Pentingnya Membedakan antara Al-Qur’an dan Tafsir

Si fulan menistakan Al-Qur’an. Begitu kadang dengan mudahnya seseorang menuduh orang lain. Hal tersebut terjadi karena ia memiliki parbedaan pandangan tentang suatu isu tertentu. Ketika isu itu tampaknya dibicarakan dalam Al-Qur’an, maka seolah hanya boleh ada satu hasil pemahaman. Pemahaman yang berbeda dianggap keliru, menyimpang, bahkan penistaan terhadap Al-Qur’an. Dalam kasus tertentu, bisa jadi penyebabnya adalah ketidakmampuan seseorang membedakan mana yang Al-Qur’an dan mana yang tafsir terhadap Al-Qur’an. Tulisan ini akan mencoba mengulas perbedaan antara keduanya.

Tinjauan Definisi

Bacaan Lainnya

Perbedaan antara Al-Qur’an dan Tafsir sebenarnya sangat tampak pada definisi keduanya. Ada beberapa versi tentang definisi Al-Qur’an. Misalnya yang dikemukakan Yunahar Ilyas dalam Kuliah Ulumul Qur’an (2014: 16) tentang Al-Qur’an secara terminologi berikut.

كلام الله المنزل على محمد صلى الله عليه و سلم المتلو بالتواتر والمتعبد بتلاوته

“Kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad Saw. yang dibaca dengan mutawatir dan bernilai ibadah dengan membacanya.”

Penyebutan Kalamullah digunakan untuk membedakan Al-Qur’an dengan perkataan (kalam) dari jin, malaikat atau manusia. Sifat al-munazzal digunakan untuk membedakan Al-Qur’an dengan kalam Allah lainnya seperti langit, bumi dan seluruh isinya. Keterangan ‘ala Muhammadin digunakan untuk membedakan Al-Qur’an dengan kalam Allah yang diturunkan kepada nabi sebelumnya, seperti Taurat, Injil, dan Zabur. Lafaz al-matluw bit-tawaatur untuk membedakan Al-Qur’an dengan hadis ahad. Walaupun ada hadis Nabi yang mutawatir, tetapi hanya Al-Qur’an yang berdampak al-muta’abbad bi tilaawatih.

Sementara itu Tafsir secara bahasa berarti al-idhaah (keterangan) dan at-tabyiin (penjelasan). Di antara definisi tafsir secara terminologi diungkapkan oleh Imam az-Zarqani dalam Manaahilul ‘Irfaan (t. th, 1: 471) sebagai berikut.

علم يبحث فيه عن القران من حيث دلالته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية

“Tafsir adalah ilmu yang membahas Al-Qur’an Al-Karim dari segi makna yang terkandung di dalamnya sesuai dengan maksud yang diinginkan oleh Allah SWT. sebatas kemampuan manusia.”

Definisi tersebut menunjukkan bahwa usaha menafsirkan Al-Qur’an dilakukan sebatas kemampuan manusia. Menurut Yunahar (2014: 270), di samping memiliki keterbatasan kemampuan, manusia dalam menafsirkan Al-Qur’an juga dipengaruhi latar belakang pendidikan serta sosial budaya yang berbeda. Berbeda dengan Al-Qur’an yang sudah final, produk tafsir sangat mungkin berbeda berdasarkan situasi dan kondisi setiap zaman. Hadirnya tafsir dengan berbagai corak merupakan sesuatu yang niscaya secara sejarah maupun ilmiah. Semua itu menunjukkan adanya dinamika masyarakat ketika suatu kitab tafsir ditulis. Inilah yang disebut bahwa Al-Qur’an akan ditafsirkan oleh zamannya (al-Qur’aan yufassiruhu az-zamaan). 

Dalam sejarahnya, tafsir Al-Qur’an mengalami perubahan pada sisi konten dan metode penuangannya. Ahsin Sakho Muhammad (2019: 152) menggambarkan bahwa perseteruan politik yang melahirkan aliran Syiah dan Khawarij berimbas kepada produk tafsir Al-Qur’an. Kemunculan paham Muktazilah juga berimbas kepada tafsir. Pergulatan umat Islam di bidang hukum melahirkan mazhab-mazhab fiqih, sehingga memunculkan kitab-kitab tafsir fiqhi dan mazhabi. Kajian kebahasaan mendatangkan corak tafsir lughawi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat para ilmuan mencoba berkiprah pada tafsir, lalu lahirlah tafsiir ilmi. Ringkasnya, background penafsir sangat mempengaruhi produk penafsiran yang dihasilkan.

Pentingnya Membedakan

Agama memiliki dimensi sacral dan dimensi profane. Kadang terjadi kesulitan dalam membedakan antara yang sacral (agama) dengan yang profane (duniawi, kepentingan). Dalam konteks ini, M. Amin Abdullah menyebut adanya pengembangan teori untuk mempertajam perbedaan antara yang sakral dan profan tersebut. Fazlur Rahman menggagas perbedaan antara normative Islam dan historical Islam. Nasr Hamid Abu Zayd menyebutnya dengan al-diin (agama) danal-afkaar al-diiniyyah (pemikiran keagamaan)Konsep tentang tsawaabit (tetap) dan mutaghayyiraat (berubah) berhubungan dengan epistemologi bayaanii, burhaanii, dan irfaanii yang dikembangkan Muhammad Abid al-Jabiri (Abdullah, 2005: 33-34). Istilah-istilah tersebut erat kaitannya dengan perbedaan antara Al-Qur’an dan Tafsir Al-Qur’an.

Ahsin Sakho Muhammad dalam bukunya Membumikan Ulumul Qur’an (2019: 151) menegaskan bahwa harus dibedakan antara Al-Qur’an dan Tafsir Al-Qur’an. Beliau menuturkan bahwa Al-Qur’an adalah teks suci yang merupakan kalaamullah. Al-Qur’an senantiasa terjaga kemurnian dan kesuciannya, baik pada aspek bacaan maupun tulisan. Semua pernyataan Al-Qur’an bersifat final dan mutlak. Hal tersebut berbeda dengan Tafsir Al-Qur’an sebagai usaha manusia untuk memahami kalaamullah. Sebagai sebuah usaha manusia, maka tafsir sangat mungkin mengandung unsur subjektivitas. Penuturan seorang penafsir dalam sebuah tafsir menggambarkan kepribadiannya.

Paparan tersebut menunjukkan betapa pentingnya membedakan antara Al-Qur’an dengan Tafsir Al-Qur’an. Ketidakmampuan membedakan keduanya akan melahirkan sebuah gejala, yang dalam istilah Muhammed Arkoun disebut taqdiis al-afkaar al-diiniyyah (sakralisasi pemikiran keagamaan). Akibatnya akan muncul sikap eksklusif yang menolak adanya ragam penafsiran. Pada tataran mutaghayyiraat keragaman itu merupakan sesuatu yang diizinkan selama berada dalam koridor kaidah penafsiran. Hal ini bukan berarti menganggap remeh atau merendahkan produk penafsiran. Sebagai pemikiran keagamaan, tafsir memang perlu dihormati. Berbeda dengan sakralisasi satu tafsir tertentu, menghormati produk penafsiran diwujudkan dengan menghormati keragaman tafsir yang ada. Wallahu a’lam

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *