Istikamah vs Karamah

Rasulullah Saw. bersabda:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلىَ اﷲِأَدْومُهَا وَإِنْ قَلَّ

Bacaan Lainnya

Pekerjaan-pekerjaan (yang baik) yang lebih disukai Allah adalah pekerjaan yang terus-menerus (dawwam) dikerjakan walaupun pekerjaan itu sedikit.”

(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah).

Konteks istikamah telah banyak dijabarkan oleh para sahabat, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan juga oleh para ulama salah satunya oleh Imam Nawawi, yang secara garis besar istikamah berarti konsekuen beribadah secara ikhlas, semata-mata karena Allah, berpaling dari selain Allah, termasuk di dalamnya mengharapkan bagian atas dirinya berupa karamah/kekeramatan.

Dalam karamah/kekeramatan terkadang justru mengandung tipuan baik di awal maupun di akhir sebuah pendakian menuju ke hadhirat Allah. Terkadang orang yang sedang mendaki menuju Allah terhenti karena karamah/kekeramatan, dia pikir sudah sampai, dan sudah dapet maqam, padahal perjalanan masih  belum sampai, karena sampainya pendakian adalah saat hati tersambung dan merasakan kedekatan dengan Allah Swt.

Terkadang karamah/kesaktian diberikan justru bukan kepada orang yg sudah mampu istikamah, bahkan kepada ahli maksiat (cuma istilahnya istidroj). Bagi orang-orang ahli hakikat, karamah yang sesungguhnya adalah istikamah.

Karenanya Abu Yazid al-Busthami berkata “Apabila seorang mampu menggelar sajadah tempat shalatnya di atas air, mampu duduk bersila di udara maka janganlah kalian tertipu hingga kalian benar-benar mengetahui bagaimana dia menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah.”

Ditanyakan pada Abu Yazid “Sesungguhnya si Anu mampu berjalan di satu malam menuju Makkah.” Beliau menjawab “Sesungguhnya setan mampu berjalan dari ujung timur ke ujung barat dalam sekejap mata.” Ditanyakan pada Abu Yazid “Sesungguhnya si Anu mampu berjalan di atas air.” Beliau menjawab “Ikan-ikan di air, burung-burung di udara lebih mengherankan ketimbang hal itu”.

Hal serupa juga pernah terjadi dialog antara Syaikh Jumadil Qubro dan muridnya.

“Tuanku, engkau bisa berjalan di atas air.” Murid-muridnya berkata dengan kekaguman kepada Syaikh Jumadil Qubra.

“Itu bukan apa-apa, sepotong kayu juga bisa.” Syaikh Jumadil Qubra menjawab pertanyaan muridnya.

Murid: “Tetapi engkau juga bisa terbang ke angkasa.”

Syaikh Jumadil Qubra: “Demikian juga burung-burung itu bisa terbang.”

Murid: “Engkau juga bisa bepergian ke Ka’bah dalam sedetik.”

Syaikh Jumadil Qubra: “Setiap Jin yang kuat pun akan mampu pergi dari India ke Demavand dalam sedetik.”

Murid: “Engkau juga kebal senjata dan kebal api.”

Syaikh Jumadil Qubra: “Batu karang di pantaipun bisa kebal seperti itu.”

“Kalau begitu. Apa kehebatan seorang manusia sakti yang sebenarnya.?” Murid-muridnya ingin tahu.

Syaikh Jumadil Qubro tersenyum lalu dan menjawab:

“Manusia sakti/keramat ialah mereka yang bisa menjaga hatinya agar tidak berpaling kepada sesuatupun selain Allah. Hatinya selalu zikrullah dalam keadaan apapun, sehingga bisa bersabar ketika diuji dan bisa bersyukur ketika diberi rizki. Dengan zikirnya maka rasanya rata datar seperti air sehingga tidak senang ketika dipuji dan tidak sakit hati ketika dihina. Dengan zikrullah maka ia bisa terbang hijrah dari kegelapan perbuatan dosa ke jalan ketaqwaan penuh cahaya, dan kebal dari segala godaan setan.”

Coba kita lihat Syarh al-Hikam al-‘Athaillah

استقيموا أي على جادة الشريعة والطريقة والحقيقة فإن الإستقامة خير من ألف كرامة

Istikamahlah, artinya bersungguh-sungguhlah menjalankan syariat, thariqah dan hakikat karena sesungguhnya istikamah itu lebih utama ketimbang seribu karamah.

Marqaah al-Mafaatiih Syarh al-Misykaat II/193

لا شك أن الإستقامة خير من ألف كرامة لكونها أصعب من جسر القيامة مع أنها أدق من الشعر وأمر من الصبر وأحد من السيف وأحر من الصيف

Tidak diragukan bahwa istikamah lebih utama ketimbang seribu karamah, karena jalan istikamah lebih sulit ketimbang menapaki titian yang membentang di hari kiamat meski ia lebih lembut ketimbang rambut, lebih pahit ketimbang kesabaran, lebih tajam ketimbang mata pedang dan lebih terik ketimbang musim panas.

Orang yang hatinya istikamah terhubung dengan Allah tidak akan kalah dengan apa dan siapapun. Rasulullah hanya dengan mengucapkan “Allah” saja, orang yang akan membunuh beliau langsung lemas dan terjatuh, Nabi Ibrahim hanya dengan mengucapkan “Ya Allah aku yakin Engkau melihat yang sedang aku alami”, apinya langsung dingin, Nabi Musa hanya dengan mengucapkan “Ya Allah hanya pada-Mu aku mengadu”, lautan terbelah, semua ini karena hati yang selalu istikamah terhubung dengan Allah, istikamah melakukan ketaatan kepada Allah.

Para walinya Allah tidak harus memiliki karamah (kesaktian), atau tidak harus punya kemampuan bisa melihat kegaiban, kalau hanya sakti, Musailamah al-Kadzzab itu sakti, dajjal atau Samiri juga sakti, kesaktian istidroj.

Sebagai penutup mari kita baca hikmah ke-77 dalam kitab al-Hikam:

اِذاَ رَأيْتَ عَبْداً أقاَمهُ اللهُ تعالى بِوُجُودِ الاَورَدِ وَاَدَمَهُ عليهاَ مَعَ طُول الامساَد فَلاَ تـَسْتحْقِرَنَّ ماَمنَحَهُ مَولاهُ لاَنَّكَ لم تَرَ عليهِ سِيماَ العاَرِفِينَ ولاَ بَهْجَةَ المحِبِّينَ فَلولاَ واَرِدٌ ماكاَنَ وِرْدٌ

Jika engkau melihat seseorang yang ditetapkan oleh Allah dalam menjaga wiridnya, dan sampai lama tidak juga menerima karunia (keistimewaan) dari Allah (warid), maka jangan engkau rendahkan (remehkan) pemberian Tuhan kepadanya, karena belum terlihat padanya tanda orang arif, atau keindahan orang cinta pada Allah, sebab sekiranya tidak ada warid (karunia Allah), maka tidak mungkin ada wirid.”

Wirid adalah ragam bentuk ketaatan seorang hamba kepada Allah. Bisa istikamah melakukan ketaatan kepada Allah itu karunia/rahmat Allah yang sangat istimewa, dan karena ini kita pantas dan harus untuk merasa bersyukur.

Firman Allah:

Katakanlah! “Dengan karunia Allah dan dengan rahmat-Nya. Maka disebabkan itu hendaklah mereka bergembira. Ia lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus/10:58). Wallaahu A’lam.

Editor: MAY

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *