Definisi Poligami dan Monogami
Poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu apoulus yang mempunyai arti banyak; serta gamos yang mempunyai arti perkawinan. Maka ketika kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas. Kata poligami hampir sama dengan poligini. Di mana poligini berasal dari kata polus yang berarti banyak; dan gene yang berarti perempuan. Dari pengertian itu dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan Poligami dan Poligini ialah suatu sistem perkawinan di mana yang salah satu pihak (suami) mengawini lebih dari satu istri pada waktu bersamaan, artinya istri-istri tersebut masih dalam tanggungan suami, tidak diceraikan tetapi masih sah menjadi istrinya. Kebalikan dari poligami yaitu monogami, dimana dalam perkawinan tersebut suami hanya mempunyai satu istri.
Istilah Poligami dalam al-Quran selalu merujuk pada surat an-Nisa’[4]:3 yang artinya: Jika kamu (para pengasuh anak-anak yatim) khawatir tidak bisa bertindak adil (manakala kamu ingin mengawini mereka), maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi dari perempuan-perempuan (lain) sebanyak: dua, tiga, atau empat. Lalu jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Ada beragam riwayat mengenai sabab al-nuzûl (sebab turun) ayat tersebut. Kurang lebih ada tiga riwayat yang menjelaskan tentang sabab al-nuzûl (sebab turun) ayat tersebut, dapat disimpulkan dari sabab al-nuzûl (sebab turun) ayat tersebut adalah ayat ini turun sebagai teguran terhadap orang yang telah mengambil harta anak yatim secara zalim. Begitu juga, ayat ini menurut Syekh Nawawi al-Jawi merupakan teguran terhadap laki-laki yang tidak bisa adil dalam pemberian nafkah kepada para istri sebagaimana mereka tidak bisa adil dalam pemenuhan hak anak-anak yatim. Jika demikian kenyataannya, maka cukuplah baginya untuk menikahi satu perempuan saja, karena itu yang paling memungkinkan bagi laki-laki untuk terhindar dari kezaliman.
Pandangan Ulama Klasik
Umumnya ulama klasik tidak mempertentangkan masalah poligami. Mereka berselisih misalnya mengenai jumlah perempuan yang boleh dinikahi laki-laki dalam waktu bersamaan. Mereka pun menambahkan bahwa huruf wawu yang mengantarai matsnâ, tsulâstâ`, dan rubâ’ menunjuk pada penjumlahan (al-jam’ al-muthlaq) bukan pada pemilihan (al-takhyîr). Karena itu, menurut mereka, jumlah perempuan yang boleh dinikahi bukan hanya empat tapi bisa sembilan perempuan. al-Razi menyebut satu pendapat yang menyatakan bahwa batas maksimal perempuan yang boleh dinikahi adalah 18. Ini didasarkan pada analisa kata matsnâ, tsulâstâ`, dan rubâ`. Menurut mereka, kata matsnâ dalam ayat itu tidak menunjuk pada makna itsnaini yang bermakna dua, melainkan itsnaini itsnaini yang bermakna dua-dua yang berarti 4. Begitu juga, kata tsulâtsâ` dalam ayat itu bukan bermakna tiga (tsalâtsah), melainkan tiga-tiga (tsalâtsah tsalâtsah) yang jika digabung berjumlah 6. Selanjut-nya, kata rubâ’ bermakna empat-empat (arba`ah arba`ah) yang berarti 8. Dengan demikian, 4 + 6 + 8 =18.
Selanjutnya ada ulama klasik yang juga berpandangan bahwa poligami dapat diperbolehkan dalam batas maksimal 4 Istri. Di samping merujuk pada kata rubâ’, juga berlandaskan hadis Nabi yang menginstruksikan Ghaylân ibn Salamah al-Tsaqafî al-Dimasyqî untuk menceraikan 6 orang istrinya dan hanya mengambil 4 perempuan sebagai Istrinya. Nabi juga meminta Nawfal ibn Muawiyah yang memiliki 5 orang Istri untuk menceraikan satu istrinya dan hanya mengambil empat istri saja. Qais ibn al-Hârits ketika baru masuk Islam memiliki 8 istri. Dia juga diminta Nabi untuk tetap dengan 4 istri dan menceraikan yang lain. Di samping surah al-Nisa’[4] ayat 3, tiga hadis itu juga dijadikan dasar jumhur ulama untuk membatasi jumlah maksimal Istri menjadi empat. Untuk menangkis argumen ulama sebelumnya, maka ulama ini mengemukakan beberapa hal.
Pertama, pernikahan Nabi yang lebih dari empat orang perempuan dianggap sebagai salah satu kekhususan bagi Nabi Muhammad Saw. (khushûsîyât al-nabîy). Artinya, pernikahan Nabi dengan lebih dari empat perempuan itu tidak bisa diteladani oleh umat Islam. Dan itu tidak mengikat bagi umat Islam. Sebab, ada beberapa hal yang mengikat kepada Nabi Muhammad Saw. secara terbatas tapi tidak mengikat kepada umat Islam secara luas.
Kedua, kelompok ini tidak mengartikan kata matsnâ dengan “dua-dua” yang dijumlahkan menjadi empat, melainkan menunjuk pada makna “dua” saja. Begitu juga dengan kata tsulâtsâ` dan rubâ’. Dengan ini, maka menutup kemungkinan untuk membuka pintu poligami hingga dengan 18 perempuan. Demikian juga dengan huruf “wawu” yang mengantarai “matsnâ wa tsu-lâtsâ` wa rubâ’”. Berbeda dengan pendapat ulama sebelumnya yang mengartikan huruf “wawu” sebagai li muthlaq al-jam`i, maka Jumhur ulama mengartikannya sebagai li al-takhyir (pemilihan). Ini jelas punya konsekwensi hukum berbeda. Jika “wawu” diartikan sebagai li muthlaq al-jam’i berakibat pada kebolehan menikahi 18 perempuan dalam satu waktu, maka dengan mengartikan “wawu” sebagai li al-takhyîr berarti batas maksimal poligami adalah empat perempuan.
Pandangan Ulama Kontemporer
Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip Muhammad Rasyid Ridla dalam Tafsîr al-Manâr, adalah ulama modern yang keras menolak poligami. Sebab, menurutnya, di dalam poligami terkandung kemafsadatan. Poligami bisa dibolehkan jika kondisinya sudah sangat darurat, itupun dijalankan harus dengan prinsip keadilan. Apa yang dikemukakan Abduh tersebut diikuti oleh murid-murid dan para pengikutnya. Qasim Aminadalah salah satu pengikut Abduh yang cukup tegas tentang poligami. Menurut Wahbah al-zuhaily mengatakan bahwa pernikahan dengan satu istri adalah pernikahan yang ideal yang dipilih kebanyakan orang yang merupakan (hukum) ashli secara syariat “ al-Ashl Syar’an”, adapun poligami adalah hal yang sangat jarang (dipraktekkan) yang bersifat (sebagai) pengecualian “amr nadir istitsna’i” yang tidak boleh dilakukan kecuali ada kebutuhan mendesak, syariat tidak mewajibkan dan juga tidak menganjurkannya, akan tetapi hanya sebatas membolehkan dengan sebab-sebab tertentu. Adapun tentang kebolehan poligami, beliau membahas dalam kitabnya tentang seruan kebolehan hukum poligami kepada hakim. Dan kemudian dalam kesimpulannya dalam bab tersebut beliau berpendapat bahwa kebolehan poligami itu dibatasi oleh keadaan darurat, atau kebutuhan yang mendesak serta demi kemaslahatan yang diterima secara syariat. Tentu keadilan menjadi syarat muthlaq dalam hal itu. Begitu pula menurut Syeikh Ali As-Shobuni dalam kitab Tafsîr Ayât Ahkâm nya sama-sama berpendapat bahwa kata “fankihû” dalam surat an-Nisa [4]: 3 adalah amr lil-ibahah bukan lil-wujub dan mayoritas ulama mengatakan lil-ibahah itu sama seperti kata perintah dalam makan dan minum “mitslu al-amr fi qaulihi kulû wasyrobû”. Dan memandang poligami sebagai pintu darurat saja. Pendapat jumhur ini pun diikuti oleh pendapat Quraish Shihab,dan Buya Hamka.
Berkaitan dengan pembahasan ini, surat an-Nisa[4]:129, memberi pelajaran kepada siapa saja yang hendak berpoligami bahwa Nabi sendiri mengakui dirinya tidak kuasa untuk berlaku adil terhadap para isterinya karena beliau lebih condong kepada Aisyah ra, karena Aisyah memiliki salah satu kelebihan yaitu kecerdasan dalam mengajarkan ilmu agama. Maka hal ini menjadi sebuah pelajaran yang penting sebelum memutuskan untuk memiliki isteri lebih dari satu. Meskipun poligami itu adalah hal yang diperbolehkan sebagai pintu darurat dengan syarat-syarat tertentu, sisi positif dan negatif pun harus dipertimbangkan dengan matang, melihat keadaan dan kondisi anggota keluarganya mendukung atau tidak, apakah darinya akan mendapatkan kebaikan atau malah keributan. Karena sejatinya setiap perbuatan akan diminta pertanggungjawabannya dihadapan Alllah Swt.
Dari paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa poligami awalnya adalah suatu tradisi yang ada sebelum datangnya Islam, kemudian setelah datangnya Islam, Poligami yang awalnya tidak terbatas dan tanpa adanya rasa keadilan, telah diatur oleh Islam itu sendiri, namun tetap saja banyak orang yang mempraktekkan poligami tidak sesuai dengan prinsip yang dituntut yaitu keadilan itu sendiri, menikahi lebih satu isteri dipandang oleh sebagian orang sebagai laki-laki yang hebat, ada pula yang mempraktikkan poligami hanya karena terprofokasi oleh teman-temannya, menikahi lebih satu isteri lebih banyak diminati kalangan tertentu dari pada menegakkan keadilan itu sendiri, padahal Nabi Saw mempraktikkan poligami hanya 8 tahun, dan monogami selama 25 tahun bersama khadijah, dan Nabi pun tidak mempoligami karena alasan libido syahwat. Namun belakangan ini marak nya poligami hanya untuk kebutuhan nafsu syahwatnya saja, tanpa mempertimbangkan psikologi istri pertama, anak-anaknya, serta keluarganya. Padahal hukum kebolehan itu sendiri bisa menjadi haram jika menimbulkan pertikaian dan keributan antara suami dan isteri serta keluarga itu sendiri, atau lebih banyak menimbulkan mafsadah/kerusakan. Beruntunglah kita hidup di Negara berlandaskan hukum, sehingga setiap orang yang hendak berpoligami tidak diijinkan kecuali oleh keputusan Hakim Agama. Maksudnya pihak isteri dapat menggugat suaminya yang memaksa untuk berpoligami tanpa persetujuan darinya serta syarat-syarat lain yang harus dipenuhi. Demikian pula hal ini meminimalisir tindakan yang dapat merugikan salah satu pihak. Dan itu pula yang menjadikan ulama-ulama modern ini lebih memilih untuk monogami, karena memang pernikahan ideal adalah monogami, dan itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim. Wallahu’alam.
Editor: MW