Mengenal 3 Model Hermeneutik dan Kesamaannya dengan Tafsir

nu.or.id

Dalam kajian Islam, istilah hermeneutik baru ramai diperbincangkan setelah digaungkan oleh Hassan Hanafi, Amina Wadud, Nashr Hamid Abud Zayd, dan lain sebagainya. Mereka adalah cendekiawan Muslim kontemporer yang meyakini bahwa hermeneutika merupakan salah satu model penafsiran yang komprehensif dan sistematis. Hermeneutik dianggap lebih mampu menafsir kalam ilahi agar terus bisa diimani dalam konteks ruang dan waktu kapanpun (salih lilulli zaman wal makan).

Sebelumnya, istilah ini tidak populer, dan kajian keislaman lebih menggunakan kata ‘tafsir’, ‘ta’wil’ dan ‘bayan’. Hermeneutika tidak disetujui sebagian cendekiawan karena dianggap mendekonstruksi teori-teori tafsir kitab suci yang sudah ada. Selain itu karena kemunculannya disebabkan untuk menafsirkan Bibble, sehingga tak patut untuk menafsir Al-Qur’an sebagai kitab suci. Meski sebetulnya, secara esensial, makna hermeneutika tidak berbeda dengan tafsir, yang artinya sama-sama menafsirkan, menjelaskan, atau memaparkan sesuatu yang tidak diketahui menjadi diketahui.

Bacaan Lainnya

Hermeneutika, secara garis besar, terbagi ke dalam tiga model. Pertama, hermeneutika objektif, yang dikembangkan oleh Schleiemacher, Wilham Diltey dan Emilio Betti. Paradigma hermeneutika pertama ini memandang bahwa penafsiran atas teks harus sama seperti penulisnya. Untuk memahami teks secara benar, seorang pembaca harus memahami latar belakang penulis teks. Pemahaman teks bukan sesuatu yang disimpulkan pembaca, akan tetapi bersifat turunan dan instruktif.

Model kedua adalah hermeneutika subjektif. Berbeda dengan model pertama, hermeneutika subjektif menganggap bahwa penafsiran atas teks yang benar bukan sesuai maksud penulis, akan tetapi sesuai apa kata teks itu sendiri. Ketika teks sudah selesai ditulis maka sudah lepas dari ide awal penulisnya. Sehingga seorang pembaca harus memahaminya secara individual. Teks bersifat terbuka dan bebas ditafsirkan oleh siapapun. Teks tidak terikat atau terpenjara oleh latar belakang penulisnya. Hermeneutika ini dikembangkan oleh George Gadamer.

Sedangkan hermeneutika ketiga adalah hermeneutika pembebasan. Model ketiga ini memandang bahwa penafsiran tak sekadar urusan menghasilkan makna mana yang objektif dan mana yang tidak. Penafsiran harus beranjak kepada perubahan dalam kehidupan nyata. Bagaimana pemahaman atas teks itu bisa merubah kondisi sosial masyarakat. Sebaik apapu makna yang dihasilkan sebuah penafsiran, jika tidak bisa merubah kondisi dan membangkitkan semangat masyarat sama saja dengan nol besar. Tokoh hermeneutika ketiga ini sebagiannya adalah Hassan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zayd, dan Farid Essack.

Dalam kaitannya dengan tafsir, sebetulnya ada titik temu antara tafsir dengan hermeneutika. Seperti masyhurnya, tafsir secara garis besar terbagi atas dua bentuk, yaitu tafsir bil matsur dan tafsir bil ra’yi. Model tafsir pertama (bil ma’tsur) landasannya adalah adanya referensi dari penulis, atau wakil penulis, atau minimal orang-orang yang dekat dengan penulis. Dalam konteks tafsir Al-Qur’an, raferensi yang dimaksud adalah Nabi Muhammad, sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan seterusnya. Selain itu, aspek asbabunuzul juga menjadi aspek penting dalam tafsir pertama ini.

Jika melihat secara esensial, kedua unsur dalam tafsir bil matsur sama dengan hermeneutika objektif, dimana dalam penafsiran seseorang harus merujuk ke belakang, bagaimana Al-Qur’an atau teks itu ditulis, apa yang memengaruhi penulisnya, dan sebagainya. Kita harus merujuk pada orang-orang yang memiliki pengaruh atas teks bila ingin mendapatkan penafsiran yang benar. Dalam konsep hermeneutika, kita juga perlu melihat sisi historis teks, untuk kemudian menghasilkan makna yang kontekstual di masa kini.

Sedangkan tafsir kedua, tafsir bi al-ra’yi, memiliki kesamaan dengan hermeneutika subjektif. Bahwa, dalam sebuah penafsiran, yang paling penting adalah tidak terpaku pada pandangan orang-orang dahulu yang sudah lagi tidak kontekstual. Pembaca perlu melakukan ijtihad tersendiri untuk menghaislkan penafsiran yang otentik dan kontekstual. Pemahaman atas teks tidak bisa terpenjara oleh adanya atribut-atribut lain selain penafsir itu sendiri.

Adapun model hermeneutika ketiga, hermeneutika pembebasan, belum menemukan padananannya dalam tafsir Al-Qur’an. Penafsiran atas kitab suci yang berlaku hingga sekarang berhenti kepada pemaknaan kata, belum sampai menghasilkan perubahan bagi masyarakat. Penafsiran Al-Qur’an lebih kepada memberikan alternatif pemaknaan dari satu pemahaman ke pemahaman lain, sesuai dengan cara pandang, pendekatan, dan metodologi yang berbeda-beda, namun belum berhasil (misalnya) menyudahu kemiskinan, mensejahterakan, dan membebaskan manusia dari ketidakadilan. Wallahu A’lam.[]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *