Merdeka, Sepotong Roti dan Al-Quran

britamarta

Tahun 1991 ada film berjudul “Cinta dalam Sepotong Roti”, saya jadi teringat analogi tentang roti itu dari Ali Ibrahim al-Moussawi , “Jika Tuhan menciptakan kebebasan sebagai sepotong roti, banyak yang akan mati kelaparan, bukan karena mereka tidak mendapatkannya tetapi karena mereka tidak mau memakannya”.

لو خلق الله الحرية رغيف خبز لمات الكثيرين من الجوع، ليس لأنهم لن يحصلوا عليه ولكن لأنهم سوف يمتنعون عن أكله

علي إبراهيم الموسوي

Kita boleh setuju atau menolak pendapat pakar material dari Universitas Miskolc itu.

Merdeka: Pilihan yang disalahartikan

Jika boleh saya memaknai pernyataan al-Moussawi di atas, maka sesungguhnya pesan yang ia sampaikan bahwa menjadi manusia merdeka adalah sebuah pilihan. Pengertian ini tidak mutlak diterapkan pada semua hal.

Pada zaman kolonial, penjajahan membuat suatu negara tidak merdeka karena adanya invasi suatu kekuatan terhadap wilayah lain. Kini penjajahan macam ini tidak mendapat tempat di muka Bumi, dan dunia mengecamnya, selain yang kini tersisa penjajahan Israel atas Palestina. Tentu bagi Palestina kemerdekaan adalah pilihan yang harus ditebus mahal, sebagaimana kemerdekaan Indonesia yang harus ditebus dengan pengorbanan darah, nyawa dan harta. Pilihan yang berat dengan semboyan yang diteriakkan para shuhada, “Merdeka atau Mati”.

Jika kontek merdeka dalam arti jihad melawan nafsu, maka orang yang berhasil menundukkan nafsunya adalah orang yang merdeka. Merdeka dalam konteks intelektual (yang sering disebut pintar) berkenaan dengan kemampuan seseorang dalam menundukkan hawa nafsu (man dana nafsahu), seperti dalam Hadits Hasan Riwayat al-Timidzi dari Syaddad bin Aus dari Nabi SAW, beliau bersabda: ”Orang yang cerdas (akyas) adalah orang yang menundukkan nafsu, menyiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian. Sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang kalah selalu mengikuti hawa nafsunya dan hanya berangan-angan (tamanna) kepada Allah.”

Berperang melawan nafsu adalah pilihan setiap individu, karena Tuhan telah memberinya dua pilihan (hadaynahu najdayn) sebagaimana dijelaskan dalam Surah al-Syams/91: 7-10, “maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya”.

Narasi di atas cukup memberikan argumen bahwa manusia memiliki hak untuk memilih, bahkan Tuhan memberikan petunjuk, restu dan fasilitasi untuk memilih yang terbaik. Aktor utama yang memilih untuk merdeka adalah pribadi kita sendiri.

Jika merdeka adalah pilihan, maka logikanya adalah “semakin banyak pilihan yang dapat kita pilih, berarti semakin merdeka!”, setidaknya begitu kata emak-emak cerdas. Seorang Hamba Sahaya—produk  perbudakan yang dikecam Islam, ia tidak memiliki pilihan—melainkan hanya punya satu pilihan yaitu tunduk dan patuh pada tuannya. Kehadiran Islam tiada lain adalah menyuruh umatnya untuk memberikan tambahan pilihan kepada hamba sahaya yaitu kebebasan dengan memerdekakannya.

Apakah semakin banyak pilihan semakin merdeka? Belum tentu. Bagi orang kaya, ia memiliki banyak pilihan untuk membelanjakan uangnya, tapi bukan berarti ia merdeka dari nafsunya.

Jika banyak pilihan dan bebas memilih adalah indikator kemerdekaan, maka akan banyak kerancuan. Bagi orang liberal merdeka itu bebas memilih keyakinan apa saja; bebas beribadah bagi yang mau dan bebas pula tidak bertuhan bagi yang ateis, boleh bergaul bebas, boleh LGBT karena itu hak azasi. Tepat kah?

Narasi Al-Quran Tentang Kemerdekaan

Dalam bahasa Indonesia, merdeka artinya bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri. Kata ‘merdeka’ atau al-huriyyah tidak disebutkan secara tegas dalam Al-Qur’an, tapi derivasinya dan nilai-nilainya penting dijadikan pedoman.

Al-Quran menyebut kata “hurrun” dalam bentuk “al-hurru” dalam Surah al-Baqarah/2: 178 tentang hukum Qishash berati orang yang merdeka dan bukan sebagai hamba sahaya. Kemudian kata “muharraran” (juga berarti bebas) dalam Surah Ali Imran//3: 35 yang berarti bebas dan memiliki keleluasaan untuk beribadah dan mengabdi untuk Baitul Maqdis karena Allah. Kata lainnya dalam bentuk “tahriiru” pada Surah an-Nisa/4: 92, Surah al-Mujadilah/58: 3, al-Maidah/5: 89, seluruhnya berarti “memerdekakan” atau membebaskan.

  1. Bebas dari Perbudakan

Memberikan kemerdekaan dan mengormati setiap insan adalah misi kenabian. Pembebasan budak tidak hanya bermuatan sosial yakni mengakui kedaulatan hak asasi manusia, melainkan pula bernilai dogmatis (berpahala besar). Seorang pendosa bisa menebus kesalahannya dengan membebaskan seseorang dari perbudakan. Umar bin Al-Khattab berkata kepada Amr bin Al-Ash, “kenapa kamu memperbudak orang? Bukan kah Ibu mereka melahirkannya dengan bebas!” 

Kita juga membaca kisah Rabi bin Amer Ketika menjadi duta kepada Raja Rustam di Persia, Rustam ditanya tentang motif kenapa orang-orang Arab datang untuk melawan Persia?  Rabi menjawab:

جئنا لنخرج الناس من عبادة العباد، إلى عبادة الله، ومن جور الأديان إلى عدل الإسلام، ومن ضيق الدنيا إلى سعة الدنيا والآخرة”

“Kami datang untuk mengeluarkan manusia dari menyembah manusia, untuk menyembah Allah, dan dari ketidakadilan agama menuju keadilan Islam, dan dari sempitnya dunia menuju luasnya dunia dan akhirat.

Karena itu penaklukan Mekah adalah kemerdekaan besar bagi umat manusia, tidak hanya bagi umat Islam. Fathu Makkah adalah tonggak pengakuan atas kemerdekaan asasi manusia setelah mengakui bendera tauhid. Jaminan keselamatan dan kebebasan mereka yang tidak mau masuk Islam diproklamirkan, setiap muslim bahkan diperintahkan senantiasa menjunjung pengakuan atas hak-hak musyrik yang tidak memusuhi atau kaum kafir yang berada di bawah kekuasaaan Islam (kafir dzimny). Allah dengan tegas mengecam mereka yang memperingatkan dengan firman-Nya, “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (QS. Yunus/10: 99).

2. Kebebasan Memilih 

Allah SWT berfirman,  Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.” Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta pertolongan (minum), mereka akan diberi air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan wajah. (Itulah) minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (QS. Al-Kahfi/18: 29).

Jika manusia mampu berpikir bebas dan mandiri, maka itu akan menuntunnya pada kebenaran, sebagaimana dalam keyakinan para filosof  yang selaras dengan naluri manusia yang sehat. Dalam Islam, manusia bebas memilih pilihannya setelah jalan kebenaran (keimanan) dan jalan kesesatan (kekafiran) menjadi jelas baginya.   

Jadi manusia adalah pribadi yang menciptakan takdirnya sendiri melalui pemilihan atas yang baik atau yang buruk. Pilihan itu secara pribadi menjadi takdir individu atau secara kominitas menjadi takdir kolektif.

3. Kebebasan Intelektual berfikir dan mengemukakan pendapat

Kebebasan berfikir dan berpendapat sangat dihargai. Hal ini dapat dilihat dari perjalanan historis Islam awal. Para Sahabat sering diminta pendapat, bahkan dilibatkan dalam keputusan penting menyeangkut perjuangan Islam. Tidak jarang mereka berbeda pendapat dan beradu argumen.

Allah SWT telah memberi manusia kesempatan untuk memilih setelah Ia memberikan petunjuk dan bukti bahwa agama adalah kebenaran, dan bahwa kekafiran adalah kebatilan, dengan kata lain, Tuhan tidak ingin memaksakan agama-Nya kepada manusia melalui (perundang-undangan) tetapi melalui pilihan.    

Allah SWT berfirman, “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah/2: 256).

Masalah iman atau kekafiran hanya bisa didekati dengan hati, bukan sepasang mata saja. Iman adalah instrumen untuk membuka hati bagi kebenaran dan membuka mata untuk hidup. Analoginya, jika manusia menutup mata dari sinar Matahari dan menyangkalnya, ini tidak berarti bahwa matahari itu tidak ada, tetapi yang terjadi adalah orang tersebut menyangkal dan merusak alat untuk mengetahui keberadaan Matahari. 

4. Kebebasan Pribadi

Tidak ada kebebasan jika sudah ada perintah atau  larangan Tuhan, tetapi penyerahan mutlak dan ridha atas ketentuan Allah SWT. Karena kehendak manusia (bagi orang beriman) adalah gema dari kehendak Tuhan, sehingga Mukmin tidak lagi memiliki kemerdekaan di hadapan-Nya, kemerdekaan manusia hanya di hadapan manusia lain. Dengan menerima kepasrahan itu, maka hakikat penghambaan manusia berada pada level tertinggi (yaitu ikhlas).

Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidaklah bagi seorang mukmin laki-laki atau perempuan yang beriman, ketika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perintah, agar mereka mendapatkan yang terbaik dari mereka” (QS. Al-Ahzab 36).    

Efeknya, jika manusia tunduk pada kehendak Tuhan, maka ia telah memberikan keamanan dengan patuh untuk tidak menyakiti sesama, mewujudkan kemakmuran bersama dengan saling berbagi, dan seterusnya perilaku yang hanya menguntungkan diri sendiri tapi berdampak buruk bagi orang lain.

4- Kebebasan Seksualitas

Percabulan bukanlah HAM, bukan hak individu di mana seseorang tunduk pada perasaan seksual atau keinginan naluriah hewani, melainkan pemberontakan terhadap tatanan sosial, dan keberlanjutan manusia di masa depan. Allah Ta’ala berfirman, “Janganlah kamu mendekati zina, karena itu adalah kemaksiatan dan jalan yang buruk” (QS. Al-Isra/17: 32).    

Efeknya… *nah ini yang terpenting. Jika manusia tunduk pada kehendak Tuhan, maka ia telah menjaga keseimbangan dari ketimpangan jika menikah dengan lawan jenis, terhindar dari penyakit berbahaya, penyimpangan dari norma sosial. Percabulan berupa LGBT tidak mendapat tempat dalam Islam, melainkan diberikan pengaturan dan (legalisasi), artinya pembatasan hukum dalam hubungan manusia bertujuan untuk melindungi kepentingan umum.  

5- Kebebasan Berusaha

Islam menyerukan kebebasan ekonomi dengan menjaga kepentingan manusia dan keseimbangan hidup, tapi menolak kebebasan ekonomi yang tidak tunduk pada konsep manusia dan moral. Setidaknya ada dua kisah yang dapat diangkat, seperti dalam kisah nabi Syuaib AS yang melarang warganya dari sistem ekonomi buruk,

“Dia (Syuaib) berkata, “Wahai kaumku! Terangkan padaku jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan aku dianugerahi-Nya rezeki yang baik (pantaskah aku menyalahi perintah-Nya)? Aku tidak bermaksud menyalahi kamu terhadap apa yang aku larang darinya. Aku hanya bermaksud (mendatangkan) perbaikan selama aku masih sanggup. Dan petunjuk yang aku ikuti hanya dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya (pula) aku kembali. (QS. Hud/11: 88)

Nampak bahwa Nabi Syuaib menegaskan adanya kepemilikan harta pribadi dan “tidak bermaksud menyalahi kamu terhadap apa yang aku larang darinya (kebebasan ekonomi)”, tetapi di saat yang sama mengatur itu mendatangkan perbaikan, yaitu keyakinan kebebasan ekonomi dengan syarat pemiliknya tidak memanfaatkannya untuk merusak kehidupan dan rakyat.    

Model kedua yang juga dilarang adalah memberikan harta kepada orang yang lemah, meskipun itu harta mereka, mereka tidak (belum) diberika kebebasan untuk berusaha, “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. (QS. An-Nisa/4: 5).  

—————————

Pembahasan di atas bukan tafsir tematik, melainkan sekelumit pembacaan atas beberapa ayat-ayat al-Quran. Tentu bukan perkara mudah menguraikan masalah besar ini dalam sebuah artikel.

Jadi kisah tentang rotinya di mana?

Sama seperti di film “Cinta dalam Sepotong Roti” yang tidak membahas roti, artikel ini sejak semula memang hanya bermaksud menyederhanakan persoalan-persoalan besar menjadi kecil. Sebesar apa pun roti jika diremuk, adonan sejatinya hanya lah sebesar kepal.[]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar