Islam sangat menganjurkan untuk saling memberikan nasihat kepada sesama Muslim. Nasihat yang baik tentunya menjadi harapan bagi orang-orang yang membutuhkan, misalnya nasihat baik agar orang selalu mengerjakan perbuatan baik dan nasihat baik bagi orang-orang yang telah melakukan kesalahan, baik kesalahan yang disengaja maupun yang tidak disengaja, serta nasihat baik agar tidak melakukan kejahatan atau keburukan.
Saling menasihati seperti ini merupakan bagian dari ciri orang-orang yang beriman yang memperoleh keberuntungan di dunia dan akhirat, seperti terungkap secara jelas dalam QS. Al-`Ashr/103: 1-3. Selain ayat ini, juga hadits Nabi yang mengemukakan pentingnya nasihat dalam ajaran agama Islam, seperti hadits berikut ini: “Dari Abi Ruqayyah, Tamim bin Aus ad-Dâri Radhiyallahu anhu , dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda: “Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”. Mereka (para sahabat) bertanya,”untuk siapa, wahai Rasulullah?”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, imam (pemimpin) kaum Muslimin atau Mukminin, dan bagi kaum Muslimin pada umumnya”. (HR. Imam Muslim)
Dari ayat-ayat dan hadits tersebut di atas sangat dapat dimengerti bahwa nasihat bagi umat Islam sangat dibutuhkan. Baik secara umum maupun khusus nasihat hendaknya menjadi kebiasaan positif yang semestinya selalu dilakukan. Nasihat tersebut bisa kepada anak atau istri, kepada teman atau saudara, kepada bawahan atau atasan atau bahkan kepada pemimpin sekali pun. Namun demikian, nasihat yang dilakukan jangan sampai melupakan etika dan ketepatan yang ditentukan oleh Islam, agar nasihat yang disampaikan kepada siapa pun tidak berlebih-lebihan.
Kata nasihat dalam KBBI artinya adalah ajaran atau pelajaran baik; anjuran (petunjuk, peringatan, teguran) baik. Kata ini berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata kerja nashaha (نَصَحَ), yang maknanya khalasha (خَلَصَ), berarti murni serta bersih dari segala kotoran. Bisa juga bermakna khaatha (خَاطَ), yaitu menjahit. Imam al-Khaththabi menjelaskan arti kata nashaha, sebagaimana dinukil oleh Imam Nawawi, maksudnya adalah nashahar-rajulu tsaubahu (نَصَحَ الرَّجُلُ ثَوْبَهُ) apabila dia menjahitnya. Jadi memberikan nasihat yang baik disini diumpamakan sebagai usaha untuk memperbaiki pakaian seseorang yang robek.
Sementara hukum memberikan nasihat menurut Imam Nawawi adalah fardhu kifayah yakni apabila ada seseorang yang sudah mengerjakannya maka gugurlah kewajiban atas yang lain. Sedangkan menurut Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan, hukumnya ada yang fardhu `ain, ada yang fardhu kifayah, ada yang wajib, dan ada yang sunnah. Hukum-hukum ini menurutnya berdasarkan hadits Nabi tentang agama sebagai nasihat. Sedangkan hukum-hukum agama ada yang wajib, sunnah, fardhu `ain, dan fardhu kifayah. Salah satu contoh nasihat yang wajib (fardhu `ain) dilakukan adalah nasihat kebaikan kepada keluarga.
Selanjutnya agar nasihat yang disampaikan tepat sasaran dan tepat guna serta tidak berlebih-lebihan, maka perlu diperhatikan adab atau tata cara yang baik untuk menyampaikannya. Mungkin salah satu cara yang baik untuk memberikan nasihat yaitu menasihati saudaranya dengan tidak diketahui orang lain. Karena, barangsiapa menutupi keburukan saudaranya maka Allah akan menutupi keburukannya di dunia dan akhirat. Sebagian ulama berkata, barangsiapa menasihati seseorang dan hanya ada mereka berdua, maka itulah nasihat yang sebenarnya. Barangsiapa menasihati saudaranya di depan banyak orang maka yang demikian itu mencela dan merendahkan orang yang dinasihati.
Dalam hal adab atau tata cara yang baik yang tidak berlebih-lebihan dalam memberikan nasihat tersebut , Rasulullah SAW pernah memberikan contoh yang diceritakan dalam sebuah riwayat hadits berikut ini: “Dari Muawiyah bin Al-Hakam RA berkata, “Disaat saya shalat (menjadi makmum) bersama Rasulullah SAW, dikala itu ada salah seorang jamaah yang bersin, maka aku menjawabnya, “yarhamukallah” sehingga beberapa orang melirik kepadaku, akupun berkata, “kenapa kalian menatapku.?” Mereka pun memukulkan tangan-tangan mereka ke paha-paha mereka, ketika aku melihat mereka menyuruhku diam, maka akupun diam. Setelah Nabi selesai sholat, maka saya tidak pernah melihat seorang guru sebelumnya atau setelahnya yg lebih baik caranya dalam mengajari daripada beliau, demi Allah beliau tidak menghardikku, atau memukulku, ataupun mencelaku, beliau berkata, “Sesungguhnya shalat ini didalamnya tidak boleh ada perkataan manusia sedikitpun, tetapi perkataan didalamnya hanyalah tasbih, tahmid dan membaca Al-Qur’an”. (HR. Muslim).
Nabi Muhammad SAW memberikan nasihat kepada Muawiyah bin Al-Hakam dengan kata-kata yang sangat singkat namun sangat membekas. Pujian Muawiyah RA diatas menunjukkan bahwa beliau begitu terkesan dengan cara nabi menasehati beliau. Inilah yang harus dipahami dan diterapkan ketika ingin menasihati atau menegur orang yang bersalah, yaitu dengan kata-kata yang lembut, singkat dan mengena. Karena nasihat yang berlebihan akan membuat orang yang dinasihati merasa bosan, yang akhirnnya dia bukan malah menerima nasihat tersebut tapi ia akan menghindar. Cara menasehati yang dilakukan Rasulullah dalam hadits tersebut di atas bisa dikatakan sebagai salah satu contoh tidak berlebih-lebihan dalam memberikan nasihat. Selain itu juga sebagai aplikasi dari perintah Allah yang tertera dalam QS. al-Nahl/16: 125, yaitu: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Menurut Hamka dalam tafsirnya bahwa ayat di atas dipahami oleh sementara ulama sebagai tiga macam metode dakwah yang harus disesuaikan dengan sasaran dakwah. Pertama, terhadap cendikiawan yang memiliki pengetahuan tinggi diperintahkan menyampaikan dakwah dengan hikmah, yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka. Kedua, terhadap kaum awam diperintahkan untuk menerapkan mau`idzah, yakni memberikan nasihat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan mereka yang sederhana. Dan Ketiga, yaitu terhadap penganut agama-agama lain yang diperintahkan untuk jidal atau perdebatan dengan cara yang terbaik yaitu dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan, umpatan atau caci makian.
Dengan demikikan memberikan nasihat dengan cara hikmah (bijaksana), mauidzah hasanah (pelajaran yang baik ), dan jidal atau perdebatan dengan cara yang terbaik tanpa kekerasan, umpatan, dan caci makian merupakan metode yang dapat menghindari berlebih-lebihan dalam memberikan nasihat kepada setiap orang yang memiliki tingkat pemahaman keagamaan yang berbeda-beda.
Editor: IS