatnya menganjurkan ataupun melarang, meskipun banyak ayat ataupun hadits yang membahas tentang pernikahan. Hal ini disebabkan hukum  dalam Islam mengalir sesuai situasi dan kondisi, kemudian ulama mempertimbangkan dampak negatif (mafsadât) atau positif (mashlahât) di dalamnya. Pada satu kesempatan nikah muda menjadi sebuah anjuran bahkan kewajiban, di lain waktu bisa menjadi sebuah larangan. Dinamika seperti ini sudah menjadi style para ulama dalam menetapkan hukum, ratio legis atau ‘illah menjadi standar eksistensi suatu hukum tersebut.

Dampak positif yang paling jelas tentunya adalah hifzh an-nasl (menjaga keturunan), karena terhindar dari seks bebas atau seks di luar nikah. Tetapi dampak negatifnya juga tidak ringan, nikah muda beresiko membuat gagalnya studi, apalagi sekarang biaya pendidikan semakin mahal. Kemudian resiko perceraian juga sangat besar, karena dari segi mental belum siap menjalani kehidupan baru. Lalu, bagaimana perspektif Al-Qur’an tentang nikah muda?

Memahami tujuan pernikahan dalam Al-Qur’an

Sebelum membahas nikah muda, apakah sebagai solusi atau justru menjadi polusi, ada baiknya menjabarkan tujuan pernikahan dalam Al-Qur’an, sebagai acuan dalam menentukan positif atau negatifnya.

Pertama, regenerasi. Nikah bertujuan untuk membangun generasi umat yang berkelanjutan demi kemakmuran kehidupan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Hal ini dijelaskan pada QS. An-Nisâ`/4:1, QS. An-Nahl/16:72, dan QS. Asy-Syu’ara/42:11. Dalam hadits juga Nabi menjelaskan bahwa kelak di akhirat beliau akan membanggakan umatnya yang banyak di hadapan para nabi sebelumnya.

Kedua, mendatangkan ketenangan, kenyamanan dan kasih sayang. Sebagaimana dalam QS. Ar-Rum/30:21. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa pernikahan berfungsi sebagai afeksi dan rekreasi bagi keluarga. Hubungan hangat dalam keluarga dapat memberikan kesehatan secara fisik maupun mental bagi setiap pasangan.

Ketiga, menjaga kehormatan. Pernikahan bertujuan untuk menjaga kehormatan masing-masing pasangan dari perbuatan terlarang. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Mu’minun/23:6 dan QS. Al-Ma’arij/90:30. Manusia normal cenderung ingin memenuhi hasrat biologisnya, maka dengan pernikahan, hal tersebut bisa dilakukan dalam ikatan yang sah dan halal. Allah menganalogikan pasangan suami istri dengan pakaian (QS. Al-Baqarah/2:223), menurut ar-Râzi, istilah pakaian digunakan karena masing-masing pasangan dapat saling menutupi dan menghindarkan mereka dari perbuatan terlarang. Mampukah pasangan muda mewujudkan tujuan tersebut?

Membaca penjelasan beberapa pakar atau cendekiawan

Kebijakan setiap negara berbeda-beda dalam menetapkan usia minimal pernikahan. Misalkan Yaman menetapkan minimal 18 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Tunisia 20 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Al-Jazair menetapkan minimal 21 tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan. Sedangkan di Indonesia, peraturan Menteri Agama tahun 1974 menetapkan usia minimal 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, kemudian direvisi pada tahun 2019 menjadi 19 tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Perubahan tersebut berdasarkan fakta di lapangan dan masukan dari beberapa pakar kepada pemerintah tentang dampak negatif nikah muda yang cukup tinggi, meskipun terdapat sisi positif sebagaimana penjelasan sebelumnya.

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan pernikahan di atas, dibutuhkan mental yang kuat, emosional yang stabil, dan spiritual yang matang. Bagaimana mungkin pasangan suami-istri topang-menopang dan saling bermusyawarah kalau belum memiliki modal tersebut.

Pemaparan tersebut dikuatkan dengan pernyataan Dadang Hawari, seorang psikiater, bahwa secara psikologis dan biologis, seseorang matang berproduksi dan bertanggungjawab pada usia 20-25 tahun bagi perempuan dan 25-30 tahun bagi laki-laki. Sebelum usia tersebut, dianggap matang sebelum waktunya, atau ia menyebutnya dengan istilah pre-cocks.

Data dari Bappenas mendukung pendapat di atas, bahwa tingkat perceraian bagi pasangan muda di Indonesia sangat tinggi, yaitu 690.000 kasus, sedangkan kasus KDRT mencapai 10.029 kasus, dimana 56% dengan frekwensi rendah, sedangkan 44% KDRT dengan frekwensi tinggi. Apa solusi Al-Qur’an tentang hal ini?

Mempertimbangkan mashlahat dan mafsadat

Pernikahan dalam Al-Qur’an hukumnya sunnah, sebagaimana QS. An-Nisa`/4:3. Namun jika belum mampu secara materi atau mental, maka Rasulullah Saw. memberikan jalan dengan cara berpuasa, sebagai perisai diri dari perbuatan maksiat.

Mashlahat akan terwujud jika syarat terpenuhi pada kedua pihak, baik laki-laki maupun perempuan. Sebaliknya, akan memberikan mafsadat apabila syarat tersebut belum cukup, dengan bahasa lain menikah karena nafsu.

Bagi laki-laki, setidaknya tiga syarat yang harus diperhatikan. Pertama, penguasaan fiqh munâkahât. Baik sebelum menikah (khithbah), ketika akad nikah (syarat rukun nikah), sampai sesudah menikah (seperti hukum menafkahi keluarga, talak, ruju’, dan hak-kewajiban sebagai suami). Kedua, kesiapan materi. Mulai dari mahar sampai kebutuhan pokok bagi istri. Ketiga, kesehatan fisik. Sebagai laki-laki, harus memperhatikan kesehatan fisik, dalam hal ini tidak impoten. Khalifah Umar bin Khatthab pernah menangguhkan pernikahan seorang laki-laki yang impoten selama satu tahun untuk berobat. Ini menunjukkan Islam sangat memperhatikan hal itu, demi terwujudnya mashlahat dalam pernikahan.

Sedangkan bagi perempuan, hendaknya memenuhi syarat sebagai berikut. Pertama, perempuan harus siap secara mental dan terdidik untuk memenuhi tanggungjawabnya. Tidak harus sempurna mengetahui seluk beluk rumah tangga, seperti bagaimana berinteraksi dengan suami, mengasuh anak, dan sebagainya, tetapi siap untuk belajar dan berusaha menjadi lebih baik. Kedua, harus siap secara fisik, karena tugas sebagai istri tidaklah mudah. Ketiga, membekali diri dengan ilmu agama. Ini menjadi sangat penting, sehingga bisa menjadi terbaik ketika sebagai seorang istri ataupun sosok ibu nantinya. Bagaimana dengan Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar?

Ada khushûshiyyât Nabi, bukan syari’at umat

Kisah sayyidah Aisyah seringkali dijadikan dalil menikah muda atau menikahi perempuan muda belia. Permasalahan ini bisa dilihat pada dua aspek. Pertama, aspek khushûshiyyât. Rasulullah Saw. menikahi sayyidah Aisyah berdasarkan mimpi. Mimpinya beliau adalah benar, sebuah petunjuk  langsung dari Allah, dan terlihat hikmah yang sangat besar dari pernikahan tersebut, sayyidah Aisyah menjadi ulama perempuan terbaik dengan menghafal ribuan hadits dan menjadi “the life reference”.

Kedua, aspek budaya/adat. Adz-Dzahabi dalam kitab Siyâr A’lam an-Nubalâ` menjelaskan bahwa menikahi perempuan seusia Aisyah pada waktu itu bukanlah aib, melainkan bagian dari tradisi yang diterima masyarakat. Bahkan sebelum dinikahi Nabi Muhammad Saw., Aisyah telah dilamar oleh anaknya al-Muth’im bin Adi, tapi kemudian dibatalkan karena al-Muth’im bin Adi tidak mau anaknya mengikuti agama Aisyah (Islam).

Jadi, menikah muda bukan sebatas melihat sejarah yang dianggap sunnah atau mengikuti tren para artis, selebgram, dan youtuber. Menikah perlu mempertimbangkan mashlahât dan mafsadât, sehingga tujuan pernikahan bisa terpenuhi. Ikut-ikutan tren justru menjadi beban keluarga dan aib negara, jika ternyata banyak mafsadât yang ditimbulkan. Wallahu a’lam.

Editor: MAY

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar