Bagi yang pro menyatakan bahwa peringatan maulid Nabi Muhammad SAW yang dirayakan berdampak positif bagi perkembangan dakwah Islam serta dapat meningkatkan keimanan kepada Allah SWT dan rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan bagi yang kontra menyatakan bahwa perayaan memperingati maulid atau kelahiran Nabi Muhammad SAW berkonotasi negatif, karena termasuk salah satu amalan bidah yaitu suatu praktek ibadah yang dibuat-buat yang tidak ada dasarnya dari Al-Qur`an dan Sunnah.
Salah satu contoh argumentasi yang pro terhadap peringatan maulid Nabi adalah karena ada perintah dalam Al-Qur`an untuk bergembira dan bersyukur atas kelahiran Nabi Muhammad SAW, seorang utusan Allah yang telah membebaskan manusia dari kesesatan ke jalan yang benar. Perintah untuk bergembira ini berdasarkan QS. Yunus/10: 58, yang artinya:“Katakanlah (Muhammad): “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
Maksud dari kata birahmatihi (dengan rahmat-Nya) dalam ayat ini adalah Nabi Muhammad SAW, sehingga perintah bergembira dalam ayat tersebut dimaknai dengan bergembiralah dengan kehadiran Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam al-Alusi dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani.
Sedangkan kelompok yang kontra terhadap peringatan maulid Nabi menyatakan bahwa peringatan tersebut termasuk bidah sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut: “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak”. Apabila hadits ini dihubungkan dengan peringatan maulid, maka peringatan tersebut menurut mereka menjadi perkara yang baru dan tidak diterima oleh Allah SWT, karena peringatan tersebut tidak pernah dirayakan oleh Rasulullah SAW.
Perdebatan di antara yang pro dan kontra terhadap maulid Nabi dengan argumentasinya masing-masing bisa dikatakan sebagai perselisihan yang terjadi di antara umat Islam. Perselisihan semacam ini pernah disinggung dalam QS. al-Baqarah/2: 213, yang artinya:“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”.
Dalam Tafsir Al-Qur`an Al-Karim atau Tafsir Al-Jalalain, Ibnu Abbas mengemukakakan bahwa ayat di atas menceritakan perselisihan yang pernah terjadi pada umat terdahulu selama kurang lebih sepuluh abad lamanya, yaitu pada masa antara Nabi Adam AS dan Nabi Nuh AS. Perselisihan mereka berkisar pada masalah teologis atau agama yang mengakibatkan mereka terpecah menjadi dua kelompok, ada yang beriman dan ada yang kafir. Padahal mereka pada awalnya umat yang satu dalam keyakinan terhadap Allah Yang Maha Esa.
Sepertinya perselisihan mereka diwariskan kepada kelompok yang pro dan yang kontra terhadap peringatan maulid Nabi. Kedua kelompok ini pada hakikatnya adalah satu umat yang sama-sama bertauhid, namun perselisihan mereka mengenai peringatan maulid Nabi membawa kepada sikap yang berlebihan. Kritik Al-Qur`an dan Sunnah terhadap kedua kelompok ini sangat jelas, seperti dalam QS. al-Rum/30: 31-32, yaitu: “Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”.
Ayat di atas sangat jelas mengkritisi kelompok yang pro dan yang kontra terhadap peringatan maulid Nabi, karena keduanya terjebak menjadi orang-orang yang memecah belah persatuan agama. Ciri mereka adalah membentuk kelompok-kelompok yang terpecah sehingga sering menimbulkan rasa bangga dan permusuhan di antara mereka sendiri; merasa paling benar sendiri; dan suka mencela kelompok lain bahkan pada tahap mengkafirkan. Ciri-ciri ini sebagaimana yang disebutkan oleh Hamka dalam Tafsir Al- Azhar dan oleh M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah.
Jadi sikap berlebihan yang sering muncul di antara kedua kelompok tersebut di atas adalah sikap saling menuduh sesat, fasik, munafik, bahkan pada tahap mengkafirkan (takfirisme). Adapun kritik Sunnah terhadap sikap seperti ini ditegaskan dalam dua hadits berikut yang diriwayatkan oleh Bukhari, Pertama, hadits yang artinya: “Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan tuduhan fasik dan kafir, karena tuduhan itu akan kembali kepada dirinya sendiri apabila orang yang dituduh itu tidak seperti yang ia tuduhkan”. Kedua, hadits yang artinya: “Mencela seorang muslim merupakan kefasikan sedangkan memeranginya adalah kekufuran”.
Gagasan yang perlu disebutkan untuk mendamaikan perselisihan yang terjadi di antara dua kelompok tersebut di atas adalah toleransi yaitu sikap saling menghormati dan menghargai antar sesama umat Islam dalam keberagamaannya dan dalam menjalankan ibadah yang diyakininya. Toleransi terhadap keyakinan umat lain saja bisa dilakukan, tentunya toleransi terhadap saudara sendiri segama harus lebih mudah lagi dilaukan. Gagasan ini sebagai upaya merealisasikan ayat ke-139 dari QS. al-Baqarah, yang artinya: “Katakanlah: “Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, dan bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati”.
Sedangkan hadits yang relevan dengan gagasan ini adalah: “Tidaklah seorang hamba datang pada hari kiamat nanti, ia pernah mengatakan laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah), karena semata-mata mengharap ridha Allah kecuali diharamkan baginya api neraka”. Makna hadits ini adalah kalimat tauhid yang diucapkan oleh umat Islam dapat membebaskan mereka dari api neraka. Dengan kata lain bahwa kalimat tauhid yang diucapkan dapat membebaskan mereka semuanya tanpa terkecuali dari tuduhan sebagai orang kafir atau munafik. Makna ini diambil dari asbabul wurudnya (sebab munculnya) hadits tersebut yang menceritakan ada seorang sahabat Rasulullah SAW yang menuduh seorang temannya dihadapan Rasulullah SAW sebagai seorang munafik yang tidak mencintai Allah dan Rasul-Nya. Tuduhan tersebut disanggah oleh Rasulullah SAW dengan mengatakan: “Jangan engkau mengatakan begitu, sungguh ia telah mengucapkan kalimat tauhid”.[]
Editor: IS