Agama di Era Paradoks

okezone.com

Perkembangan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi serta globalisasi adalah sebuah kenyataan baru bagi ajaran-ajaran agama. Umumnya agama lahir jauh sebelum era tersebut, bahkan jauh sebelum era modern. Saat menghadapi modernitas pun, agama sempat mengalami keguncangan-keguncangan yang memakan banyak korban, kini agama harus berhadapan dengan era setelah modernitas yang juga menimbulkan guncangan yang tidak kalah dahsyatnya.

Modernitas bisa dianggap merupakan tantangan yang lebih mudah bagi agama karena modernitas relatif satu wajah. Modernitas ditandai dengan pengarusutamaan kekuatan rasio dan pengalaman manusiawi sedangkan agama mengandalkan keyakinan dan spiritualitas. Modernitas mementingkan fisik dan rasio sedangkan agama mementingkan rasa. Sampai pada tahap tertentu, agama dan modernitas kemudian berdamai dengan memadukan semuanya dalam satu paket dan keduanya sepakat untuk mengklaim bahwa manusia tidak akan utuh jika salah satu bagian dari isi paket tersebut tidak ada pada manusia.

Bacaan Lainnya

Selamat Datang di Era Pradoks

Era setelah modernitas adalah era yang benar-benar berbeda karena tidak adanya satu wajah pasti sebagai identifikasi. Akibatnya, tidak ada tanda-tanda pasti tentang mana era setelah modernitas dan mana agama. Celakanya, era setelah modernitas menampakkan diri sebagai memberi ruang leluasa bagi agama tetapi mempreteli sisi-sisi pentingnya dan bahkan menggerogoti isinya. Modernitas berbeda karena hanya satu wajah sehingga perlawanannya kepada agama sangat jelas dan mudah terbaca. Sedangkan era setelah modernitas, memiliki banyak wajah, bahkan kadang berwajah agama.

Ruang leluasa pemberian era setelah modernitas dibuktikan dengan semakin maraknya agama di pentas manusia, semakin kasat matanya identitas keberagamaan, serta semakin diterimanya simbol-simbol agama di ruang publik, semakin maraknya seremoni keagamaan, dan semakin lantangnya teriakan dukungan kepada agama yang tidak jarang lewat jalur kekerasan yang kasat mata dan tidak mendapatkan reaksi yang seimbang.

Namun di sisi lain, era setelah modernitas menggerogoti isi dalam agama sehingga agama yang tampak marak dan membahana sesungguhnya tidak lebih dari manekin tak bernyawa. Tubuh tanpa ruh. Sebagaimana manekin, agama bisa diombang-ambing tidak berdaya oleh kepentingan yang ada dan kadang tanpa agama sadari. 

Era setelah modernitas adalah era paradoks bagi agama. Ada dua hal yang saling berhubungan dan menjadi warna era setelah modernitas, yaitu pertama, teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang mengaburkan sekat-sekat lama dan membaurkan manusia hingga hampir-hampir tanpa pembeda. Kedua, sebagai dampak dari yang pertama, adalah kehilangan kepercayaan kepada narasi-narasi besar seperti demokrasi dan juga saintisme. 

Mari kita lihat satu per satu. Yang pertama, teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi membuat manusia mengalami tamasya fisik dan mental tak terbatas dan mengakibatkan intensitas pertemuan yang tinggi sesama manusia. Dampaknya adalah pertukaran budaya yang cepat dan juga transmisi ilmu pengetahuan. Pasa masa seperti itu, kepentingan kepada “keaslian” dan “kemurnian” menjadi tidak relevan. Seluruh manusia adalah pendatang sekaligus penduduk asli pada saat bersamaan. Semua budaya adalah budaya impor dan budaya lokal sekaligus. Fenomena K-Pop, Hollywood, hijab, cadar, busana Muslimah, dan seterusnya bisa dilihat dari sudut pandang ini. Masing-masing penggemarnya merasa itu budaya mereka, bukan budaya impor.

Yang hendak disampaikan dalam penggambaran di atas adalah bahwa di era setelah modernitas ini ada ketidakpedulian pada “keaslian” dan “kemurnian” akibat pertukaran budaya yang cepat, tetapi juga ada ada kerinduan kepada “keaslian” dan “kemurnian” itu sendiri. Jadinya, yang dianggap asli dan murni adalah impor dan yang lokal dianggap tidak asli. Dan itupun berlangsung sangat cepat sehingga apa yang dianggap asli hari ini bisa berubah dalam waktu singkat di esok hari.

Fenomena seperti disebutkan di atas adalah fenomena permukaan dan sesungguhnya kosong. Karena itu, sangat rentan dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan besar seperti kapitalisme. Jangankan menjadi murni dan asli, gelombang beragama malah ditunggangi oleh kepentingan modal. Jadilah, K-Pop, hijab, cadar, dan busana Muslimah sebagai biang pengumpulan modal atas nama hal-hal yang sakral. 

Setelah teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi, lahirlah dampak yang berikut yaitu ketidakpercayaan kepada narasi-narasi besar seperti demokrasi dan juga saintisme. Persoalannya, di saat bersamaan, manusia tidak bisa lepas dari modernitas dan kebutuhan terhadap sains dan demokrasi. Fenomena antivaksin, antidemokrasi, dan lain-lain bisa dilihat dari perspektif ini. Di satu sisi, sains dibutuhkan tetapi di sisi lain dimusuhi sambil mencari alternatif solusi. Di satu sisi demokrasi dimusuhi, tetapi mengendarai demokrasi untuk memusuhinya. Semua itu terjadi karena narasi-narasi besar mulai kelihatan kekurangannya dan ketidakmampuannya untuk mensejahterakan manusia, tetapi belum juga ditemukan pengganti yang lebih baik. Agama berada di dalam sengkarut problem seperti ini.

Agama dan Era Paradoks

Agama bangkit di tengah skeptisisme kepada narasi-narasi besar, termasuk agama. Sebagai institusi, agama bangkit karena menjadi salah satu alternatif bagi perekat identitas setelah semua narasi-narasi besar tidak lagi dipercaya. Karena itu, agama tampil lebih sebagai identitas-identitas yang agresif dan lahir atau dilahirkan untuk memperkokoh budaya konsumerisme, bukan spiritualitas yang sehat. Dampaknya adalah agama justru melanggengkan bentuk-bentuk manipulasi, korupsi, kolusi, diskriminasi, skandal seksual, hingga genosida. Semua itu karena agama telah sarat kepentingan duniawi, bukan spritualitas. Agama yang dulu merangkul semua, kini mengeksklusi semua yang berbeda. 

Spiritualitas semakin menguat yang ditandai oleh semakin banyaknya sekolah agama atau terpadu antara agama dan non agama atau ditandai oleh semakin maraknya pengajian-pengajian agama dan juga motivator-motivator atas nama agama tertentu. Namun semua itu tumbuh bersamaan dengan kuatnya pengutamaan terhadap penampilan fisik beragama, komplek perumahan beragama, pusat perbelanjaan beragama, bank beragama, serta seluruh tampilan-tampilan eksterior lainnya. Padahal agama sesungguhnya persoalan interioritas, bukan eksterioritas.

Agama pernah menjadi kontributor penting bagi peradaban dan ilmu pengetahuan tetapi kini malah over sensitif dan over defensif terhadap eksplorasi rasional bahkan tanpa kompromi langsung diperhadapkan secara diametral dengan keyakinan agama. Agama kini menjadi pemimpin dalam gelombang besar konservatisme. 

Agama kini menjadi sangat legalistik-formal. Itupun legalistik-formal yang tidak mengakui keragaman. Akibatnya, agama panik terhadap setiap perubahan dan dinamika hingga cenderung bersikap hitam-putih. Agama menjadi sangat rekatif dan mendukung terhadap moral-moral permukaan, tetapi sangat imun terhadap moral-moral kedalaman seperti korupsi, kekerasan, kemiskinan, kebodohan, dan seterusnya. Agama bahkan kadang jadi sponsornya.

Bagaimana Baiknya

Sebaiknya agama kembali kepada spirit awalnya, yaitu membebaskan manusia, bukan memperbudaknya. Agama yang demikian disenangi karena menghapus penindasan, bukan melanggengkannya. Eksterioritas agama yang mengandalkan perbedaan identitas fisikal yang berakibat pada kebencian terhadap keragaman membawa agama di jurang kehancuran. Bayangkan ketika agama sibuk dengan eksterioritas, maka agama akan menjadi aturan yang legal-formal dan menyimpan ketakutan atas pelanggaran. Dampak selanjutnya dari ketakutan adalah kekerasan, yang tidak hanya akan merusak orang lain tetapi juga merusak pemeluk agama itu sendiri.

Agama yang kembali ke spirit awalnya adalah agama yang menemani dalam pertumbuhan kesadaran agar terlahir jiwa-jiwa yang matang dan dewasa serta berkepentingan universal. Nabi Muhammad SAW adalah contoh sempurna yang dengan ketinggian derajat spiritualitasnya menjadi energi baginya untuk merangkul dan merahmati semua kalangan dan strata sosial. Agama kini berbea, agama kini mengeksklusi.

Ada yang lebih dalam daripada spirit awal agama, yaitu agama sebagai pengalaman, sebagaimana pengalaman kenabian. Yang penting dari pengalaman kenabian adalah hasrat untuk terus-menerus mencari kebenaran lewat pengalaman yang jatuh bangun di dalam dosa dan taubat serta nestapa dan bahagia. Sebagaimana Allah SWT terus-menerus mencipta tanpa berkesudahan, maka hamba pun terus-menerus merumuskan kebenaran yang jauh lebih baik dari sebelumnya untuk dirinya dan untuk sekitarnya. 

Agama sebagai pengalaman berarti memahami manusia sebagai sekumpulan makhluk yang bersama-sama dan terus-menerus mencari kebenaran dengan cara bekerja sama untuk menciptakan masyarakat dan dunia yang lebih indah dan layak ditempati bersama. Pada tahap seperti ini, Allah SWT adalah inspirasi dan energi kreativitas karena Allah SWT adalah Tuhan bagi semua manusia, bahkan bagi semua makhluk. 

Agama sebagai pengalaman adalah agama sebagai pendamping dalam segala kekurangan, bukan agama sebagai penghukum atas segala kesalahan. Karena itu, bukan surga di sana yang diimpikan dengan cara menciptakan neraka di dunia, tetapi demi surga yang ada di sana, maka surga di dunia harus diciptakan terlebih dahulu secara bersama-sama. Agama kembali kepada asalnya yaitu kabar gembira, bukan kabar buruk. 

Jika yang di atas itu dilakukan, apakah nantinya tidak akan muncul kekhawatiran akan hilangnya agama-agama secara spesifik dan menyatunya manusia dalam sebuah masyarakat tanpa agama? Tentu saja kekhwatiran itu tidak perlu ada karena manusia tidak mungkin menyepakati satu agama untuk semua. Kreativitas manusia pasti akan menempatkan mereka pada agama-agamanya masing-masing karena setiap individu pasti berbeda.[]

Bahan Bacaan

Sugiharto, Bambang, “Agama dan Paradigma Abad XII”, dalam Bambang Sugiharto, Agama dan Kesadaran Kontemporer, Yogyakarta: Kanisius, 2019

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *