Relasi antaragama terselubungi oleh beberapa problem seperti: mayoritas-minoritas, kafir-muslim, penindas-tertindas, dan sebagainya. Konstelasi problem itu harus diurai agar secara produktif menyumbangkan pemahaman baru bagi relasi antaragama di masa kontemporer. Hal tersebut penting dilakukan agar penafsiran Al-Qur’an bisa tetap berrelasi dengan pembacanya di masa berbeda.
Dari semua problem yang disebut di atas, intinya ada pada problem penindas-tertindas. Masih jelas dalam ingatan pernah ada perdebatan tentang istilah kafir dan non-Muslim dan banyak yang berdebat tentang makna semantik atau ada tidaknya istilah tersebut di dalam Al-Qur’an tetapi melepaskan tema penindas-tertindas di dalamnya. Jadilah, perdebatan tentang kedua istilah tersebut kehilangan makna.
Tulisan ini hendak berbicara tentang penindas-tertindas (mustadh’afuun–mustakbiruun) itu di dalam Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an, salah satu istilah untuk mengurai persoalan penindasan adalah kata mustadh’afuun yang di dalam bahasa Indonesia diartikan kaum lemah. Bahkan di dalam istilah bahasa Indonesia pula, dikerutkan maknanya hanya pada mereka yang lemah secara ekonomi dengan kata du’afaa’.
Mustadh’afuun memang berasal dari kata dha’f yang berarti lemah, namun di dalam Al-Qur’an, makna kata itu lebih diperjelas menjadi “orang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kemampuan untuk membela diri.” Dengan makna seperti itu, mustadh’afuun tidak hanya berarti mereka yang miskin, tetapi juga perempuan, anak-anak, orang tua, budak, atau siapapun yang tidak mampu membela diri sendiri atau harus bergantung kepada orang lain untuk pembelaan dirinya.
Mereka yang disebutkan sebelumnya itulah yang rentan mengalami persekusi. Dari sini pula harus dipahami bahwa merebaknya kajian tentang perempuan, tentang anak-anak, tentang kebangsaan dan kenegaraan, dan lain-lain adalah dalam kerangka melawan penindasan itu, bukan yang lain. Jika perdebatan istilah kafir dan non-Muslim kembali dilihat dari sisi ini, maka pertanyaan penting yang harusnya muncul adalah manakah pengistilahan yang lebih rentan mengakibatkan persekusi: istilah kafir atau istilah non-Muslim?
Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw berintikan dua hal: Ketuhanan dan kemanusiaan. Kedua hal itu terikat sama lain membetuk kesatuan yang disebut Tawhiid yang menegaskan bahwa tidak ada pemisahan eksistensial antara Ketuhanan dengan kemanusiaan. Keyakinan kepada Ketuhanan sekaligus adalah pembelaan kepada kemanusiaan. Sebaliknya, pembelaan kepada kemanusiaan adalah peneguhan kepada Ketuhanan. Pembelaan kepada kemanusiaan ini terutama digambarkan oleh Al-Qur’an dengan konsep mustadh’afuun.
Posisi mustadh’afuun pernah dialami oleh Muslim sebagaimana digambarkan di dalam QS. al-Anfal/8: 26: Dan ingatlah ketika kamu (para Muhajirin) masih (berjumlah) sedikit, lagi tertindas di bumi (Mekah), dan kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, maka Dia memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki yang baik agar kamu bersyukur.
Gambaran sederhana di atas memberikan pemahaman bahwa salah satu inti dari ajaran Islam adalah pembelaan terhadap mustadh’afuun dan juga perlawanan terhadap mereka yang menindas demi tegaknya keadilan. Jangan sampai fokus terlalu kepada pengistilahan atau segala atribut lalu melupakan pembelaan terhadap mustadh’afuun atau bahkan melanggengkan penindasan tersbut atas nama agama.
Uniknya, Al-Qur’an tidak melabeli mustadh’afuun hanya pada kaum tertentu saja (non-Muslim atau Muslim saja), tetapi semua kaum berpotensi menjadi mustadh’afuun dan juga semua berpotensi menjadi mustakbiruun. Non-Muslim yang mustakbiruun di dalam Al-Qur’an digambarkan dalam sosok Fir’aun yang menindas kaum Bani Israil, membunuh anak-anak, dan mengaku menjadi Tuhan. Muslim yang mustakbiruun disebutkan di dalam Al-Qur’an pada QS. al-Humazah/104. Sedangkan pada QS. al-Ma’un/107 dengan tegas disebutkan bahwa ada mustakbiruun dari kalangan Muslim (ditandai dengan shalat) yang menindas mustadh’afuun yang bisa dari kalangan mana saja.
Perhatian Muslim selama ini banyak terkuras untuk memerhatikan posisi Muslim sebagai mustadh’afuun dan memang kenyataan itu tidak bisa ditolak. Tidak bisa ditolak bahwa itu juga penting. Kedua perhatian tersebut tidak perlu dipertentangkan karena memang musuh utama ajaran Islam adalah penindasan itu sendiri siapapun pelakunya atau mustakbiruun-nya.
Yang perlu menjadi perhatian adalah jangan sampai kesibukan Muslim untuk memerhatikan diri sebagai mustadh’afuun malah melantik diri mereka menjadi mustakbiruun. Banyak contoh terjadi ketika menunjukkan pembelaan mereka terhadap penindasan di sebuah wilayah dengan cara menindas orang lain di wilayah berbeda. Itu sama saja memusuhi ajaran Islam itu sendiri.[]
Editor: AMN