Bahasa membunuh sekaligus mengabadikan realitas. Kerja fotografi mirip dengan kerja bahasa. Sebuah foto menangkap gerak yang dinamis lalu membekukannya dalam sebuah gambar. Gerak lalu menjadi diam dalam foto, seperti mati. Namun, foto sekaligus mengbadikan karena suatu waktu yang bergerak dinamis sudah tidak ada lalu yang tersisa hanyalah gambar foto yang menjadi abadi.
Bahasa pun demikian. Bahasa meringkus realitas yang bergerak dinamis ke dalam deretan kata dan kalimat hingga tidak lagi bergerak, beku. Namun setelah waktu yang lama, kala gerak itu tidak ada lagi, maka yang tersisa hanyalah kata dan kalimat yang abadi. Mereka yang hendak menangkap makna bahasa apakah harus bergumul dengan bahasa yang sudah beku atau mesti menghidupkan kembali gerak yang telah tiada?
Tafsir esoteris mengandaikan makna yang sesungguhnya adalah makna yang berada di balik teks (eksoteris). Karena itu, tafsir esoteris hendak menggapai makna tersebut. Bagaimana caranya? Cara itulah yang biasanya disebut dengan epistemologi. Persoalannya, apa yang disebut epistemologi saat ini sudah sangat didominasi oleh nuansa teks atau tafsir eksoterik sehingga keabasahan tafsir esoterik pun harus lulus seleksi tafsir eksoterik. Di sinilah problem besar muncul. Jika memang tafsir esoterik adalah jenis yang berbeda, mengapa keabasahannya masih harus ditentukan oleh aturan epistemologi tafsir eksoterik? Apakah tidak mungkin sebuah epistemologi khas tafsir esoterik dibangun secara independen?
Manusia memiliki tiga unsur, yaitu tubuh, pikiran, dan roh. Apa yang disebut dengan epistemologi saat ini berposisi pada pikiran, bukan tubuh dan bukan roh. Epistemologi yang sudah terlanjur ada di dalam sains adalah epistemologi yang memiliki dua kata kunci, yaitu dikuasai oleh tubuh dan dihegemoni oleh aturan benar-salah.
Salah satu bukti bahwa epistemologi dikuasai oleh tubuh adalah kuatnya kuasa teks di sana, yaitu jika tidak sesuai dengan teks, maka tafsir esoteris menjadi keliru. Hampir semua pakar tafsir menyepakati syarat itu. Teks adalah penubuhan atau materialisasi dari realitas. Mensyaratkan tafsir yang benar harus sesuai teks berarti mengerangkeng sesuatu yang harusnya dinamis ke dalam sesuatu yang sudah beku dalam sejarah.
Persoalan lain yang menggelayuti epistemologi adalah hegemoni salah-benar atau di dalam filsafat sering disebut dengan logosentrisme. Dampaknya adalah segala sesuatu dilihat hitam-putih dan penghakiman yang memang sesuai dengan kuasa sebelumnya, yaitu pembekuan. Karena itu, epistemologi terjangkiti dua hal, yaitu tekstualisme dan logosentrisme. Dua hal yang justru hendak didobrak oleh tafsir esoteris.
Tafsir esoteris melangkah melampaui tubuh dan pikiran menuju roh; melangkah melampaui teks kepada realitas yang sesungguhnya telah dijepret secara sederhana oleh teks. Bagi tafsir esoteris, teks adalah jendela kecil yang di belakangnya ada pemandangan luas tak terbatas. Sebuah jendela tidak mungkin menangkap secara utuh realitas. Karena itu, jendela tidak bisa menghakimi realitas tetapi bisa menjadi pengantar kepadanya. Tafsir pun demikian.
Bagi tafsir esoteris, sebagaimana jendela, teks seharusnya adalah pembuka ruang bagi lahirnya semesta penafsiran yang lebih bebas, bukan malah menjadi penutup bagi sempitnya cakrawala, hingga terpojok dalam ruang pengap aturan benar-salah. Tafsir bukan produsen doktrin, tetapi produsen inspirasi dan energi bagi manusia untuk mengarungi kehidupannya yang terus-menerus dinamis.
Tafsir esoteris adalah petualangan kreatif yang dengan sabar meniti setiap perjalanan menuju kepada Ketuhanan dalam keterpesonaan tiada henti. Itu bisa dilakukan karena memang bagi tafsir esoteris, realitas adalah keseluruhan kesatuan tak terkotak-kotak yang bisa dikenali karena adanya warna-warni yang menandakan keunikannya masing-masing.
Di dalam tafsir esoteris, perbedaan tidak harus melahirkan kebencian atau nista atau benar-salah karena keseluruhan kemanusiaan sesungguhnya sedang meniti kembali perjalanannya menuju Sang Ilahi. Dalam perjalanan itu, tentu saja ada noda dan dosa yang niscaya. Tafsir esoteris menyasar evolusi kesadaran, bukan revolusi putih-hitam.
Tafsir esoteris memang tidak menjadikan teks sebagai tujuan utamanya. Justru pusat inspirasi yang melahirkan teks itulah tujuannya. Karena itulah, tafsir esoteris sering menegaskan bahwa pemahamannya berasal dari Allah SWT. Dari sini tampak bahwa jangan-jangan tafsir esoteris memang tidak sedang menafsirkan teks, tetapi sedang berupaya mengakses pusat yang melahirkan teks. Karena itu, pemahaman yang lahir dari tafsir esoteris tidak jarang berlawanan dengan teks yang ditafsirkan itu sendiri. Karena itu, jangan-jangan memang tafsir esoteris bukan tafsir yang pada umumnya hendak memahami teks, tetapi lebih merupakan upaya untuk melahirkan teks. Jangan-jangan tafsir esoteris bukanlah upaya bergumul dengan bahasa yang sudah beku tetapi lebih merupakan upaya untuk menghidupkan kembali gerak yang telah tiada. Jangan-jangan.[]
Editor: AMN