Dampak Sinkretisme Agama dengan Filsafat

Secara etimologis kata sinkretisme berasal dari bahasa Yunani synkretismos yang berarti menggabungkan atau menyatukan. Sedangkan secara terminologis, sinkretisme merupakan percampuran antara budaya dengan budaya yang berbeda, percampuran antara satu agama dengan agama yang berbeda, dan percampuran antara agama dengan filsafat yang hasilnya bisa melahirkan kebudayaan baru atau kepercayaan baru. Pengertian ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Rick Brown dalam Contextualization Without Syncretism.

Tulisan ini membatasi pembahasannya pada sinkretisme agama dengan filsafat dan dampaknya. Shaw dan Stewart dalam Syncretism/Anti Syncretism: The Politics of Religious Synthesis menyatakan bahwa sinkretisme agama dengan filsafat merupakan proses sintesis agama dengan perkara yang berbeda sebagai fenomena yang biasa muncul dalam panggung sejarah agama.

Bacaan Lainnya

Misalnya sinkretisme Kristen dengan filsafat terjadi berkisar pada Abad Pertengahan yang terbagi menjadi dua zaman. Kedua zaman tersebut adalah Pertama, yaitu zaman patristik yang berlangsung sejak abad 2 M sampai 7 M. Zaman ini ditandai dengan adanya upaya para Bapak gereja untuk memperkuat dan membela ajaran Kristen dari orang kafir dan serangan kelompok bidah. Kedua, yaitu zaman skolastik yang yang dimulai sejak abad ke-9 M. Pada zaman ini ditandai dengan adanya pemikiran filsafat dan teologis yang tidak hanya ada pada para tokoh Kristen saja seperti pada zaman patristik, melainkan juga terdapat pada para pelajar dari lingkungan kerajaan, para pelajar sekolah-katedral, kalangan universitas dan ordo-ordo biarawan.

Di antara contoh pemikir Kristen yang terkait erat dengan filsafat Yunani, di antaranya seperti Yustinus Martir (100-164 M) yang menyatakan bahwa relasi antara Kristen dengan filsafat adalah agama Kristen lebih tua dari filsafat, dan Nabi Musa yang menubuatkan kedatangan Kristus, hidupnya sebelum Plato, jadi artinya Plato telah belajar dari Nabi Musa. Konsep ini sebagai upaya Martir dalam harmonisasi filsafat Yunani dengan Kristen yang dapat menghasilkan kekuatan iman bagi Kristiani. Yustinus Martir hadir membela Kristen berupaya menguatkan iman Kristiani dengan menerima filsafat demi membela iman Kristiani, baginya filsafat Yunani sebagai persiapan Injil (prepatio evangelica).

Kekuatan iman bagi Kristiani yang menjadi tujuan sinkretisme Kristen dengan filsafat, juga tampak pada pandangan Augustinus (354-430 M) tentang pengenalan diri sebagai keterarahannya pada Tuhan. Baginya dengan iman kepada Tuhan, maka manusia dapat mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan dan dengan ilmu pengetahuan manusia dapat meneguhkan keimanannya. Narasi yang serupa disebutkan oleh Thomas Aquinas (1227-1274 M), menurutnya iman kepada Tuhan yang ada dalam Kristen dan akal budi atau kemampuan kognitif yang digunakan filsafat tidak mungkin bertentangan karena keduanya berasal dari Allah dan pada akhirnya dapat mengenal kebenaran yang hakiki.

Meskipun demikian, ada juga pemikir Kristen yang menolak filsafat bersinkretik dengan ajaran Kristen. Misalnya Irenaeus (137-202 M) yang menentang aliran Gnostik (pengetahuan) yaitu suatu aliran yang berupaya menyatukan ajaran Kristen dengan filsafat Yunani yang muncul sebagai ancaman agama Kristen yang dapat merusak sistem kepercayaan Kristen seperti percaya bahwa adanya sejak awal sesuatu yang di atas dan di bawah Allah. Bagi Irenaeus kepercayaan seperti ini sangat bertentangan dengan keesaan Allah sebagai pencipta segala makhluk. Contoh lain adalah Tertulianus (160-222 M) yang menolak filsafat, karena menurutnya filsafat sebagai produk pemikiran manusia yang tidak dibutuhkan lagi setelah datangnya wahyu Tuhan.

Penolakan filsafat oleh Kristen, juga terjadi dalam Islam seperti yang terjadi pada masa Ibnu Hanbal (780-855 M) dan pada masa al-Ghazali (1058-1111 M). Di antara alasan penolakannya adalah Pertama, filsafat akan menyebabkan kurangnya rasa hormat umat Islam terhadap ajaran Islam. Kedua, munculnya rasa curiga terhadap filsafat karena kebanyakan yang mempelajari filsafat dari non-Muslim. Ketiga, adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari kesesatan berfikir filsafat yang dapat menimbulkan keraguan. Keempat, tidak sedikit pemikir muslim yang berfilsafat ragu terhadap Islam dan bahkan menyerangnya, contohnya Yahya ibn Ishaq al-Rawandi (827-911 M) yang berpendapat bahwa dengan kemampuan akal saja manusia dapat menemukan kebenaran.

Meskipun filsafat ditolak oleh sebagian ulama dalam Islam seperti tersebut di atas, akan tetapi filsafat juga mengalami perkembangan yang pesat dalam Islam sehingga keduanya bersinkretik. Misalnya pada awal kemunculannya yang pertama adalah pemikiran filsafat tentang penciptaan alam semesta, keabadian jiwa dan pengetahuan tentang Tuhan yang diperkenalkan oleh al-Kindi (806-875 M). Sepeninggal al-Kindi, muncul al-Razi (865-925 M) tokoh yang dikenal sebagai rasionalis murni. Pandangannya tentang akal atau rasio adalah bahwa akal atau rasio adalah satu-satunya alat untuk memperoleh segala pengetahuan dan juga kebenaran.

Selain al-Kindi muncul juga Abu Nasr al-Farabi (870-950 M), seorang tokoh pemikir Islam yang sangat berpengaruh baik di dunia Islam maupun Barat. Pemikiran al-Farabi yang mempertemukan antara idealisme Plato (427-348 SM) dengan empirisme Aristoteles (384-322 SM) sehingga memberikan landasan bagi pengembangan teori emanasi yang menggabungkan antara ajaran tauhid Islam dengan teori teori neo-platonis hingga dapat menjelaskan relasi antara Tuhan Yang Maha Gaib dengan realitas yang empirik dan juga dapat mengungkapkan hubungan Tuhan Yang Maha Esa dengan realitas yang plural. Ini artinya al-Farabi mempertemukan sekaligus menggabungkan Islam dengan filsafat.

Menggabungkan Islam dengan filsafat atau sinkretisme Islam dengan filsafat kemudian berkembang pesat pada masa Ibnu Sina (980-1037 M). Ibnu Sina mengembangkan konsep emanasi al-Farabi, dengan cara menggabungkan antara tauhid Islam dengan filsafat Yunani neo-Platonisme dan filsafat Timur yang bercorak mistis dan simbolis. Juga upaya Ibnu Sina dalam menggabungkan wahyu dengan filsafat atau mensinkretiskan Islam dengan filsafat nampak sekali pada penjelasannya tentang makna dan fungsi syari`at yang wajib dilakukan setiap Muslim. Menurutnya setiap syariat seperti sholat, puasa dan zakat mempunyai kebaikan dan hikmah yang berfungsi untuk mewujudkan rasa cinta kasih bagi manusia. Artinya syariat yang wajib dilakukan dapat dipahami secara filosofis dan rasional sehinga tidak mungkin terjadi pertentangan antara wahyu dengan filsafat.

Wahyu dan filsafat yang sejalan bagi Ibnu Sina setelah lama tenggelam dalam perkembangannya, kemudian kembali muncul lagi pada masa Ibnu Rusyd (1126-1198 M) yang menulis Tahaafut al-Tahaafut. Pada masa Ibnu Rusyd ini sinkretisme Islam dengan filsafat semakin mendapat tempat dalam pemikiran Islam. Hal demikian karena lantaran Ibnu Rusyd hidup di antara dua sisi pola pikir masyarakat yang berbeda yaitu sebagian ada yang mengistimewakan filsafat dan menolak agama dan sebagian lainnya menolak filsafat sepenuhnya dan berpegang teguh pada nilai-nilai agama. Pemikirannya yang terkait dengan sinkretisme Islam dengan filsafat yaitu bahwa menurutnya filsafat tidak bertentangan dengan Islam, bahkan justru perlu adanya penggabungan keduanya agar wahyu dapat dipahami secara rasional mengingat wahyu mempunyai makna lahir dan batin yang perlu ditakwilkan.

Dari uraian di atas tentang dampak sinkretisme agama dengan filsafat, maka dapat diungkapkan dampak positifnya yakni para pemikir agama dapat menjelaskan sistem kepercayaannya secara rasional dan dapat memahami makna yang tersurat dan tersirat dari wahyu Tuhan. Sedangkan dampak negatifnya adalah dapat merusak sistem kepercayaan terhadap Tuhan dan dapat membingungkan, meragukan ataubahkan menyesatkan pemahaman agama yang ujung-ujungnya menolak suatu ajaran agama karena menganggap ketidakabsolutannya wahyu Tuhan.

Editor: IS

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *