Hawa nafsu terdiri dari dua suku kata yaitu hawa dan nafs . Hawa dalam bahasa Arab artinya cinta, keinginan, kecendrungan, kesukaan, atau kesenangan. Sedangkan nafs artinya jiwa. Jadi hawa nafsu artinya keinginan atau dorongan jiwa yang kuat untuk melakukan suatu perkara yang biasanya tidak baik, seperti syahwat. Ada juga yang mengartikan hawa nafsu adalah kecendrungan hati kepada dorongan syahwat tanpa kendali akal.
Konotasi negatif terhadap hawa nafsu seperti dalam pengertian di atas diperjelas kembali oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Ighatsatul Lahfan min Mashaidisy Syaithon. Menurutnya hawa nafsu merupakan sumber segala penyakit hati. Dengan mengutip ayat ke-37-41 dari QS. al-Nazi`at, Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa nafsu mengajak kepada sikap melampaui batas dan hanya mementingkan kehidupan dunia. Selanjutnya Ibnu Qayyim mempertegas bahaya buruk hawa nafsu sehingga Rasulullah SAW selalu berlindung kepada Allah SWT dari keburukuannya setiap kali berkhotbah dengan mengucapkan: “Segala puji bagi Allah, kepada-Nya kita memohon pertolongan, hidayah atau petunjuk, ampunan, dan hanya kepada-Nya kita berlindung kepada Allah dari kejahatan-kejahatan nafsu kami dan dari perbuatan-perbuatan kami yang buruk”.
Kecendrungan hawa nafsu melakukan yang buruk bisa sampai kepada tahap mempertuhankannya, sebagaimana yang disinggung dalam QS. al-Furqan: 25/ 43, yang artinya: “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?”.
Dalam Tafsir Al-Mishbah disebutkan dua penafsiran terhadap ayat di atas dalam kalimat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, yaitu, Pertama, menjadikan Tuhan yang disembah sesuai dengan kehendak hawa nafsu. Kedua, menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhan.
Tafsiran yang pertama yaitu menjadikan Tuhan yang disembah sesuai dengan kehendak hawa nafsu, maksudnya adalah Tuhan yang disembah sesuai dengan kesenagannya. Satu hadits yang relevan dengan konteks ini adalah hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa salah seorang sahabat Rasulullah SAW berkata: “Kami pada masa Jahiliah menyembah batu, tetapi kalau kami mendapat batu yang lebih baik, batu itu kami buang dan mempertuhan batu yang lebih baik itu”. Kasus yang serupa dengan cerita dalam hadits tersebut misalnya kasus mempertuhankan manusia, mempertuhankan berhala atau patung serta mempertuhankan segala sesuatu benda atau makhluk yang diyakini dapat memberikan keselamatan dan kemudaratan.
Semua Tuhan yang tercipta tersebut menjadi bukti bahwa Tuhan yang disembah oleh yang bersangkutan dijadikannya sesuai keinginan hawa nafsu. Dorongan hawa nafsu yang melahirkan pengabdian dan cinta kepada Tuhan yang dibuatnya ini bagi Ibnu `Arabi memang lahir dari pemaknaan kata hawa yang diartikan olehnya sebagai jatuh cinta lewat nafsu sebagaimana yang terdapat dalam Fushush Al-Hikam. Jatuh cinta lewat nafsu maksudnya adalah sesuatu yang disembah dan yang dicintai lahir dari hawa nafsu. Keberlakuan ini secara universal, hanya saja bagi Ibnu `Arabi kondisi seperti ini harus menjadi kesadaran bagi penyembah Allah SWT untuk menggantinya dengan rasa cinta atau mahabbah kepada-Nya. Artinya rasa cinta kepada-Nya harus mengganti dorongan hawa nafsu dalam menyembah-Nya.
Motivasi menyembah Allah demi memperoleh keuntungan dunia juga merupakan jatuh cinta lewat nafsu. Dorongan hawa nafsu untuk menggapai kesenangan dunia tersebut memang sulit dihindari dan menjadi fenomena yang sering terjadi dalam peribadatan kepada-Nya. Al-Qur`an sering kali mengkritisi perilaku seperti ini dengan berbagai ayatnya, misalnya dalam QS. al-Nisa/4: 134, yang artinya: “Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
Menurut M. Quraish Shihab ayat ini merupakan ancaman bagi orang yang perhatian ibadahnya tercurah sepenuhnya hanya ingin memperoleh kesenangan dunia semata tanpa mengharapkan pahala akhirat dari Allah SWT. Bahkan menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur`an, ayat ini mengemukakan orang yang rakus kepada kesenangan dunia sehingga motivasi ibadahnya berorientasikan kepada keuntungan material saja. Orang-orang seperti inilah yang bisa disebut juga sebagai penyembah harta dunia seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, yaitu: “Celakalah hamba dinar, hamba dirham hamba qathifah (pakaian yang tebal), serta hamba khamishah (baju bergaris-garis dari sutera atau wol), jika diberi ia akan ridha dan jika tidak diberi maka dia tidak akan ridha”.
Hawa nafsu yang hanya berorientasikan kepada kesenangan dunia termasuk pada saat beribadah kepada Allah SWT bisa dikatakan sebagai bentuk nyata dari sikap menjadikan Tuhan yang disembah sesuai dengan kehendak hawa nafsu. Apabila dorongan hawa nafsu kepada kesenangan dunia terus diikuti, maka selanjutnya hawa nafsu tersebut dapat berubah wujud menjadi raja yang menguasai jiwa dan kemudian dapat menjadi Tuhan baru yang disembah. Kekhawatiran inilah yang kemudian relevan dengan tafsiran yang kedua terhadap ayat di atas, yaitu menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhan.
Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, maksud dari menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhan yakni hawa nafsu menjadi Tuhan yang ditaati dan diikuti. Dengan menaati hawa nafsu dan meninggalkan Tuhan sesungguhnya berarti ia telah melakukan kedurhakaan. Biasanya kedurhakaan yang muncul karena menaati hawa nafsu bisa berupa berzina, mencuri, menganiaya, atau bahkan membunuh. Penafsiran ini memperjelas pernyataan Ibnu `Arabi yang berbunyi: “Kalau tidak karena hawa nafsu dalam hati, hawa nafsu tidak akan disembah”.
Orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan adalah orang yang sepenuhnya dikuasai oleh hawa nafsunya dan tidak dapat melawan atau bahkan mengendalikannya sama sekali sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali dalam Mizan Al-`Amal yang membagi tingkatan manusia dalam mengahadapi hawa nafsu. Dua tingkatan lainnya yakni orang yang telah berhasil mengendalikan dan menguasai hawa nafsunya seperti para nabi dan para wali Allah, dan orang-orang yang selalu berada dalam pertarungan melawan hawa nafsu. Tujuan yang dicapai bagi orang yang selalu bertarung melawan hawa nafsunya adalah mampu mengendalikan nafsu lawwamah yang suka mencela; dapat menghilangkan seluruh nafsu ammarah yang mengajak kepada kejahatan; dan pada akhirnya menjadi jiwa yang tenang atau muthmainnah menuju Allah SWT dengan cinta.
Editor: IS