Kecakapan Spiritual

pexels.com

Bacaan Lainnya

Karakter seorang insan bisa didapatkan pada sebuah perangai yang menjadi ciri khususnya. Sikap itu tercermin pada perangainya sehari-hari. Dengan demikian, karakter tersebut bisa dipahami sebagai kepribadian yang dinamis dan terekam serta tergambar pada diri setiap insan yang antara satu dengan lainnya berbeda dalam penyesuaian diri masing-masing terhadap lingkungan yang dihadapinya.

Karakter juga bertalian dengan perangai atau tingkah laku, moral yang merupakan tindakan baik dan wajar dari seorang insan, sedangkan budi pekerti merupakan sikap dalam berpenampilan. Dengan demikian karakter lebih identik dengan akhlak sebagai penjelmaan sifat-sifat baik dan prilaku mulia. Dalam hadis Bukhari ditegaskan bahwa sesungguhnya Baginda Rasulullah SAW diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak.

Secara etimologis, kata karakter atau character berasal dari bahasa Yunani, yaitu charassein yang berarti “to engrave” selanjutnya istilah karakter dalam catatan Pusat Bahasa Depdiknas merupakan bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak. Namun ketika seorang insan berkarakter maka mengandung pengertian berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak. Jadi bisa dimaknai bahwa karakter juga termasuk didalamnya akan mengacu dan tertuju kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).

Mengenai karakter, Quraish Shihab juga berpendapat bahwa istilah karakter adalah gabungan berbagai pengalaman, pendidikan dan pengetahuan dan lain-lain yang membangun, menumbuhkembangkan kemamapuan pada diri seorang insan sebagai alat ukur atau timbangan yang  dapat mewujudkan pemikiran, sikap dan prilaku seperti akhlak mulia dan budi pekerti luhur. Selanjutnya HD. Bastaman mengistilahkan karakter sebagai perwujudan atau pelaksanaan potensi dari dalam dan memupuk atau internalisasi nilai-nilai moral dari luar, yang menjadi bagian kepribadian seorang insan. Kemudian, Soemarno Soedarsono mengartikan karakter itu merupakan  nilai-nilai moral yang tertanam hingga terpatri atau terukir dalam diri seorang insan melalui pembelajaran, pendidikan, aplikasi atau pengalaman, uji coba atau percobaan, perwujudan dengan pengorbanan dan pengaruh lingkungan, menjadi nilai intrinsik yang mewujud dalam sistem daya dorong atau daya juang, yang melandasi pemikiran sikap dan perilaku seorang insan. Selain itu, Sigmund Freud juga ikut meramaikan istilah karakter. Menurutnya karakter adalah perpaduan tata nilai yang mewujudkan nilai-nilai dalam suatu sistem daya juang, yang menjadi landasan sebuah pemikiran, sikap dan perilaku.

Dari beberapa pengertian tersebut, istilah karakter juga sering dikaitkan dengan istilah agama dan spiritulitas yang banyak dipakai dalam kehidupan secara bergantian. Para ahli berkomentar, pengertian agama lebih jelas dan kongkrit sehingga lebih mudah diterka, diukur dan diteliti. Bersebrangan dengan spiritualitas yang memiliki sifatnya lebih abstrak sehingga sangat sulit untuk diterka, diukur dan diteliti. Sangat sulitnya untuk menerka, mengukur dan meneliti spiritual, karena spiritual itu bersumber dari suara-suara yang membisikan hati. Sedang jeritan-jeritan dan rintihan-rintihan yang keluar dalam hati itu ternyata berasal dan mirip dengan nama dan sifat-sifat ilahiyah yang tererkam dalam jiwa setiap insan, seperti dorongan ingin sebuah kedudukan yang mulia, dorongan ingin terus menuntut ilmu, dorongan untuk selalu bijak dalam segala aktivitas, serta banyak jenis dorongan yang diinginkan setiap insan.

Untuk memudahkan dalam menerka, mengukur dan meneliti, maka perlu mendalami makna spiritual. Spiritual berasal dari kata spirit (ruh). Dalam Al-Qur’an term (ruh) lebih mengerucut kepada istilah spiritual. Keterualangan kata ruh disebutkan dalam Al-qur’an sebanyak dua puluh satu kali.

Spiritual atau ruhani bisa disebut dengan pancaran sifat Allah SWT yang diberikan kepada setiap insan pada saat Ruh Allah SWT ditiupkan yang berada dalam kandungan seorang ibu. Melalui tiupan ruh itulah alur kehidupan di awali. Ruh Allah SWT dilalui melalui pembelajaran kecerdasan spiritual yang berkembang menjadi ruhani. Untuk menjelma menjadi ruhani, seorang insan perlu terus belajar dalam kejujuran, beritikad baik untuk terus-menerus mendekatkan diri kepada Allah SWT yaitu pusat ruh itu berasal. Pembelajaran ruhani bisa dilalui dengan berdzikir dan bersyukur kepada Allah SWT, menegakkan ibadah shalat dengan khusyuk, melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar, bersikap adil kepada orang-orang disekitarnya, sebagai pengendali hawa nafsu dan bermohon perlindungan kepada Allah SWT dari tipu daya syaitan dan manusia, serta berharap melalui doa untuk senantiasa mendapatkan petunjuk melalui hidayah-Nya dan juga segala nikmat-Nya, seperti para Nabi, Shiddiqin, Syuhada, dan Shalihin.

Melalui do’a yang diharapkan, bisa mewujudkan kecakapan spiritual pada seputar konsistensi (Istiqamah), kerendahan hati (thawadhu), berusaha, dan berserah diri (tawakal), ketulusan/sincrety (keikhlasan), totalitas (kaffah), keseimbangan (tawazun), integritas dan penyempurnaan (ihsan), dan itu keseluruhannya dikenal dengan akhlakul karimah.

Dari kecakapan spiritual tersebut, maka spiritualitas juga bisa dikategorikan untuk kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai makna hidup dan tujuan hidup. Sebab spiritual juga bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan manusia.   

Keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan manusia dalam berspiritualitas membuat individu dewasa menjalani pengalaman hidupnya sebagai peristiwa yang penuh makna sekalipun ia menghadapi tantangan yang serius dan mengancam kepuasan hidupnya. Memaksimalkan spiritualitas akan mengembalikan fungsi manusia sebagai individu yang sehat dan memiliki kekuatan pribadi untuk bangkit ketika menghadapi situasi yang sulit.

Dalam memaksimalkan spiritualitas untuk mencapai tujuan luhurnya yang harus dilalui melalui proses penyucian jiwa terhadap banyaknya kecenderungan materi untuk mencapai pada jalan Allah, maka seseorang harus melalui tahapan-tahapan spiritualitas yang dalam ilmu tasawuf dikategorikan dengan istilah maqamat.

Istilah maqam dalam pandangan Imam Al-Qusyairi  adalah tahapan atau proses untuk beradabnya seorang hamba untuk berusaha mendekatkan diri kepada-Nya melalui beragam upaya yang dihasilkan dengan satu tujuan pencapaiannya dan batas-batas tugasnya. Setiap insan berbeda dalam menggunakan tahapannya dalam kondisi masing-masing, serta tingkah laku ruhani menuju kepada-Nya. Menurut Dzu An-Nun Al-Mishri, maqam-maqam dapat diketahui berdasarkan tanda-tanda, simbol-simbol dan amalannya. Oleh karenanya, kesuksesan atau keberhasilan menjalani maqamat merupakan hak paten/penilaian dari Allah SWT yang mencerminkan untuk kedudukan seorang salik dalam pandangan- Nya.

Adapun tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual menurut Imam Al-Ghazali adalah ketika seorang insan menduduki level tertinggi. Dari lain sisi, dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulum ad-Din merinci, maqamat atau tahap spiritual terdiri dari delapan tingkat yaitu taubat, sabar, zuhud, tawakal, mahabbah, ridha dan ma’rifat.

Hal senadapun disampaikan oleh Ibn ‘Arabi yang menjabarkan sedikitnya menjelaskan enam puluh maqam yang dijalani oleh para sufi untuk bermujahadah kepada Allah, namun secara sistematis tidak dijelaskan oleh Ibn ‘Arabi dari tahap-tahap setiap maqam yang harus dilalui seorang sufi. Maqam perdana yang harus ditempuh oleh seorang sufi adalah taubat, setelah itu menempuh beberapa jalan yang yaitu mujahadah (kesungguhan), khalwat (bersunyi diri), uzlah (menghindar dari masyarakat), taqwa (melaksanakan aturan syariah baik yang fardhu maupun yang sunnah), wara’ (mengekang dan menahan diri), zuhud, sahr (bangun malam), khawf (takut pada Allah), raja’ (mengharap), huzn (sedih), ju’ (lapar), menahan keinginan, khusyuk, menentang keinginan, menghibdar diri dari dengki, amarah dan menfitnah, tawakkal, syukur, yakin, sabar, sadar terhadap pengawasan Allah, rela, ubudiyah (pengabdian, teguh pendirian, ikhlas, jujur, malu, huraiyyah (kemerdekaan), zikr, wa fikr, wa tafakkur (zikir, fikir dan tafakkur), murah hati disertai kesetiaan, firasat, berakhlak, ghirah (cemburu), walayah (kewalian), nubuwah (kenabian), risalah (kerasulan), qurbah (kedekatan), faqr (kefakiran), tasawuf, mengenal kebenaran, bijaksana, sa’adah (bahagia), adab (persahabatan), perjalanan, akhir hayat yang baik, ma’rifat (pengenalan hakiki), mahabbah (cinta), syawq (rindu), memuliakan para pembimbing ruhani, sama’ (mendengar), karamah (keramat), mukjizat dan ru’ya (mimpi).

Dalam kualifikasi struktur setiap insan terungkap berbagai sisi spiritual yang telah menjadi bahan kajian para Sufi dan juga para pemikir muslim berupa al-ruh atau ruh, al-‘aql atau akal, al-qalb atau hati dan al-nafs atau jiwa serta al-hawa atau hawa nafsu.

Sisi spiritual berupa al-ruh atau ruh dalam kualifikasi struktur insan menjadi sebuah sumber kehidupan bagi makhluk yang bernyawa. Seorang tokoh yang bernama Imam Ibrahim Al-Bajuiri mengatakan bahwa hakikat ruh merupakan suatu yang sulit untuk dijadikan bahan kajian dan mustahil dapat dijadikan sebuah bahan pelajaran lebih dalam oleh manusia, sebab ruh merupakan sebuah rahasia Allah SWT dan mustahil dari seorang hamba-Nya diperkenankan untuk menanamkan sebuah ide dalam pemikirannya dan mengkaji terlalu dalam mengenai ruh setelah yakin akan keberadaan ruh.

Ayat-ayat ruh telah banyak ditafsirkan oleh ulama dan sarjana muslim melalui sebuah pendekatan saintifik. Diantaranya Fakhru al-Razi yang berargumen mengenai kata ruh sebagai sumber kehidupan yang ada pada diri setiap insan, pada sisi yang berbeda juga disampaikan bahwa ruh juga memiliki pengaruh pada kesadaran, dan dzauq atau rasa seperti, sebuah rasa bahagia dan sedih tidak dapat dirasakan oleh manusia jika sebuah ruh sirna atau tidak ada. Pada sisi yang berbeda, seorang tokoh seperti Al-Razi membahas ruh pada QS Al-Isra’: 85 beliau berpendapat bahwa kata al-ruh dalam kitabnya yang berjudul Mafatih al-Ghaib disebutkan sebanyak tujuh pembahasan. Begitu juga Sayyid Qutb dalam tafsirnya Fi ilali al-Qur‘an berasumsi bahwa  ilmu pengetahuan memiliki maidan atau lapangan dan ufuk atau wilayah. Antara maidan dan ufuk itu dapat  dianalisa dan dideteksi oleh manusia, berbeda halnya dengan ruh, karena ruh itu bukanlah sesuatu yang dapat diuji coba secara material.

Kumpulan kosmolog muslim mencari petunjuk melalui Al-Qur’an dan Al-Hadits guna mencari pemahaman mengenai korespondensi-korespondensi serta analogi-analogi kualitatif tiga realitas kosmologis diantaranya alam semesta dengan istilah makrokosmos, manusia dengan mikrokosmos, dan Allah SWT berupa metakosmos. Mereka sangat tertarik dengan berbagai sampel dan kemiripan dalam sumber-sumber Islam. Selanjutnya mereka menggunakan metodologi hermeneutik-esoteris yang dianggap bisa menguak semua sampel dan kemiripan-kemiripan yang ada dalam sumber Islam berupa Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Sumber Islam yang berupa kitab suci Al-Qur’an banyak dalam ayat-ayatnya menegaskan dengan gamblang bahwa segala yang ada dalam firman Allah SWT adalah tanda-tanda (al-āyah) Allah SWT menyatakan bahwa segala sesuatu melukiskan hakikat dan realitas Allah SWT. Hasilnya, para pemikir Muslim, diantaranya para ahli kosmologi, memandang dan mengamati serta melihat segala sesuatu di alam besar atau jagad raya sebagai refleksi dari nama-nama dan sifat-sifat Ilahi. Nama-nama dan sifat-sifat itu melukiskan berbagai kualitas, seperti keagungan, keindahan, kehidupan, pengetahuan, dan seterusnya.

Alam besar atau jagad raya dalam eksistensi dan fungsinya sebagai cerminan Allah SWT, maka berarti itu tercermin dari asma atau nama dan sifat-sifat Allah SWT. Sifat-sifat Allah SWT  dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu sifat-sifat Jalāliyyah atau yang dikenal dengan istilah keagungan dan Jamāliyyah yang lebih sering dikenal dengan istilah keindahan. Sifat Jalāliyyah adalah sifat-sifat keagungan dan kekerasan, sementara sifat Jamāliyyah adalah sifat-sifat keindahan dan kelembutan. Dalam al-Qur’an disimbolkan dengan dua tangan Allah SWT yang tertulis di dalam sumber Islam yaitu QS. Shaad/38: 75 yang menerangkan ketika Allah SWT berfirman pada Iblis mengenai enggannya iblis sujud kepad Allah SWT hingga terkategori sebagai makhluk yang menyombongkan diri dan juga merasa yang termasuk paling tinggi atau hebat.

Sumber kedua dalam Islam, yaitu al-Hadits digambarkan bahwa seorang insan diwujudkan ke dunia ini berdasarkan surah atau bentuk Allah SWT. Hal tersebut menunjukan bahwa hanya seorang insan yang berwujud manusia yang bisa mewakili gambaran dan citra lengkap realitas Ilahi. Sementara yang lainnya memberikan gambaran dan citra tidak sempurna.

Seorang insan yang berwujud manusia terlahir dari jasad, sekaligus tubuh ragawi dan juga jiwa spiritual. Sebab, orang bijak menemukan kemiripan atas semua yang ada di dunia ini dalam kondisi struktur tubuhnya. Seorang tokoh yang bernama Imam al-Nasafi, menyebutkan terdapat tujuh benda yang ada di langit yang memiliki kemiripan dengan organ tubuh manusia. Beliau menyebutkan paru-paru sebagai  lapisan yang ada pada langit pertama berupa wilayah bulan, karena bulan merupakan paru-paru makro kosmos. Selanjutnya otak diidentikkan sebagai lapisan yang ada pada langit kedua berupa simbolnya adalah wilayah Merkurius, karena Merkurius adalah otak makro kosmos. Dan ginjal berada pada lapisan langit ketiga yang dilambangkan dengan wilayah venus, karena Venus adalah ginjal makro kosmos. Kemudian letak jantung berada pada lapisan langit keempat dengan dilambangkan sebagai wilayah matahari, karena matahari berupa jantung makro kosmos. Limpa dilukiskan dengan lapisan langit kelima yang melambangkan wilayah Mars, karena Mars disimbolkan dengan limpa makro kosmos.  Selanjutnya beliau menyebutkan hati sebagai lapisan langit keenam yang menyerupai wilayah Yupiter, karena Yupiter adalah hati makro kosmos. Lalu kantong empedu berupa lapisan langit ketujuh yang melambangkan daerah wilayah Saturnus, sebab Saturnus adalah kantong empedu makro kosmos.

Dari ketujuh benda langit yang dilukiskan dengan kemiripan organ manuisa tersebut dan menempati wilayah yang di sebutkan di atas, semuanya berkorespondensi dengan tujuh wilayah Malakuti kosmos yang setiap wilayahnya ditempati oleh para Malaikat dengan nama para malaikat itu, seperti yang dikenal dengan Malaikat sepuluh, yaitu Jibril di wilayah Merkurius yaitu pada langit kedua, Israfil di wilayah Matahari pada langit keempat, Mikail di wilayah Jupiter pada langit keenam, dan Izra’il di wilayah Saturnus pada langit ketujuh. Analogi di atas juga  ditemui pada kosmolog Muslim, seperti Ibn ‘Arabi dan para pengikutnya, ‘Abd al-Rahman Jami’, ‘Abd al-Razaq al-Kasyani, dan Najm al-Din Razi.

Seorang insan yang dilukiskan dengan kemiripan antara organ manusia dengan benda langit merupakan sebuah kenikmatan yang didapatkan dari Allah SWT, bila hal tersebut itu terhalang dari sesuatu yang menyebabkan kepincangan maka nikmat ketenangan jiwa akan terhalang. Hal tersebut akan menghantui dengan berbagai halangan-halangan seperti kegelisahan dan penderitaan. Maka kualifikasi karakter spiritual itu penting untuk dijalankan dalam kehidupan seorang insan, diantaranya kualifikasi karakter beragama, kualifikasi karakter berkompetisi dan kualifikasi karakter memiliki.

Kualifikasi karakter beragama merupakan hal penting yang perlu dijalankan dalam kehidupan seorang insan. Dimana seorang insan mempunyai strategi fitrah untuk lebih mengenal Allah SWT, Sang Pencipta, beriman serta meyakini dengan  tulus kepada-Nya, bertauhid dengan ikhlas kepada-Nya, mendekatkan diri melalui kegiatan beribadah kepada-Nya, dan memohon pertolongan serta bermunajat kepada-Nya kala mendapatkan nikmat dan musibah. Dalam QS. Ar-Ruum/30:30 Allah SWT menjelaskan bagaimana setiap insan dianjurkan untuk menghadapkan wajahnya kepada agama Allah SWT dengan lurus dan sempurna, tetap pada koridor fitrah-Nya agar ketika lebih memahami bagaimana Allah SWT menciptakan setiap insan.

Penciptaan manusia dan pembentukan sifatnya itu memiliki strategi fitrah untuk mengenal dan mengetahui Allah SWT, yang Maha Pencipta atas makhluk-Nya. Atas perwujudan manusia itulah yang menunjukkan tentang keberadaan Allah SWT, meng-Esakan-Nya dan beriman kepada-Nya. Jadi manusia yang terlahir ke dunia ini telah memiliki strategi dan kesiapan fitrah untuk beriman dan bertauhid dalam mengEsakan Allah SWT serta serta memperoleh pengajaran, pengarahan dan bimbingan.

Editor

ABS

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *