Nama lengkap tafsir ini adalah “Al-Kasysyâf ‘an Haqâiq at-Tanzîl wa ‘Uyûn al-‘Aqâwil fi Wujûh at-Ta`wîl” yang berarti “Penyingkap Tabir Hakikat Wahyu dan Mata Air Hikmah Dalam Aneka Pentakwilan”, ditulis oleh Mahmûd bin ‘Umar bin Muhammad bin ‘Umar al-Khuwârizmi al-Zamakhsyari, seorang tokoh Mu’tazilah bermazhab fikih Hanafi.
Al-Zamakhsyari sendiri lahir pada hari rabu, 27 Rajab 467 H. atau bertepatan dengan tanggal 18 Maret 1075 M. di Zamakhsyar sebuah perkampungan besar di kawasan Khuwârizm (Turkistan). Ia lahir dari keluarga miskin dan taat beragama, dimana saat itu kekuasaan pemerintah dipegang oleh Sultan Saljuk Malik Syah yang didukung oleh perdana menterinya yang sangat popular yaitu Nizham al-Mulk.
Sosok al-Zamakhsyari tumbuh sebagai remaja yang sangat tekun dan cerdas, cinta kepada ilmu pengetahuan, sehingga Abu Mudhar Mahmud ibn Jarîr al-Dhabby al-Ashfahâni (w.507 H) bersedia menjadi gurunya, agar menjadi penerusnya kelak. Abu Mudhar sendiri merupakan sosok tokoh tunggal di masanya dalam bidang bahasa dan nahwu. Ia termasuk guru al-Zamakhsyari yang paling besar pengaruhnya dalam membentuk karakter dan sikapnya. Di bawah bimbingan Abu Mudhar inilah al-Zamakhsyari berhasil menguasai sastra Arab, logika, filsafat dan teologi. Al-Zamakhsyari sendiri meninggal dunia pada tahun 538 H./1144 M. di desa Jurjaniyah wilayah Khawarizm setelah kembali dari Makkah.
Al-Zamakhsyari meninggalkan banyak karya monumental dan fenomenal, terutama pada bidang bahasa dan sastra, seperti Asâs al-Balaghah, Al-Mufashshâl fi ‘Ilmi al-Lughah dan lain-lain, termasuk kitab tafsir al-Kasysyâf ini, dimana ia tulis untuk mempertahankan akidahnya, atas dasar permintaan suatu kelompok yang menamakan diri al-Fi`ah al-Nâjiyah al-Adaliyyah (Mu’tazilah). Tafsir ini ditulis dalam waktu kurang lebih 30 bulan atau 3 tahun, dimulai ketika ia berada di Makkah pada tahun 526 H. dan selesai pada hari senin 23 Rabi’ul Akhir 528 H., kitab ini terdiri dari 4 jilid.
Dalam penyusunannya, al-Zamakhsyari menulis tafsir ini berdasarkan urutan mushaf utsmani, terdiri dari 30 juz dan 114 surat, diawali dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, setiap surat diawali basmalah kecuali surah At-Taubah. Sebelum menafsirkan, terlebih dahulu al-Zamakhsyari menuliskan ayat Al-Qur’an yang akan ditafsirkan, kemudian memulai penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran rasionalnya yang didukung dengan dalil-dalil riwayat (hadits) atau ayat Al-Qur’an, baik berhubungan dengan asbabunnuzul suatu ayat atau dalam hal penafsiran ayat. Ia juga menyingkap aspek munasabah antara ayat yang satu dengan yang lainnya atau antara surat yang satu dengan surat yang lainnya, sesuai dengan tertib susunan surat-surat dalam mushaf utsmani. Untuk membantu mengungkap makna ayat-ayat tersebut, ia juga menggunakan riwayat-riwayat dari para sahabat dan tabi’in, kemudian mengambil konklusi dengan pemikirannya sendiri.
Pada masanya, tafsir ini tampil sebagai corong kaum Mu’tazilah untuk menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya, bahkan menurut al-Fâdhil bin ‘Âsyur, tujuan penulisan tafsir al-Kasysyâf ini adalah untuk menaikkan pamor Mu’tazilah sebagai kelompok yang menguasai balaghah dan ta`wil. Harus diakui, keistimewaan yang ditampilkan oleh al-Zamakhsyari pada kitab al-Kasysyâf adalah kemampuannya dalam menampilkan sisi bahasa dan sastra sebagai mukjizat terbesarnya Al-Qur’an, yang ditampilkan saat menafsirkan ayat demi ayat dalam Al-Qur’an.
Ibnu Khaldun mengakui keistimewaan al-Kasysyâf dari segi pendekatan sastra (balaghah)-nya dibanding kebanyakan karya-karya tafsir ulama mutaqaddimin lainnya, sehingga ulama Ahlussunnah pun banyak merujuk kepada al-Kasysyâf pada bidang balaghahnya.
Al-Fâdhil bin ‘Asyur lebih jauh menegaskan bahwa sebagian besar pembahasan ulama Sunni terhadap tafsir Al-Qur’an didasarkan pada tafsir al-Zamakhsyari. Kemampuan al-Zamakhsyari mengenai seluk beluk bahasa dan sastra selalu digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan tidak terlepas dari corak aliran teologinya yaitu Mu’tazilah. Namun demikian, al-Kasysyâf tidak selalu mencerminkan pandangan Mu’tazilah. Ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum, al-Zamakhsyari sering menggunakan pendapat mazhab lain, selain mazhab Hanafi yang dianutnya. Dari sudut ini, jelas kalangan Sunni dapat dengan mudah menerimanya karena mazhab-mazhab itu pun diakui di kalangan mereka.
Nûruddîn ‘Itr mengatakan bahwa al–Kasysyâf merupakan kitab tafsir yang luar biasa dalam menonjolkan atau memperlihatkan kekayaan Al-Qur’an dalam balaghah, memberi pengaruh signifikan yang oleh orang Arab sendiri sulit menyanggahnya. Dan banyak mufassir sesudahnya (al-Zamakhsyari) yang menjadikan al–Kasysyâf sebagai rujukan dalam bidang balaghah Al-Qur’an. Oleh karena itu, keistimewaan tafsir ahli Masyriqy terhadap ahli Andalusia adalah pada keilmuan ini; balaghah Al-Qur’an.
Sampai saat ini, kitab al-Kasysyâf masih menjadi salah satu kitab favorit untuk dikaji di dunia Islam, termasuk kampus-kampus Islam di Indonesia, terutama pada bidang Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.[]
Editor: MAY
Sumber:
M. Agus Yusron, (2021). Memahami Makna Ayat Kalam; Pendekatan Semantik al-Zamakhsyari dan Ibnu ‘Athiyyah Terhadap Ayat Kalam.