Cinta Tanah Air adalah Ajaran Al-Qur’an

Sebuah kalimat yang sangat terkenal: Cinta tanah air adalah bagian dari iman (Hubbul wathan minal iimaan) adalah salah satu temuan genuine para pendiri bangsa sekaligus para ulama Indonesia. Sebuah ungkapan yang merangkum masa lalu sekaligus memberi arah yang benar untuk masa depan Indonesia. Sebuah ungkapan yang terdengar sangat Islami namun mewakili keseluruhan rakyat Indonesia tanpa menyebabkan rasa perbedaan. Semua itu karena founding fathers pendiri negara kita adalah negarawan-negarawan yang visioner.

Kita tahu bahwa Mukaddimah UUD pun dimulai dengan ungkapan Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Itu juga terdengar sangat Islami. Pancasila pun demikian, dimulai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dan Pancasila sebagai dasar negara sudah terbukti ampuh menyatukan NKRI yang sangat luas dari segi wilayah dan sangat beragam dari segi etnis dan ras ini dalam satu kesatuan yang kokoh.

Bacaan Lainnya

Cinta tanah air adalah naluri mendasar setiap manusia. Suatu hari Waraqah bin Naufal, paman istri Nabi Saw, Khadijah binti Khuwailid, menyampaikan kepada Nabi Muhammad Saw (sebelum diangkat menjadi nabi): “Sungguh engkau akan didustakan.” Nabi Saw tidak menjawab. “Sungguh engkau akan disakiti.” Beliau tetap tidak berkata apapun. Namun ketika Waraqah berkata, “Sungguh engkau akan diusir,” beliau berkata: “Benarkah mereka akan mengusirku?” Pertanyaan Nabi Saw tentang kalimat terakhir Waraqah seakan-akan hendak menegaskah bahwa beliau bersedia didustakan dan disakiti sebagai konsekuensi ajaran Islam yang disampaikan, namun apakah juga akan diusir? Nabi Saw tentu tidak mundur hanya karena diusir, tetapi pertanyaan Nabi Saw itu menegaskan bahwa betapa penting arti sebuah tanah air bagi diri seorang Nabi Muhammad Saw. Bagi kita, bangsa Indonesia pun, demikian.

Dalam QS. Al-Qashash/28: 85, Allah SW berfirman: “Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Muhammad) untuk (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali. Katakanlah (Muhammad), Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang berada dalam kesesatan yang nyata.” Ulama menafsirkan bahwa ayat ini adalah jaminan Allah SWT bahwa Nabi Muhammad Saw akan kembali ke tanah yang dicintainya dengan kemenangan gilang gemilang.

Jika kisah Waraqah bin Naufal dan Nabi Muhammad Saw sebelumnya adalah bukti pentingnya tanah air bagi seorang Nabi Saw, maka QS. Al-Qashash/28: 85 adalah bukti pengakuan Allah SWT bahwa tanah air itu memang penting. Oleh karena itu pantaslah jika para ulama Indonesia menyatakan bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari Iman. Juga pantas apabila dikatakan bahwa radikalisme harus dilawan karena itu adalah tanda tidak adanya cinta tanah air. Bahkan para radikalis dan teroris berani mengatakan bahwa membela negara itu tidak ada dalilnya.

Kenyataan bahwa Nabi Adam as pun turun ke bumi dan memang dikehendaki oleh Allah SWT demikian, juga adalah bukti bahwa tanah air itu sangat penting karena tanah air memang adanya di bumi. Memang faktanya, Nabi Adam as dimampirkan terlebih dahulu di surga. Para ulama memahami bahwa mampirnya Nabi Adam as di surga bertujuan untuk menempatkan memori keindahan di benak Nabi Adam as sebagai bahan visi untuk memakmurkan bumi. Faktanya juga, Nabi Adam as diciptakan tidak untuk menjadi khalifah di surga tetapi khalifah di bumi.

Bayangan keindahan dan kedamaian surga menjadi visi pula bagi keturunan Nabi Adam as dalam rangka membangun tanah air.  Nusantara adalah sekeping tanah surga yang diturunkan Allah SWT ke bumi. Menjaganya saja sudah menjaga surga itu apalagi membangunnya, maka nusantara akan menjadi negara makmur dan sejahtera. Penciptaan keindahan dan kedamaian di Indonesia adalah bentuk ibadah bagi rakyatnya yang berbalas surga di akhirat. Nabi Muhammad Saw bersabada: “Tidak akan masuk surga orang yang tidak memiliki kedamaian dalam hatinya.” Lalu bagaimana para radikalis-teroris itu bermimpi surga padahal mereka malah menciptakan kekacauan dan kerusakan?

Indonesia telah mengalami perjalanan sejarah yang sangat panjang dengan pahit dan getir serta suka. Pelajaran dari sejarah panjang itu adalah betapa pentingnya toleransi dan persatuan sebagai konsekuensi atas keragaman Indonesia. Berkat persatuan dan toleransi, penjajahan terusir, radikalisme dan terorisme ditanggulangi. Namun mempertahankan persatuan dan toleransi seperti menggenggam bara api. Manfaatnya memang terasa, tetapi mempertahankannya tidak pernah mudah.

Serentetan ayat di dalam surah Ar-Rum menjadi pelajaran penting. QS. Ar-Rum/30: 30-32:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,

“dengan kembali bertobat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta laksanakanlah sholat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah,”

“yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.”

Ayat 30 di atas menggambarkan betapa beratnya menjaga persatuan dan toleransi yang disebutkan sebagai fitrah dan haniif. Sedangkan ayat 31 memaklumi beratnya sehingga setiap kegagalan dalam menjaga persatuan dan toleransi masih mendapatkan kesempatan taubat. Lalu ayat 31 dilanjutkan dengan ayat 32 yang keduanya menegaskan bahwa siapapun yang tidak menjaga persatuan dan toleransi, dengan tegas Allah SWT memasukkannya sebagai antitesis orang-orang yang mendirikan shalat dan dianggap menyekutukan-Nya (musyrik). Jelas itu adalah dosa yang tidak berampun.

Tidak satu pun negara yang sudah menggapai kemakmuran dan kesejahteraan secara penuh. Indonesia juga demikian. Namun mengutip kaidah ushul fikih: Maa laa yudraku kulluhuu laa yutraku kulluhuu (Yang tidak bisa diraih semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya), maka setiap persoalan kebangsaan hendaknya diselesaikan tidak dengan cara merobohkan bangsanya. Tidak pula mengganti mukadimahnya nya tidak pula mengganti Ideologinya, yg sdh susah payah di susun dan dipertahankan oleh para founding father bangsa kita, para ulama yg negarawan dan visioner.

Mari kita bersatu dan berpadu membangun tanah air kita yang tinggal sejengkal lagi menjadi negara makmur, aman, dan sejahtera dengan penuh rasa syukur dan sabar. Gabungan syukur dan sabar adalah kreativitas, inovasi, dan ketangguhan. Para pendiri bangsa dan para ulama di masa lalu sudah mencontohkannya. Generasi sekarang dan mendatang tinggal meneladani dan melanjutkan. Semoga Indonesia menjadi negara yang Baldatun thayyibatun wa Rabbun gafuur.

Dirgahayu Indonesiaku.[]

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *