Wali Allah atau Wali Setan

Belakangan ini fenomena mengaku sebagai wali Allah bermunculan. Misalnya telah beredar pesan suara di sejumlah WhatsApp Group (WAG) yang menyebut Ustaz Encep Jainal Muttaqin yang tinggal di Kampung Leuwi Cagak, Desa Cipeundeuy, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, sudah dilantik Nabi Haidir dan Nyi Roro Kidul untuk menjadi wali Allah, sebagaimana diberitakan POSKOTA.CO.ID pada Selasa, 05 Oktober 2021. Salah satu contoh kebiasaan aneh yang sering dilakukan Ustaz Encep dan dianggap sebagai tanda kewaliaanya adalah shalat tanpa mengenakan baju alias bertelanjang dada.

Dari fenomena di atas, maka muncul pertanyaan bagaimanakah ciri wali Allah yang sesunggunya?.

Bacaan Lainnya

Dalam Al-Qamus al-Muhith, kata wali diartikan al-qurb (dekat). Arti ini memberikan kesan kedekatan seseorang dengan Allah. Penjelasan ini sejalan dengan Ibnu Rajab Al Hambali dalam Jasmi al-Ulum wa al-Hakim, yang mengemukakan asal makna al-wilayah (kewalian) adalah dekat, sedang lawan katanya al-adawa (permusuhan) adalah jauh. Maka para wali Allah adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan amal-amal shaleh, sedangkan musuh Allah adalah orang-orang yang dijauhkan dari-Nya dengan sebab amalan-amalan perbuatan mereka yang buruk. Ibu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari mengatakan yang dimaksud dengan wali Allah adalah orang-orang yang berilmu tentang Allah dan dia terus-menerus berada dalam ketaatan kepada-Nya dengan mengikhlaskan hati di dalam ibadahnya.

Semua pengertian di atas berdasarkan pada sabda Rasulullah SAW, yaitu: “Allah berfirman: Siapa memusuhi wali-Ku aku mengumkan perang terhadapnya. Hamba-Ku tidak mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekatkan kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya Aku menjadi telinganya yang dia mendengar dengannya; Aku menjadi matanya, yang dia melihat dengannya; Aku menjadi tangannya, yang dia bertindak dengannya dan Aku menjadi kakinya, yang dia berjalan dengannya. Jika dia minta sesuatu kepada-Ku, Aku pasti memberi permintaannya. Jika dia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pasti melindunginya. (HR. Bukhari).

Seorang yang selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan yang wajib dan amalan-amalan yang sunnah sehingga menjadi hamba yang dicintai Allah sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas merupakan suatu proses transformasi dari suatu yang profan atau suatu yang biasa berubah menjadi suatu yang sakral, suci atau keramat. Maksudnya adalah dari seorang manusia biasa (profan) berubah menjadi manusia suci atau mulia (sakral) sebagai wali Allah. Konsep ini berpijak pada teori sakral dan profan Mircea Eliade dalam The Sacred & The Profane The Nature of Religion. Eliade menyatakan bahwa esensi yang sakral selain yang supernatural sebagai Tuhan, juga yang sakral merupakan segala sesuatu termasuk manusia yang termanifestasi oleh Tuhan. Esensi yang sakral karena adanya manifestasi Tuhan pada berbagai objek termasuk manusia ini disitilahkan oleh Eliade sebagai hierophany.

Hierophany dalam bentuk wali Allah disebutkan dalam QS. Yunus/10: 62-63, yang artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa”.

Sakralitas wali Allah dalam ayat ini sangat jelas dan patut diterima kebenarannya tanpa keraguan sedikit pun, karena wali Allah dalam ayat ini adalah seorang yang beriman kepada Allah yang selalu berusaha mendekatkan diri kepada-Nya, selalu berpegang teguh pada kebenaran yang disertai cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dengan sungguh-sungguh sehingga hatinya dipenuhi oleh cahaya makrifat Ilahi. Dengan cahaya Ilahi ini kemudian apabila ia melihat, ia melihat bukti-bukti kekuasaan-Nya, apabila ia mendengar, ia mendengar ayat-ayat keesaan-Nya, apabila ia bercakap, percakapannya adalah pujian kepada-Nya, apabila bergerak, geraknya adalah untuk memperjuangkan agama-Nya, dan kalau ia bersungguh-sungguh, kesungguhannya dalam ketaatan kepada-Nya. Begitulah ciri wali Allah yang sesungguhnya sebagaimana penjelasan M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah.

Ibnu Taimiyah dalam Kitab al-Furqan menambahkan alasan nilai sakral seorang wali, karena adanya keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya yang diiringi dengan mencintai keduanya dengan cara mengikuti sunnah Rasul-Nya sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam QS. Ali Imran/3: 31, yang artinya:“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Bagi Ibnu Taimiyah mengaku mencintai Allah tapi tidak mengikuti syariat Rasul-Nya, maka tidak bisa disebut sebagai wali Allah. Menurutnya pula banyak yang mengaku wali Allah atau kekasih-Nya, tetapi pengakuannya tidak diterima oleh Allah, misalnya pengakuan orang-orang Yahudi yang ditolak seperti yang dikemukakan dalam QS. al-Maidah/5: 18. Pengakuan orang-orang musyrik Arab sebagai ahlullah (keluarga Allah) juga ditolak seperti yang disebutkan dalam QS. al-Anfal/8: 30-34. Mereka yang hanya mengaku sebagai wali Allah tanpa mengikuti syariat Rasuul-Nya, maka tidak bisa disebut wali Allah akan tetapi bisa saja menjadi wali setan. Begitulah yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah.

Mengikuti syariat menjadi syarat yang berlaku untuk menjadi wali Allah, selain memang adanya pancaran cahaya Allah sebagai manifestasi-Nya kepada seseorang yang dicintai-Nya yang disebut dengan hierophany. Apabila kedua batasan ini direlasikan kepada Ustaz Encep yang mengaku sebagai wali Allah dan yang mempunyai kebiasaan aneh shalat tanpa mengenakan baju alias bertelanjang dada sebagaimana yang telah disebutkan, maka pengakuan Ustaz Encep tersebut bisa jadi diragukan kebenarannya kalau tidak disebut sebagai wali setan.

Meskipun demikian, seringkali kesepakatan kolektif anggota masyarakat membenarkan pengakuan menjadi wali Allah seperti yang dilakukan oleh Ustaz Encep tersebut. Sehingga dari sini biasanya wali-wali baru yang tercipta oleh masyarakat bermunculan. Seringkali sakralitas wali-wali baru ini sebatas hanya adanya pengakuan dari suatu masyarakat tertentu tanpa dibuktikan dengan ketaatannya kepada syariat. Sakralitasnya sebagai wali tidak sah meskipun seluruh anggota kampung mengakuinya. Kenyataan ini membuktikan teori sakral Emile Durkheim dalam The Elementary Forms of Religions Life yang menyatakan bahwa esensi yang sakral sebenarnya bukan pada supernatural sebagai Tuhan, akan tetapi pada yang non-supernatural dalam bentuk pengalaman kemasyarakatan yang disepakati secara kolektif.

Alasan Durkheim menyebut kesepakatan kolektif suatu masyarakat sebagai esensi yang sakral, karena semua ekspresi keyakinan manusia yang ada di tengah realitas masyarakat bersifat sosial yang mempunyai kekuatan untuk menguasai dan mengatur setiap individu anggota masyarakat. Durkheim mengungkap bahwa kesakralan yang disepakati oleh setiap anggota masyarakat kemudian akan menjadi suatu sistem keyakinan umum dalam tatanan masyarakat termasuk di dalamnya meyakini seseorang sebagai wali Allah. Dengan demikian formulasi wali Allah yang disakralkan berdasarkan teori Durkheim merupakan suatu bentuk penciptaan (produk) dari kesadaran dan kesepakatan kolektif suatu masyarakat.

Wali-wali yang muncul hanya dari kesadaran dan kesepakatan kolektif suatu masyarakat tanpa dibuktikan dengan menjalankan syariat serta memperoleh cahaya Ilahi sebagai manifestasi-Nya, tidak serta-merta menjadikan mereka sebagai wali Allah. Bisa jadi mereka termasuk orang-orang yang disinggung dalam QS. al-Maidah/5: 18, yang artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) diantara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu)”.[]

Editor: IS

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *