Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW

Momentum kelahiran Nabi Muhammad SAW menjadi tonggak sejarah pencerahan kehidupan kemanusiaan. Dari suasana serba tidak tahu kebenaran yang penuh dengan kegelapan ke suasana petunjuk hidayah yang terang benderang penuh harapan.

Tanggal 12 Rabiulawal tahun Gajah menjadi begitu terkenal dan amat penting bagi umat Islam, karena di hari Senin tanggal dua belas Rabiulawal itu telah lahir seorang yang mencerahkan kehidupan manusia. Oleh karena itu sudah sepantasnya umat Islam bergembira dengan kelahirannya dan mensyukurinya sebagaimana yang diperintahkan di dalam QS. Yunus/10: 58, yang artinya:“Katakanlah (Muhammad): “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.

Bacaan Lainnya

Menurut Imam al-Alusi (Abi al-Fadhl Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud al-Alusi al-Baghdadi) dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani bahwa kata al-fadhl yang secara bahasa artinya karunia dalam ayat di atas maksudnya adalah ilmu pengetahuan. Sedangkan kata al-rahmah yang artinya kasih sayang Allah, maksudnya adalah diutusnya Nabi Muhammad SAW. Sedangkan menurut Ibnu `Asakir maksud dari kata al-fadhl adalah karunia diutusnya Nabi Muhammad SAW dan maksud dari kata al-rahmah adalah Ali bin Abi Thalib. Meskipun demikian Imam al-Alusi menegaskan bahwa yang masyhur dari makna kata al-rahmah maksudnya adalah Nabi Muhammad SAW dengan merujuk ayat ke-107 dari QS. al-Abniya`, yaitu: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”.

Selanjutnya kata falyafrahu yang artinya mereka bergembira, dalam riwayat Ruways dari Ya`kub dibaca faltafrahu dengan lam amr dan ta al-khita yang artinya bergembiralah kamu, sehingga maksud kata tersebut menjadi perintah bagi umat Islam untuk bergembira dengan kehadiran Nabi Muhammad SAW. Perintah untuk bergembira atas kelahiran Nabi inilah yang sangat memungkinkan menjadi sebab perlunya merayakan hari kelahirannya, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Dinasti Fathimiyyin (362-567H) di Mesir pada abad ke-4 H.

Sebab lain perlunya merayakan maulid Nabi adalah bahwa pada periode Islam antara abad ke-4 H hingga 6 H banyak kejadian yang tidak menguntungkan kaum muslimin, seperti perang Salib. Atas saran Raja Muzhaffaruddin dan dibawah kepemimpinan Shalahuddin al-Ayyubi (579H-1183M), maka diselenggarakan perayaan maulid Nabi yang dihadiri banyak ulama dan kaum muslimin di Mesir.

Dalam perayaan tersebut dipertunjukkan pembacaan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW, baik sifat-sifatnya maupun segala perilaku kehidupannya dan akhlak mulianya. Pembacaan riwayat hidup Nabi ini dilantunkan dalam bentuk syair, puisi, dan prosa yang diberi nama seperti Barzanji, Syarafal Anam, Burdah, Simtud Durar, Diba’, dan lain-lain. Adapun tujuannya adalah untuk membangkitkan semangat dan kecintaan umat Islam pada Nabi Muhammad SAW sehingga dapat memenangkan kembali perang salib dan mengembalikan kejayaan Islam dan umatnya.

Peringatan maulid Nabi Muhammd SAW yang pernah terjadi dalam sejarah Islam di atas merupakan berkat jasa Shalahuddin al-Ayyubi untuk mempersatukan umat Islam dan membangkitkan semangat dan kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Hal inilah yang membuat MUI memberikan pernyataan bahwa memperingati maulid Nabi Muhammad SAW hukumnya adalah bidah hasanah yakni amal yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya, akan tetapi mempunyai nilai-nilai kebaikan yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Alasan MUI ini sepertinya mengambil pendapat Imam Syafi`i yang menyatakan bahwa bidah terbagi menjadi dua yaitu bidah hasanah (baik) dan bidah sayyiah  (buruk). Berbeda dengan Syeikh ‘Izzuddin bin Abdissalam yang mengelompokkan bidah menjadi lima yaitu, wajib, mandub, mubah, makruh, dan haram.

Berangkat dari pertimbangan dalam penafsiran al-Alusi dalam QS. Yunus/10: 58 yang telah disebutkan terdahulu, maka perlu perhatian lebih untuk membangun kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk memperingati hari kelahirannya. Untuk itu, maka akan lebih efektif bila status bidah pada perayaan maulid Nabi itu ditingkatkan menjadi wajibah. Meskipun ini debatable, tetapi memang perlu ada perubahan.

Sangatlah naif dan tidak bijaksana bahkan dangkal mereka yang menyatakan bahwa maulid Nabi Muhammad SAW adalah bidah dhalalah (bidah yang sesat). Tentu saja maulid Nabi yang efektif bila diisi dengan sajian yang mendukung tujuan utama yaitu membangkitkan cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Bukan orasi kebencian, melainkan kecintaan pada Rasul yang aung. Bukan pula dengan cara-cara kontra produktif.

Selamat dan berkah untuk Anda dan kita semua. Selamat Maulid Nabi Muhammad SAW. Selamat berselawat pada Rasulullah SAW, maka Allah SWT pasti membalas dengan lebih baik lagi. Allahumma shalli wa sallim wa barik alaihi.[]

Editor: IS

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *