Setelah Allah SWT menyampaikan pesan-Nya dalam QS. Al-Hasyr/59: 19 agar kita tidak lupa pada-Nya sehingga lupa pada diri kita sendiri dan menjadi orang yang durhaka (faasiq), Allah SWT melanjutkan bahwa tidaklah sama penghuni neraka dengan penghuni surga. Padahal, penghuni surga itulah orang-orang yang sukses, al-faa’izuun (QS. Al-Hasyr/59: 20).
Pada ayat berikutnya, (QS. Al-Hasyr/59: 21), menyatakan bahwa sekiranya Kami (Allah SWT dan malaikat) menurunkan Al-Qur’an ini pada sebuah gunung. Pastilah, manusia akan melihat gunung itu tunduk terpecah belah karena takut pada Allah SWT. Semua perumpamaan (al-amtsaal) itu dibuat untuk manusia agar mau berpikir.
Sungguh, ayat di atas mendorong manusia dan kita semua untuk mau secara cerdas memahami betapa dahsyatnya Al-Qur’an itu, memotivasi kita untuk mau berpikir keras, dan berusaha mencari jawaban atas makna yang eksplisit itu. Di sana ada makna implisit yang ingin dibangun, ada sesuatu yang sungguh dahsyat dan besar manfaatnya bagi manusia. Lalu, seberapa dahsyatnya Al-Qur’an?
Prof. Dr. Aboubakr Jabir Al-Jazairiy, imam besar dan penceramah di Masjid Nabawi Asy-Syarif, Madinah, mengungkap makna itu dalam tafsirnya, Aysar At-Tafaasiir li Kalaam Al-‘Aaliiy Al-Kabiir, Jilid V, hal. 316-318, mengatakan bahwa ayat ini menginformasikan betapa dahsyatnya Al-Qur’an serta isi dan kandungannya.
Kalimat: “Seandainya Al-Qur’an itu diturunkan di atas sebuah gunung setelah Dia menciptakannya”. Di dalamnya, terdapat pengetahuan dan keistimewaan sebagaimana dijadikannya bagi manusia. Pastilah, gunung itu takut, hina, hancur berkeping- keping karena takutnya pada Allah SWT.
Lebih lanjut dikatakan oleh Prof. Jabir Al-Jazairiy, bahwa ayat ini mengandung nasehat bagi kaum yang beriman (mukminiin) agar melakukan tadabbur terhadap Al-Qur’an, khusyu ketika membaca dan menyimaknya. Ada hal yang diharapkan pada kita manusia untuk memikirkan isi kandungannya, kemudian beriman serta menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk menuju kesempurnaan dan kebahagiaan hidup.
Kalau uraian Prof. Jabir Al-Jazairiy itu kita sederhanakan, isinya mengandung muatan pesan: memikirkan, mengimani, menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk.
Jika langkah-langkah itu kita lakukan, maka kita akan memperoleh kehidupan yang sempurna serta bahagia (ilaa thariiqi kamaalihim wa sa’aadatihim).
Apapun rencana yang kita buat, strategi yang kita siapkan, tujuan pencapaian yang kita tetapkan, hanya akan berhasil jika dalam menjalani hidup ini kita mau menjadikan Al-Qur’an sebagai panduan etik, petunjuk hidup, pengarah kebijakan kita. Itu semua akan membuat hidup ini sempurna dan bahagia.
Lalu, seperti apa hidup sempurna dan bahagia itu? Tentu saja, sangat terkait dengan kandungan ayat-ayat berikutnya QS. al-Hasyr/59: 22-24. Secara sederhana adalah hidup yang merefleksikan kemuliaan, kesempurnaan, dan keagungan ilahi yang tercermin melalui asma dan sifat- sifat Nya.
Pantas, jika Allah SWT dalam sebuah hadits qudsiy berfirman: “Berakhlaq-lah kamu dengan akhlaq Allah” (takhallaquu bi akhlaaqillaahi). Lalu, sudahkah kita berakhlaq seperti akhlaqnya Allah SWT. Kalau belum, jangan berhenti dari mengenal, memahami, mengamalkan perilaku dan akhlaq Allah swt. Karena itu, benarlah Rasulullah saw bahwa belajar itu dari lahir sampai masuk liang lahat. Selamat terus merengkuh hidup dengan panduan Al-Qur’an. Allah SWT akan membimbing kita dengan tawfiq-Nya dan mengarah kan kita dengan hidayah- Nya.[]
Editor: AMN