Beragama dalam Sunyi

wallpaperbetter.com

Sejak merebak sebagai wabah global, Covid-19 telah mere-definisi relasi sosial dan kemanusiaan. Perkumpulan bukan lagi tradisi yang dianjurkan. Keramaian tidak lagi menyisakan keriangan. Bahkan persentuhan akan selalu mengundang kegelisahan dan ancaman. Pada gilirannya, manusia kembali menjadi diri-diri yang menjalani hidup dengan segala keterbatasan eksistensialnya.

Dalam tradisi keberagamaan, kesunyian bukanlah hal yang baru. Berbagai ajaran sufistik memperkenalkan istilah tahannuts,`uzlah, dan juga tafakkur. Semua mengandaikan hadirnya kesendirian, kesepian, keheningan, hingga kesyahduan. Dengannya, manusia menggapai kesucian yang kemudian terkonversi menjadi energi yang menggabungkan dimensi ketuhanan sekaligus kemanusiaan.

Bacaan Lainnya

Meski demikian, terdapat kesan jika tradisi sufistik yang diperkenalkan oleh agama-agama, seperti Islam, justru bertolak belakang. Islam, misalnya, adalah agama yang nampak memuja keramaian. Ini bisa kita lihat dalam perspektif fiqh yangmengkaji ihwal ibâdah dan mu`âmalah.

Ibadah adalah sebentuk penghambaan ritualistik manusia kepada Tuhannya. Di dalamnya sarat dengan keramaian, semisal shalat yang disebut lebih baik dilakukan secara berjamaah. Atau ibadah haji yang ditunaikan beramai-ramai karena hanya boleh dilakukan pada waktu-waktu tertentu dan tempat yang sudah ditentukan pula. Belum lagi jika dikatakan bahwa intiibadah haji adalah wuqûf  di Arafah, sebuah bukit di mana suluruh jamaah haji bertumpah ruah di satu tempat dan di satu waktu. Sangat ramai. Belum lagi jika itu terkait denga mu`âmalah yang berarti hubungan sesama manusia, maka dimensi kesendirian benar-benar nampak tidak ada. Muamalah itu sendiri dimaknai sebagai sebagai urusan yang menengahi antarmanusia. 

Ihwal “kesendirian” dalam tradisi Islam mulai nampak dalam diskursus tasawuf dan kalâm, atau teologinya Islam. Namun demikian, campuran keramaiannya masih cukup kental ketika teologi Islam telah menjadi sekte-sekte yang mempunyai massa. Padahal teologi pada dasarnya sesuatu yang menyendiri karena berawal dari permenungan orang per-orang tentang eksistensi Tuhan. 

Karena itu, salah satu inti dari tasawuf adalah dzikr. Vilayat Pir Inayat Khan pernah mengatakan bahwa rahasia tasawuf adalah bergesernya pandangan dari sudut pandang kemanusiaan menjadi cara pandang ketuhanan. Untuk menggapai cara pandang tersebut, manusia dapat melaluinya dengan memperdalam dan memperluas kesadaran melalui meditasi, doa dan puja-puji. Tentu saja, objek yang dipikirkan, dipanjatkan sekaligus dipuja, bukanlah materi. Sebab materi merupakan penghalang keterhubungan antara manusia dengan Tuhan-nya, serta penghambat tranformasi manusia menujui situasi transpersonal.

Dunia materi telah menjadi hal yang paling mempengaruhi cara pandang manusia terhadap segala hal. Hasan Al-Bashri, seorang sufi awal, banyak mencetuskan pandangannya ketika Islam sedang berada dalam kemajuan dan perluasan kekuasaan yang bahkan menyentuh dinding-dinding kekuasaan Eropa, tatkala upeti yang berasal dari seluruh wilayah pembebasan sangat melimpah jumlahnya. Umat Islam larut dalam gelimang kekayaan.

Bagi Hasan Al-Bashri, ada masalah akut yang diidap masyarakat pada waktu itu, yaitu pandangan mata kepala dan mata batinnya tertutupi oleh alam materi. Keadaan itu lalu menumpulkan kekuatan pandangan mata hati. Segala hal lalu dilihat secara meterialistis. Singkatnya, manusia telah memuja kehidupan dunia material dan melupakan kehidupan spiritual. Ini masalah baginya, karena kehidupan yang sesunggunya bukanlah di dunia, tetapi dalam keabadian dan kekekalan akhirat. 

Para pengikut ekstrim Hasan Al-Bashri dikenal dengan nama kelompok al-bakkâ’ûn  (mereka yang selalu menangis). Mereka yang mengisi hari-hari yang menurutnya sangat menyedihkan. Hingga tidak cukup bekal untuk menghadap keabadian dan kekekalan di akhirat kelak.

Kritik tasawuf terhadap masyarakat, termasuk masyarakat modern setelahnya adalah kehidupan dunia  yang justru memalingkan manusia dari kekekalan yang abadi. Termasuk menyederhanakan urusan ritual hanya sebatas cara pandang duniawi. Rabi’ah al-Adawiyah mengeritik ritualitas yang didekati dengan cara matematis,  dengan berharap surga dan amat takut neraka melebihi harapan kepada Tuhan.

Kritik para sufi sebenarnya sedang menguliti masyarakat yang sedang larut dalam “keramaian”. Keramaian versi Hasan Al-Bashri adalah godaan dunia yang merasuki kesadaran hidup. Sedangkan “keramaian” dalam versi Rabi`ah adalah ramainya niat dan maksud lain yang mengitari kehadiran Tuhan. Mengapa ibadah yang sejatinya adalah urusan pribadi dan bertujuan pada Allah semata kemudian menjadi ramai dengan kehadiran unsur-unsur lain seperti surga, takut neraka, limpahan rejeki, atau usia yang panjang? Rabi`ah mengajukan bahwa hanya Allah tujuan segalanya. Seandainya neraka adalah ganjaran baginya akibat beribadah kepada Allah, maka itupun dia rela menerima, karena memang tujuannya hanya Allah.

Alhasil, di balik kesan “keramaian” dan penafian terhadap kesendirian yang menyelimuti suasana sosial-kemasyarakatan, terpendam pengabaian energi dan daya cipta yang lahir dari kesendirian. Lihatlah, mereka yang sedang wukuf di Arafah. Dalam keramaian terkadang mereka sedang merayakan kesendirian. Doa-doa yang dilantunkan pun acapkali sekedar lantunan keselamatan untuk diri sendiri, bukan keselamatan bersama.

Jika memang keberagamaan lebih mengutamakan keramaian, mengapa Al-Qur’an turun di tengah malam sunyi, di puncak bukti yang sepi, di dalam gua yang hening? Bukankah teologi Islam mengajarkan bahwa manusia nanti akan dibangkitkan dari kuburnya sendiri-sendiri dan akan mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri-sendiri? Lalu yang ada hanya kesendirian.Semoga wabah pandemi Covid-19 semakin mengurai kesadaran kemanusiaan tentang hadirnya dimensi ketuhanan yang justru seringkali terabaikan. Tidak hanya dalam keramaian, Tuhan akan senantiasa hadir dalam hati yang hening dan merindu serta mengingat-Nya dalam keadaan sunyi. Karena sejatinya hening adalah sunyi yang sedang berisik.

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 Komentar

  1. Tulisan yang sangat menginspirasi. Muhasabah diri, refleksi, bahkan munajah di keheningan, lebih menginspirasi..
    Sejatinya semua akan berakhir di kesunyian dan kesendirian.

  2. Tulisan yang sangat menginspirasi. Muhasabah diri, refleksi, bahkan munajah di keheningan, Menyatu dalam totalitas kepasrahan.