Tafsir Sufi yang Mencurigakan

islamindonesia.id

Tafsir sufi memiliki beberapa nama lain seperti tafsir isyari, tafsir irfani, tafsir batini, tafsir ramzi, dan barangkali masih ada selainnya. Meski banyak sebutan untuk tafsir sufi, intinya, tafsir sufi adalah tafsir yang hendak menyelisik ke kedalaman makna hingga di balik teks dengan cara membersihkan jiwa dari segala dosa dan segala selain Allah SWT. Karena itu, bagi tafsir sufi, makna adalah pemberian Allah SWT, bukan hasil upaya pencarian penafsir.

Pada titik pengakuan bahwa makna diberikan oleh Allah SWT itulah tafsir sufi dicurigai sebagai mengada-ada. Kecurigaan itu sendiri agak wajar karena mamang tidak ada ukuran yang bisa disepakati bersama untuk mendefinitifkan bahwa sebuah penafsiran berasal dari Allah SWT atau berasal dari penafsir sendiri. 

Bacaan Lainnya

Kecurigaan di atas menghasilkan dua hal. Pertama, rambu-rambu yang harus ditaati oleh tafsir sufi agar tidak dianggap mengada-ada. Ada beberapa rambu yang ditulis oleh para pakar, tetapi inti dari rambu itu adalah jangan sampai tafsir sufi menghasilkan penafsiran yang bertentangan dengan teks yang ditafsirkan atau teks lain di dalam Al-Qur’an. Kedua, tafsir sufi digolongkan ke dalam tafsir bil ra’y. Maksudnya, tafsir sufi dianggap akal-akalan penafsir sufi semata, bukan inspirasi dari Allah SWT. Perlu diingat bahwa tafsir bil ra’y pun adalah korban kecurigaan serupa.

Baik hasil kecurigaan pertama maupun yang kedua memiliki problemnya sendiri-sendiri. Hasil kecurigaan pertama adalah bukti hegemoni teks di dalam penafsiran Al-Qur’an, padahal di sisi lain, tafsir sufi kadang memproduksi penafsiran yang sama sekali tak terduga akibat jauhnya dari makna teks. Salah satu contoh kesohor untuk tafsir tak terduga itu adalah dari Abdullah ibn Abbas tentang QS. an-Nasr/110: 1: Idzâ jâ’a nashrul Lâh wal fath. Saat sebagian sahabat bersuka ria atas datangnya kemenangan yang memang secara tekstual disebutkan oleh ayat tersebut, Ibn Abbas malah memberi kabar buruk tentang dekatnya ajal Nabi Muhammad SAW. Karena itu, hasil kecurigaan pertama hanya akan mengekang tafsir sufi.

Hasil kedua dari kecurigaan kepada tafsir sufi adalah penggolongan tafsir sufi kepada tafsir bil ra’y sebagaimana oleh Muhammad Hadi Ma’rifah dalam karyanya, Al-Tamhîd fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Problem dari hasil kecurigaan yang kedua ini adalah bahwa tafsir sufi bahkan enggan menggunakan akal dalam upaya penafsiran karena dianggap akan mengganggu datangnya inspirasi makna dari Allah SWT. 

Demi keluar dari kungkungan teks, tafsir sufi menawarkan pembacaan/pendengaran Al-Qur’an yang unik: pertama, mendengar Al-Qur’an sebagaimana Nabi Muhammad Saw membacakannya kepada kita; kedua, mendengar Al-Qur’an sebagaimana Malaikat Jibril membacakannya kepada Nabi Muhammad Saw; ketiga, mendengar Al-Qur’an sebagaimana Allah SWT membacakannya kepada kita dan kita mendengarkan langsung dari Allah SWT. Hal itu dicatat oleh Kristin Zahra Sands dari Abu Said Al-Kharraz.

Menghadapi kedua hasil kecurigaan di atas tadi, tafsir sufi memberikan rambu-rambunya sendiri dan penggolongannya sendiri untuk dirinya. Karena upaya untuk lepas dari kungkungan teks sudah mengalir deras dalam darah tafsir sufi, namun tetap menghormati teks, maka tafsir sufi membuat rambunya sendiri yaitu tafsir sufi tidak berhak mengubah teks Al-Qur’an dan penafsiran tidak boleh melupakan bahwa penafsir adalah hamba Allah SWT dan jangan sampai melawan-Nya. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Abu Nasr al-Sarraj.

Rambu yang ditetapkan oleh tafsir sufi di atas adalah bukti penghormatan kepada setiap teks di dalam Al-Qur’an dan itu seharusnya bisa menepis kecurigaan. Tambahan tafsir sufi tentang penafsir adalah hamba Allah SWT adalah yang unik dari tafsir sufi karena penekanannya pada penafsiran sebagai bentuk penghambaan.

Lalu apa yang dibayangkan tafsir sufi tentang sebuah penafsiran yang valid? Satu hal yang selalu ditekankan oleh para sufi adalah bahwa segala yang ada adalah berasal dari Allah SWT. Karena itu, penfasiran dan pemahaman yang benar terhadap Al-Qur’an juga berasal dari-Nya. Karena itu pula, selayaknya Allah SWT sendiri yang menjelaskan maknanya kepada penafsir bukan akal penafsir atau kehendak penafsir sendiri. Dari sinilah, tafsir sufi membangun semacam epistemologinya.

Lalu bagaimana Allah SWT menjelaskan makna Al-Qur’an kepada penafsir? Bagi tafsir sufi, kehadiran sejati hanyalah Allah SWT sedangkan yang lain adalah kehadiran ilusif. Agar makna bisa tampak jelas oleh penafsir, maka segala penghalang yang berbentuk kehadiran ilusif segala selain Allah SWT harus disingkirkan. Dengan demikian, makna bisa sampai kepada penafsir secara jernih. Untuk itu, penafsir harus beribadah, melepaskan jiwa dari keterikatan terhadap dunia, dan membersihkan diri dari segala dosa. Dengan cara itu, penafsir mengalami penyatuan dengan Allah SWT dan mengalami kehadiran-Nya.

Sampai di atas, kecurigaan terhadap tafsir sufi berlanjut ke dimensi berikut. Jangan-jangan tafsir sufi tidak lebih dari pemikiran sesat karena klaim penyatuannya dengan Allah SWT. Problem ini sesungguhnya adalah problem klasik dalam perdebatan tentang tasawwuf, terutama pada aspek falsafinya.

Pemikiran seorang Mehdi Ha’iri Yazdi bisa menjadi penjelasan agar kecurigaan terhadap tafsir sufi tidak berlanjut lalu berganti penerimaan. Bagi Yazdi, memang tidak mungkin terjadi kesatuan dan kehadiran secara fenomenal, yaitu hamba menyatu dengan Allah SWT di saat sekarang kala hamba beribadah dan melepaskan segala kepentingan duniawi. Dulu, penyatuan seperti itu memang ada, tetapi secara eksistensial, kala segalanya masih hanya ada Allah SWT. Teori emanasi adalah hal penting untuk memahami ini.

Kehadiran dan kesatuan yang dicita-citakan oleh tafsir sufi untuk mendapatkan makna Al-Qur’an langsung dari Allah SWT adalah kehadiran dan kesatuan dalam bentuk “penyerapan”, yaitu kehadiran dan kesatuan dalam arti pencerahan dan supremasi Allah SWT, bukan realitas-Nya yang menyatu dengan realitas hamba.

Kini tersisa satu problem. Penyingkiran segala yang ilusif adalah satu-satunya syarat agar terjadi “penyerapan” dan pencerahan. Pada satu titik, ilusi terbesar seorang sufi adalah dirinya sendiri (nafs). Karena itu, bahkan diripun harus disingkirkan karena juga termasuk ilusi. Jika diri pun hilang tak berjejak, lalu siapa akan menjadi penfsir?[]

Bahan Bacaan

Ma’rifah, Muhammad Hadi, Al-Tamhîd fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz 10, Qum: Muassasah Al-Tamhid, 2009

Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri: Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, terj. Ahsin Mohamad, Bandung: Mizan, 1994

Sands, Kristin Zahra, Sufi Commentaries on The Qur’an in Classical Islam, London: Routledge, 2006

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *