Revolusi Kopernikan yang menandai perubahan pendulum paradigma tentang ilmu pengetahuan, menyisakan persoalan di kemudian hari. Meski cara pandang tersebut cenderung menindaklanjuti geliat kuriositas pencarian jawaban asal-usul alam yang berabad-abad sebelumnya telah diperbincangkan oleh Thales di era Yunani Kuno, namun dampak-dampak yang dihasilkannya melahirkan keprihatinan, kecemasan hingga penolakan.
Sulit dimungkiri, Masa Pencerahan (The Enlightenment) di Eropa pada abad ke-17 dan 18 membangkitkan kembali gairah dan keemasan Yunani Kuno di panggung sejarah dan peradaban kemanusiaan. Tradisi dan dogma yang seringkali dengan mudah dijadikan alat legitimasi untuk membungkam perbedaan dan kritisisme, mulai ditinggalkan. Kemajuan ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial mengisi relung-relung keseharian, hingga menyisakan kemajuan yang begitu pesat.
Pada dasarnya, narasi perubahan tersebut tidak sekedar dilecut oleh kebutuhan, tapi juga drama-drama romantik yang mengkolosal. Nicolaus Copernicus (1473 – 1543), Johannes Kepler (1571 – 1626) dan Galilei Galileo (1546 – 1642) adalah tiga pemikir yang tercatat sebagai penganjur perubahan radikal tentang apa yang selama ini dipahami oleh publik selamna ribuan tahun.
Ketiganya merintis dan mengembangkan sebentuk pembangkangan ilmiah tentang apa yang diyakini bahwa bumi sebagai pusat alam semesta, dan manusia sebagai gambaran sentral ciptaan manusia. Geosentrimse ke heliosentrisme melahirkan paradigma baru tentang bumi yang tidak lagi menjadi pusat. Alih-alih, ia hanya lah salah satu dari kumpulan planet yang mengelilingi bintang kecil di ujung galaksi: matahari. Ketiganya pun mengenyam konsekuensi akibat cetusan-cetusan revolusioner tersebut. Sembari tetap menganggap pemikirannya sebagai semata hipotesis belaka, gereja dan penguasa tidak cukup mampu menahan amarah. Copernicus disebut peramal dan menderita sakit akibat tuduhan sesat yang disemat puluhan tahun. Kepler mengalami masa-masa yang sulit di akhir hidupnya, sementara Galileo mendekam dalam tahanan hingga akhir hayantnya.
Ironi
Pada abad ke-17, Rene Descartes yang mewakili praksis-revolusioner filsafat ala Perancis dan Isaac Newton yang merepresentasi corak empirisisme Inggris justru menjadikan ketiga “pemberontak” tersebut sebagai referensi. Bisa dipastikan, karakter pencarian kebenaran ilmu pengetahuan pada latar berikutnya menjadikan menurunkan kedigdyaan bumi (alam) pada manusia. Subjek individual kemanusiaan menjadi sumber perhatian sekaligus keabsahan atas segala justifikasi terkait nilai yang dimiliki oleh argumentasi.
Tapi, pada perkembangan selanjutnya, abad ke-20 menampakkan realitas yang cukup mengundang polemik. Jika manusia sebagai sumber kebenaran atas pertanyaan tentang pengetahuan, lalu sejauhmana dampak peperangan akibat penguasaan terhadap ilmu pengetahuan yang memusnahkan umat manusia, bisa dipahami? Setelah sebelumnya alam sebagai signs of God (âyât), lalu direduksi menjadi sekedar kalkulasi matematis dalam alur pikir ilmiah yang verifikatif, lalu di mana letak kemukjizatan dan hikmah ketuhanan yang sejatinya mewarnai kehidupan umat manusia dan menciptakan tatanan kehidupan yang dipenuhi nilai dan moralitas? Semakin memprihatinkan saat ketidakmampuan memahamai posisi ilmu pengetahuan menyebabkan banyak kalangan yang enggan mendekatinya dan menyebutnya sebagai ilmu atau pengetahuan menyimpang dan tidak layak untuk digeluti.
Banyak kalangan mengobjektivisir ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan alam sebagai biang kebobrokan modernitas. Penguasaan terhadap sains yang begitu pesat dan memproduksi teknologi secara massif dipandang sebagai muasal dari reduksi besar-besaran terhadap dimensi imanen yang sejatinya dikandung oleh realitas. Perburuan tidak kenal lelah pada dimensi profan mengakibatkan tumpulnya nurani yang pada saat yang sama dimaknai sebagai lenyapnya nilai agama dalam berbagai pendekatan yang justru menghasilkan kemajuan.
Namun, di sisi lain, keengganan untuk membuka cakrawala dan paradigma tentang keluasan ilmu pengetahuan itu sendiri, pun menjadi persoalan tersendiri. Pada gilirannya, ilmu pengetahuan dan agama berada pada posisi yang saling berhadap-hadapan. Alih-alih saling mendukung dan memperkaya perspektif, berbagai pendekatan ilmu sosial dan alam, misalnya, bahkan dianggap menyimpang dan menghasilkan kesimpulan yang jauh dari tujuan agama. Hal inilah, misalnya, diidap oleh sebagian para pengkaji ilmu agama yang dengan penuh curiga meneropong kajian-kajian sosial sebagai cara keliru dalam memahami agama dan keberagamaan.
Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, revolusi kopernikan yang mengalami kecurigaan sekaligus hambatan besar-besaran oleh gereja dan penguasa, tidak ubahnya dengan sikap sebagian orang yang memosisikan tradisi dan agama sebagai suatu dogma final yang sama sekali tidak pantas untuk didekati dengan instrumen keilmuan lainnya.
Argumen Etis
Pada titik ini, pemaknaan tentang ilmu pengetahuan dan agama memerlukan pendekatan etis sebagai cara pandang dalam memahami relasi antara keduanya. Sebagai sebuah refleksi filosofis, etika memayungi ilmu pengetahuan agar senantiasa bekerja pada porosnya dan memiliki nilai yang diterima sebagai kebenaran universal. Karena itu, ketika ilmu pengetahuan dimaknai sebagai hasil, sejauh memberi manfaat atau tidak memberi manfaat, maka pada saat itulah ilmu pengetahuan terlepas dari pijakan etis.
Pada saat yang sama, ketika ajaran agama yang bersifat lokalistik (ibadah) dan dogmatik diajukan sebagai kebenaran universal, maka pada saat itu pula, agama kehilangan pesan universalitasnya. Menyadari akan hal itu, beberapa pemikir Muslim semisal As-Syatihibi dan Abdullahi Ahmed An-Na’im mengutarakan pentingnya menggelorakan pesan-pesan keberagamaan yang bersifat universal ketimbang partikular. As-Syathibi menegaskan tentang syariah yang seharusnya berkoneksi dan berkonsekuensi akut dengan kepentingan sosial, kemasyarakatan serta keumatan. Sementara An-Na’im menyinggung pentingnya mengarusutamakan ayat-ayat makkiyah sebagai inti dari pesan-pesan qur’anik ketimbang ayat-ayat madaniyah yang dirimbuni ajaran-ajaran yang memang menunjukkan identitas keislaman, bukan kemanusiaan.
Meneropong rasionalitas etika qur’anik tidak pernah mudah selama perbedaan yang terus-menerus diajukan. Sebagimanahalnya menempatkan sains dan agama dalam posisi yang berhadap-hadapan tidak akan usai selama keduanya tercerabut dari asumsi etika universal yang dikandungnya.
Oleh karena itu, para penolak bumi bulat tidak akan pernah layak untuk disematkan sebagai kâfir, sebagaimana pendukung bumi datar pun tidak pantas disebut beriman. Sebab dalam sudut pandang etika, mereka yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan, bukanlah orang jahat (evil) sehingga harus memperoleh perlakuan intimidatif oleh Satuan Polisi Pamong Praja. Sebaliknya para âbid yang tidak pernah lepas dari sajadahnya di malam hari pun tidak pernah pantas diberi penghargaan pengampunan pajak atau berkalung pahlawan nasional selepas hidupnya.[]
Editor: AMN