Hermeneutika Martin Heidegger

penerbitbukudeepublish.com

Dalam perspektif hermeneutika, “mengetahui” berarti memasuki wilayah kesadaran informatif, baik yang berbentuk data empiris maupun abstrak. Sedangkan “memahami” berarti menyeberangi juga memasuki dimensi yang berada di balik wilayah kesadaran informatif tersebut. Bisa juga diartikan sebagai pencakupan menyentuh dunia realita yang terjadi. Untuk memahami hermeneutika Heidegger, sebaiknya kita mengetahui seni memahami pendahulunya, yaitu Schleiermacher dan Dilthey. Schleiermacher mengartikan seni memahami sebagai proses reproduksi teks. Sedangkan Dilthey, memahami berarti “memahami kembali” maksud dari penulis, sehingga kita dapat memahami teks secara obyektif. Pandangan-pandangan Heidegger lahir sebagai tanggapan juga reaksi atas pemikiran yang dominan kala itu, yakni obyektivitas dalam keilmuan yang dinilainya sebagai penilaian realitas kehidupan yang kaku; “ya atau tidak!” juga hitam atau putih!” Heidegger juga menghadapi pengaruh industrialisasi yang sangat kuat pada masanya itu yang di mana manusia diperlakukan sebagai alat.

Dari para pendahulunya ini, Martin Heidegger (1889-1976) mendekonstruksi seni memahami dan membawanya pada tahapan ontologis. Memahami selalu ada pada kedirian manusia itu sendiri, maksudnya manusia itu sendiri merupakan makhluk memahami, dan memahami tidak dapat terlepas dari ada-nya manusia. Dalam bukunya Sein und Zeit ia menyatakan: bahwa manusia itu ada ketika ia dapat memahami. Istilah manusia dalam bahasa Heidegger adalah dasein: Da berarti disana, sein berarti ada, yang bermakna ada-disana (ada di dunia begitu saja). Tema pokok filsafat Heidegger adalah ada dari manusia (human being) yang mempunyai tiga aspek, yakni: faktisitas (keberadaan di dalam dunia adalah keniscayaan yang perlu di sadari), eksistensialitas (manusia mengambil tempat dalam dunia), dan keruntuhan. Hermeneutika Heidegger meninggalkan gagasan Dilthey dan Schleirmacher yang berciri reproduktif. karena tugas memahami dan menafsir bukan untuk menghadirkan makna fakta seutuhnya. Melainkan menyingkap kemungkinan makna bagi masa depan. Sehingga hermeneutika mendahului fakta.

Dalam konteks Hermeneutika, filosof ini mengubahnya dari ilmu yang membahas tentang metode ke ilmu yang membahas tentang tujuan filosofis dan menekankan perlunya meningkatkan hermeneutika dari ilmu sekedar memahami teks atau metode umum untuk ilmu-ilmu humaniora, atau teori penafsiran, ke arah pembahasan tentang makna pemahaman dan hakikat penafsiran itu sendiri. Dan karna filsafat adalah upaya untuk memahami wujud, maka hermeneutika harus dimanfaatkan untuk memahami wujud. Heidegger juga membedakan  antara yang wujud yang ada, dengan wujud itu sendiri. 

Di samping itu, ia juga menekankan bahwa fungsi penafsiran atau pemahaman adalah upaya untuk menyingkap yang tersembunyi melalui apa yang nyata dan terbentang, serta menemukan apa yang tidak terucap dan tertera dari teks yang dihidangkannya. Beberapa gagasan kritik Heidegger atas konsep memahami ialah:

  1. Bila memahami berciri proyektif (terarah pada masa depan) maka mustahil merehabilitasi atau memproduksi makna dari masa silam sebagaimana adanya. Karena dasein adalah kemungkinan juga keterbukaan ke masa depan. Dalam proyeksi pemahaman “entitas tersingkap dalam kemungkinannya” karena sesuatu disingkap dengan mengantisipasi maknanya
  2. Hasil interpretasi tidak mungkin tunggal. Karena tidak ada kebenaran objektivitas yang tunggal.
  3. Tiga pokok peran dalam interpretasi yang harus di pahami menurut Heidegger:  vorhabe yaitu rencana, vorsicht yaitu pemahaman kenyataan yang akan di interpretasi, dan vorgiff yaitu sebuah “antisipasi”, atau biasa juga disebut dengan pra-pemahaman.
  4. Konsep praktis tentang memahami menurut Dilthey dan Schleirmacher adalah proses untuk merehabilitasi makna yang berasal dari masa silam agar dapat ditangkap lagi secara utuh oleh pembaca atau peneliti dari masa kini. Sedangkan Heidegger memahami sebagai menyingkap makna demi masa depan.
  5. Asumsi positivisme dalam hermeneutika produktif adalah bahwa obyektifitas dapat dicapai jika makna dipresentasikan apa adanya.
  6. Dalam interpretasi teks, Heidegger memahami makna harus dengan pre-suposisi dan juga prasangka. Makna tidak bisa di reproduksi karena memahami berarti proyektif.
  7. Heidegger berpendapat bahwa semua kajian filsafat bermuara pada pemahaman tentang manusia.
  8. Dalam pra-struktur memahami, ini harus selalu terarahkan ke masa depan, dan tidak terpaku pada teks-teks, juga pengetahuan masa silam.
  9. Heidegger menyatakan hermeneutika reproduktif masih melekat pada positivisme. 
  10. Martin Heidegger juga merupakan penganut filsafat eksistensialisme, yaitu melihat manusia sebagai subjek dan objek.

Daftar Pustaka

Al-A’lam, Ismail. “Problem Dualisme dalam Ontologi Filsafat Barat Modern dan Pascamodern.” Jurnal Tasfiyah, Vol. 01 No. 2 2017.

Aziz, Nasaiy. “Manusia sebagai subjek dan objek dalam filsafat existentialism Martin Heidegger.” Jurnal Substansia, Vol. 15 No. 2 2013.

Hardiman, F. Budi. Seni Memahami; Hermeneutik dari Schleirmacher sampai Derrida. Depok: Penerbit PT Kanisius, 2015.

Shihab, M. Quroish. Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera hati, 2013.

Tjahyadi, Sindung.  “Manusia dan Historisitasnya menurut Martin Heidegger.” Jurnal Filsafat, Vol. 18 No. 1 2008.Wahyudi, Antono. “Interpretasi Hermeneutika: Meneropong Diskursus Seni Memahami Melalui Lensa Filsafat Modern dan Postmodern.” Jurnal Klausa, Vol. 2 No. 2 2018.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *