Pada tulisan yang berjudul Tantangan Sains untuk Agama, telah dijelaskan bagaimana sains dan modernitas serta posmodernitas memberikan tantangan baru yang harus dijawab oleh agama agar tetap bertahan dan terus memberikan manfaatnya bagi manusia. Tentu saja yang menjawab bukanlah agama itu sendiri tetapi para penganutnya. Tulisan ini akan mencoba memberikan beberapa kemungkinan jawaban agama terhadap tentangan tersebut.
Beranjak Kepada Paradigma Kesadaran
Jawaban pertama yang mungkin diberikan agama adalah agama beranjak dari paradigma moral sederhana kepada paradigma kesadaran. Paradigma moral sederhana adalah agama bermain pada wilayah putih-hitam, boleh-tidak boleh, suci-noda, surga-neraka, terpetunjuk-tersesat, dan seterusnya. Paradigma moral sederhana ini berpendekatan kekuasaan, kekerasan, dan instruktif. Dampaknya adalah ketakutan hingga depresi pada umat beragama yang justru melahirkan perlawanan dan juga tindak kekerasan.
Tindak kekerasan itu muncul karena rasa frustrasi pada umat beragama yang memuncak akibat tekanan harus senantiasa suci, bersih, tak bernoda padahal tidak mungkin demikian. Dunia adalah tempatnya kekurangan. Rasa frustasi itu lalu tidak mendapatkan pelampiasan karena tidak mungkin melawan ajaran agama, maka yang muncul adalah tindak kekerasan horizontal lewat penghakiman kepada sesama.
Kenyataan di atas bisa menjelaskan mengapa para penganut agama yang merasa taat begitu mudah menghakimi sesamanya sebagai tidak taat, bernoda, berdosa, atau bahkan kafir. Seringkali hal itu terjadi pada mereka yang baru saja meninggalkan kelam masa lalunya. Noda-noda masa lalu yang menghantui itulah sesungguhnya yang membuat mereka agresif dan melampiaskannya kepada orang lain.
Model beragama seperti di atas pasti akan selalu gagap berhadapan dengan perubahan zaman karena perubahan zaman senantiasa menawarkan kebaruan sedangkan paradigma moral sederhana alergi dengan kebaruan akibat kecurigaan akan hadirnya noda dan dosa. Perubahan zaman berorientasi kepada masa depan; sedangkan paradigma moral sederhana berorientasi kepada masa lalu. Model beragama seperti itu juga selalu gagap berhadap dengan perbedaan karena yang berbeda pastilah hitam karena putih sudah menjadi milik mereka.
Yang perlu dilakukan agama adalah melanjutkan paradigma moral sederhana kepada paradigma kesadaran. Paradigma kesadaran adalah sikap beragama yang menemani manusia di dalam setiap tahap pertumbuhannya, memaklumi kekurangannya, dan membimbingnya ke arah yang lebih baik. Tidak menghakiminya. Paradigma kesadaran memperlakukan manusia secara alami sebagai makhluk yang bertumbuh dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak sadar menjadi sadar, atau dari kecil menjadi dewasa.
Sebagai makhluk yang terus tumbuh, manusia biasanya memulai kesadaran dengan memahami bahwa dirinya ada. Di saat bersamaan, manusia memahami bahwa selain darinya juga ada. Lalu, terjadilah identifikasi dan distingsi antara diri dengan selain diri. Paradigma keberagamaan moral sederhana biasanya hanya sampai di situ, yaitu menyadari keberadaan dirinya dan keberadaan selain dirinya. Hanya sampai pada tahap perbedaan lalu dikembangkan menjadi pembedaan bahwa saya lebih baik atau saya benar atau saya terpetunjuk. Puncaknya adalah tahap penghakiman: saya benar dan yang lain salah.
Paradigma kesadaran tidak hanya sampai di situ, tetapi melanjutkannya kepada tahap bahwa kesemua baik-buruk, benar-salah, terpetunjuk-sesat, dan seterusnya adalah kenyataan di bumi dan kesemuanya saling berkaitan satu sama lain. Memang yang salah, buruk, dan sesat harus dihilangkan tetapi salah, buruk, dan sesat tidak hanya ada pada dia atau mereka, tetapi juga bisa ada pada saya atau kami. Memang yang salah, buruk, dan sesat itu ada tetapi ada yang bersifat lokal-partikular namun ada yang bersifat global-universal. Yang harus bersama-sama diwujudkan adalah benar, baik, dan terpetunjuk yang bersifat global-universal yang merupakan kepentingan bersama. Memperjuangkan baik, benar, dan terpetunjuk yang bersifat lokal-partikular itulah yang dimaksud paradigma moral sederhana yang jika dipaksakan kepada orang lain pasti akan menimbulkan kekacauan.
Islam pada masa awal pembentukannya memperjuangkan kebenaran dan kebaikan yang bersifat global-universal seperti kesamaan derajat manusia, pemberantasan kebodohan dan kemiskinan, serta perlawanan terhadap penindasan. Intinya, Islam adalah agama yang merangkul. Hanya belakangan, ketika Islam berubah bentuk menjadi organisasi besar, maka visi dan misi itu malah kehilangan momentumnya. Islam berubah menjadi rasis dan melanggengkan penindasan hingga membiarkan kemiskinan dan kebodohan.
Beranjak Kepada Paradigma Estetis
Jawaban kedua yang bisa diberikan oleh agama adalah beranjak dari paradigma epistemologis kepada paradigma estetis. Paradigma epistemologis adalah paradigma pembenaran terhadap keyakinan. Masing-masing agama pasti memiliki klaim kebenaran epistemologisnya masing-masing yang terangkum di dalam ajaran teologinya. Di sana dibahas tentang betapa benarnya keyakinan suatu agama dan betapa sesatnya keyakinan agama yang lain.
Di dalam semua agama diakui adanya tiga unsur di dalam diri manusia yaitu: tubuh, pikiran, dan roh. Kehilangan salah satunya berarti membuat manusia bukan manusia. Ketiganya juga bisa menjadi gambaran paradigma keberagamaan. Tubuh bersifat pencarian kepuasan dengan cara memasukkan segala hal di luar tubuh untuk memuaskan tubuh. Tubuh adalah simbol diri sebagai pusat semesta, egosentrisme. Pengarusutamaan tubuh dalam beragama adalah pementingan terhadap segala yang bersifat lahiriah, personal, dan aksesori sebagai tanda kesalihan. Akesesoris sesungguhnya diambil dari luar tubuh tetapi dipakai demi kepuasan tubuh.
Pikiran bersifat lebih terbuka daripada tubuh karena relatif lebih bebas daripada tubuh. Pikiran sesungguhnya bisa bertindak netral karena pikiran selalu berupaya mengambil jarak dari tubuh untuk lebih objektif memahami segala hal. Namun tidak jarang pikiran hanya menjadi perpanjangan kepentingan tubuh yang egois sehingga tindakan tubuh yang hanya mencari kepuasan diri menjadi memiliki pembenaran rasional. Pengarus utamaan pikiran dalam beragama yang hanya menjadi legitimasi bagi kepuasan tubuh inilah yang disebut paradigma epistemologis.
Seharusnya pikiran tetap menjaga netralitasnya agar memberi ruang bagi unsur manusia yang lain yaitu: roh. Roh tidak bersifat partikular tetapi universal. Tubuh manusia memang berbeda-beda tetapi roh manusia sesungguhny satu sehingga roh selalu bersifat universal dan memandang segala sesuatu dalam perspektif keseluruhan. Karena itu, bagi roh, perbedaan lebih dipandang sebagi keunikan, bukan sesuatu yang perlu dipertentangkan. Bagi roh, tujuan selalu sama; jalan untuk mencapai tujuan itulah yang berbeda, tergantung kisah masing-masing tubuh yang memang unik.
Islam pertama kali hadir sebagai hasil kretivitas rohani pembawanya, yaitu Nabi Muhammad Saw. Karena itu, tujuan utamanya tidak beda dengan agama-agama lain, yaitu kesetaraan umat manusia dan pembebasan dari penindasan. Namun untuk didakwahkan, Islam memerlukan unsur pikiran agar Islam bisa berdialog dengan kenyataan yang berbeda-beda. Lalu saat Islam dianut oleh masing-masing individu yang beragam, maka wajar jika individu-individu itu merasa bahwa mereka lah perwujudan kebenaran Islam itu sendiri. Paradigma estetis tidak menghalangi itu. Paradigma estetis hanya menghendaki agar tujuan awal ajaran Islam sebagai pencapaian ruhani pembawanya untuk kesetaraan dan pembebasan tidak dilupakan.
Beranjak Kepada Paradigma Dipeluk Oleh Agama
Jawaban ketiga yang barangkali bisa ditawarkan oleh agama adalah beranjak dari paradigma memeluk agama kepada paradigma dipeluk oleh agama. Umumnya, agama yang sampai kepada pemeluknya adalah barang jadi dan sudah berisi manual yang tinggal dilaksanakan saja. Manual biasanya jauh lebih kecil dari yang melakukannya. Makanya, tidak keliru disebutkan bahwa manusia memeluk agama. Namun, agama yang sesungguhnya adalah peristiwa sakral dan peristiwa Ketuhanan. Artinya, jauh lebih besar daripada manusia itu sendiri.
Dari atas itulah lahir pemahaman tentang paradigma lanjutan dari memeluk agama yaitu dipeluk oleh agama. Hal itu seumpama pengalaman para pembawa agama itu sendiri. Di dalam Islam, pengalaman Nabi Muhammad Saw menerima wahyu adalah pengalaman dipeluk oleh agama karena yang datang kepada beliau adalah yang sangat-sangat besar.
Para sufi sesungguhnya melakukan yang disebut dengan dipeluk oleh agama itu. Karena itu, mereka memandang agama sebagai keterpesonaan yang membuat mereka hanyut dan bahkan sirna (fanaa’) di hadapan Sang Maha Mutlak. Akibatnya, ego mereka juga sirna dan berganti “ego Tuhan’. Memang konsekuensinya, para sufi menghadapi penghakiman ortodoksi agama karena pengalaman kontroversial mereka yang melampaui tubuh dan pikiran tetapi sampai kepada rohani.
Meski kontroversial, pengalaman para sufi mengingatkan kembali kepada para penganut agama bahwa ada realitas Ilahi yang tidak akan pernah mampu dirumuskan oleh tubuh dan pikiran manusiawi hingga sering disebut Sang Mahalain. Keangkuhan para penganut agama yang merasa telah merangkum realitas Sang Mahalain di dalam tubuh dan rumusan pikirannya itulah yang membuat para penganut agama berani beradu aksesori dan beradu argumen dengan sesamanya padahal mereka masing-masing hanya menggenggam secuil dari realitas yang sesungguhnya Maha Besar.
Beranjak Kepada Paradigma Kreativitas Ilahi
Jawaban keempat yang mana tahu diajukan oleh agama adalah konsekuensi dari jawaban ketiga, yaitu beranjak dari memeluk agama kepada dipeluk oleh agama hingga kepada mencerap kreativitas Ilahi. Tuhan adalah realitas aktif dan tidak pernah tidur yang di dalam Islam disebut hayyun qayyuum. Fungsi manusia di muka bumi adalah khalifah yang berarti menggantikan peran Tuhan sebagai pemakmur bumi. Satu-satunya cara untuk memakmurkan bumi adalah dengan beraktivitas dan berkarya kreatif sebagaimana Tuhan sendiri adalah realitas aktif.
Istilah lain dari jawaban keempat ini adalah beranjak dari apa yang kau yakini kepada apa yang kau lakukan untuk kemakmuran bumi dan manusia. Bukan berarti apa yang kau yakini tidak penting, tetapi itu adalah urusan personal-partikular sedangkan apa yang kau lakukan untuk kemakmuran bumi dan manusia adalah urusan universal. Merusak yang universal demi yang pertikular adalah logika sesat. Makanya, ayat yang berbicara tentang pelantikan manusia sebagai khalifah di muka bumi (QS. al-Baqarah/2: 30) berbicara tentang manusia secara universal, bukan manusia secara partikular.[]
Bahan Bacaan
Sugiharto, Bambang, “Agama dan Sains,” Bartolomeus Samho, Agama dan Kesadaran Kontemporer, Yogyakarta: Kanisius, 2019
Editor: AMN
Terima kasih ustadz utk pemaparan yg sistematis dan content yg sangat mencerahkan.
Perubahan Paradigma akan sangat mempengaruhi dalam pengambilan sikap dan tindakan nyatanya.
Sy sangat merasa terberkati dengan pernyataan.
“dari memeluk Agama menjadi Dipeluk oleh Agama”
Tulisan reflektif ini memberi insight yang membuka kesadaran bahwa sebuah realitas dapat dilbaca dengan beragam perspektif, sudut pandang, dan membuka jendela baru dimungkinkannya sudut pandang lain. Poin dari semua itu adalah dalam rangka mewujudkan kebaikan bersama ( common good). Terima kasih Dr. Muid Nawawi, M.A. atas pencerahannya.