Apakah Kata al-Qirâ`ah, at-Tilâwah, dan at-Tartîl sama?

Foto Qiraah

Dalam Al-Qur’an, terdapat kata-kata yang dianggap sama (sinonim), sehingga ketika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia seringkali tidak dibedakan, padahal pada hakikatnya tidaklah demikian, setiap kata tersebut memiliki fungsi, tujuan dan makna tersendiri. Seperti kata al-qirâ`ah dengan at-tilâwah atau dengan at-tartîl.

Kata al-qirâ`ah, at-tilâwah, dan at-tartîl umumnya memiliki arti yang sama, yaitu membaca. Tetapi dalam penggunaannya, ketiga kata tersebut memiliki perbedaan makna, sehingga masing-masing kata tersebut memiliki fungsi berbeda.

Bacaan Lainnya

Al-qirâ`ah asal katanya adalah qara`a (قرأ), menurut M. Quraish Shihab, qara`a merupakan sinonim dari kata jama’a (جمع), yang berarti menghimpun dan mengumpulkan. Seperti dalam sebuah ungkapan qara’tu al-ma`a fi al-haudhi, artinya saya mengumpulkan air di dalam kolam. Pendapat serupa dikemukakan oleh ar-Raghib al-Ashfahani, bahwa qara`a dapat diartikan sebagai menghimpun, mengumpulkan dan membaca. Sehingga lahir juga dari kata tersebut kata quru`, yang berarti suci dan haid. Membaca disini pun dimaknai lebih luas, yaitu bisa berarti mengkaji, menyampaikan, mempelajari dan menganalisa.

Ayat pertama turun diawali dengan kata iqra` yang berarti bacalah! Pada ayat tersebut tidak ada objek (maf’ul) yang harus dibaca, menunjukkan makna membaca dan mengkaji ayat qauliyyah (Al-Qur’an) maupun ayat kauniyyah (alam), termasuk juga menelaah diri sendiri dan masyarakat, meneliti bacaan tertulis; baik teks suci maupun tidak.  Namun demikian, ayat tersebut memberikan tolok ukur yang jelas dalam membaca atau meneliti, yaitu tetap dalam koridor “bismirabbik”, artinya tetap melibatkan Tuhan dalam setiap aktivitas membaca, meneliti, mengkaji, menyampaikan, menganalisa ataupun mempelajari. Bahkan menurut Ibnu ‘Asyur, objek (maf’ul) pada ayat tersebut adalah kalimat “ismirabbikalladzi khalaq”, karena huruf “ba” dianggap sebagai zâ`idah (tambahan).

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. (QS. Al-Alaq/96:1)

Sedangkan kata at-tilâwah asal katanya adalah talâ – yatlû – tuluwwan yang berarti mengiringi, mengikuti, menelantarkan, meninggalkan, membaca, menceritakan, dan sebagainya. Ar-Raghib al-Ashfahani mengatakan bahwa kata tilâwah dikhususkan dalam membaca kitab suci, tidak dibenarkan dalam membaca buku atau kitab karangan manusia. Hal ini menurut M. Quraish Shihab dikuatkan dengan penggunaan kata talâ dalam Al-Qur’an terhadap ayat-ayat Allah (QS. Ali Imran/3:58), Al-Kitab (QS. Al-Baqarah/2:121), Taurat (QS. Ali Imran/3:193), dan lain-lain yang bersumber dari Allah seperti kisah Ibrahim (QS. Asy-Syu’ara`/26:69), dan kisah Nuh (QS. Yunus/10:71). Pengecualiannya adalah pada QS. Al-Baqarah/2:102, dimana kata talâ pada ayat tersebut digunakan oleh setan untuk membaca kitab sihir pada masa Nabi Sulaiman as. Meskipun demikian, menurut ulama kaidah tersebut tidak keliru, karena kitab sihir yang dibaca tersebut dianggap suci oleh setan dan orang yang dibacakan.

ذَلِكَ نَتْلُوهُ عَلَيْكَ مِنَ اْلأَيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ

Demikianlah Kami bacakan kepadamu (Muhammad) sebagian ayat-ayat dan peringatan yang penuh hikmah. (QS. Ali Imran/3:58)

Dengan demikian, penggunaan kata tilâwah lebih spesifik dibandingkan kata qira’ah, artinya qira’ah cakupannya lebih luas dan umum, sedangkan tilâwah sifatnya khusus. Tilâwah termasuk qira’ah, sedangkan qira’ah belum tentu termasuk tilâwah.

Sementara kata at-tartîl berasal dari kata rattala – yurattilu – tartîla, yang artinya sesuatu yang rapi, seimbang dan serasi. Seperti ungkapan rajulun ratalu al-asnâni, artinya seseorang yang giginya rapi. Tartîl berarti melepaskan kata dari mulut dengan ringan dan konstan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Muzzammil/73:4.

أَوْزِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْءَانَ تَرْتِيلاً

Atau lebih dari (seperdua) itu, dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-halan. (QS. Al-Muzzammil/73:4)

Tartîl dikhususkan dengan mengaji atau membaca Al-Qur’an dengan bacaan ringan, suaranya begitu mengalir dari mulutnya. Menurut Athiyyah Qâbil Nâshir, tartil berarti membaca dengan tenang, mentadabburi setiap bacaan, membaca sesuai tuntutan ilmu tajwid; memberikan hak-hak huruf, membaca dengung bacaan yang dengung, ikhfa` pada bacaan ikhfa`, izhar pada bacaan izhar, mad pada bacaan mad, tarqiq dibaca tarqiq, tafkhim dibaca tafkhim, menghindari kesalahan, baik berupa khafi atau jaly. Definisi serupa juga bisa ditemukan pada kitab-kitab tajwid lainnya, dimana tartil berarti membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar, sesuai kaidah-kaidah tajwid, memberikan hak setiap huruf; menyangkut makhraj dan sifatnya. Berdasarkan hal ini, tartil lebih spesifik lagi dibandingkan tilawah, karena tidak cukup dengan mengaji, melainkan harus mengaji dengan benar.[]

Sumber: M. Agus Yusron, (2021), Kaidah Yang Diperlukan Mufassir, Tafakkur: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, 2 (1), 63-86.

Editor: MAY

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *