Hermeneutika Al-Qur’an Tentang Pakaian Muslimah

pinterest.com

Hermeneutika muncul pada abad pertengahan, seiring lahirnya seorang tokoh filsuf yang bernama Thomas Aquinas (1225-1274). Menurut Thomas Aquinas hermeneutika adalah suatu pemahaman teks, penginterpretasi dan mencari kebenaran dalam sebuah kitab suci. Hermeneutika merupakan metode penafsiran Al-Qur’an dalam problema tersendiri, yang tidak meninggalkan konsep yang ditawarkan oleh hermeneutika tentang makna, kandungan dan teori yang selalu mengalami perubahan, perbedaan bahkan pertentangan.

Hermeneutika barat menurut Nasr Hamid Abu Zaid mampu membaca teks-teks Islam dalam realitas kekinian. Sedangkan menurut Muhammad Syahrur Al-Qur`an sebagai kitab berbahasa Arab otentik yang mempunyai dua sisi kemukjizatan, sastrawi dan ilmiah. Syahrur mengembangkan metode memahami Al-Qur`an dengan istilah yang disebut manhaj at-tartil yang dapat diidentikkan dengan metode intratekstualitas (hubungan antara teks tertentu dengan teks lainnya). Pemikiran hermeneutika Gadamer sangat di pengaruhi oleh Heidegger, pokok pemikiran hermeneutika Heidegger diartikan sebagai pemahaman dalam suatu realita dan teks.  

Salah satu pemahaman hermeneutika yang kekinian dalam kehidupan modern saat ini adalah tentang pakaian muslimah. Pakaian berasal dari bahasa arab libas . Para ulama berbeda pendapat dalam memahami libas. M. Syahrur berpendapat bahwa selama ini al-hijab sering digunakan sebagai pakaian syar’i, padahal kata al-hijab dalam al-kitab disebut sebanyak delapan kali, tetapi tidak ada satu pun yang mengarah pada pengertian libas, seperti dalam QS. al-A’raf/7: 46, kata hijab diartikan sebagai batas, kemudian pada QS. al- Ahzab/33: 53, kata hijab diartikan sebagai tabir, pada QS. Shad/38: 32, kata hijab diartikan penutup, pada QS. Fushilat/41: 5, kata hijab diartikan sebagai dinding pemisah, pada QS. Asy-Syura/42: 51, dalam surat ini kata hijab juga diartikan sebagai tabir, QS. al-Isra/17: 45, kata hijab diartikan sebagai tutup. Pada QS. Maryam/19: 17, kata hijab diartikan sebagai tabir, kemudian pada QS. al-Muthafifin/83: hijab-mahjub diartikan tertutup. 

Pakaian muslimah memang selalu menarik diperbincangkan, bahkan sering memicu terjadinya pedebatan di berbagai kalangan muslim. Pasalnya, berbusana yang menutup aurat adalah fitrah manusia. Dengan berbusana, manusia secara etis menutup auratnya dan secara estetis memperindah penampilannya. Lebih dari itu, berbusana manusia membedakan dirinya dari kelompoknya atau dari makhluk lainnya. Itulah manifestasi fungsi berbusana; sebagai diferensiasi (pembeda).

Quraish Shihab menafsirkan QS. al-Ahzab/33: 59, ketika menjelaskan berkenaan kata jilbāb, beliau menukilkan beberapa pendapat para ulama mengenai jilbāb. Ia, dengan menyandarkan pada Thabathabai, memahami kata jilbāb dalam arti pakaian yang lebih kecil dari jubah tetapi lebih besar dari kerudung yang menutupi kepala atau wajah wanita. Ibnu Asyur memahami makna jilbāb hampir sama dengan Thabathabai, hanya saja beliau menambahkan penjelasan lebih detail yakni, model jilbāb bisa bermacam-macam sesuai perbedaan keadaan (selera) wanita dan yang diarahkan oleh adat kebiasaan. 

Quraish Shihab, saat menafsirkan QS. an-Nur/24: 31 dan QS. al-Ahzab/33: 59, menyebutkan beberapa ketentuan pakaian muslimah, yaitu: (a) menutup tubuh dengan pakaian yang lebar dan longgar; (b) menjulurkan kain untuk menutup dadanya; (c) tidak menunjukkan perhiasan yang melekat pada tubuhnya; dan (d) tidak memakai wewangian yang dapat merangsang lawan jenis. Meski menyebutkan ketentuan berbusana bagi muslimah, beliau menegaskan bahwa perintah menutup aurat bagi muslimah tidak bersifat wajib meski apabila seorang muslimah menutup seluruh tubuhnya dengan sempurna itu lebih baik. 

Melihat penafsiran Q.S. An-Nur/24: 31 dan surat al-Ahzab/33: 59, menyimpulkan beberapa ketentuan berpakaian menurut Hasbi, yaitu: (a) menjaga pandangan; (b) berpakaian secara layak dan sopan; (c) memakai khimar (kerudung) yang menutupi dada; (d) menutup seluruh badan (kecuali muka dan telapak tangan) dengan kain yang longgar agar tidak memperihatkan keindahan tubuh; (e) tidak menggunakan pakaian yang berlebihan yang dapat mengundang perhatian banyak orang untuk melihatnya. 

Berdasarkan penafsiran yang disampaikan oleh para ahli tafsir diatas dapat dilihat kesimpulannya bahwa pakaian dalam Islam itu memiliki makna dan pemahaman yang sama dan ada juga yang pemahaman yang beda. Pertama, mengenai pakaian muslimah, ada dua jenis istilah yang digunakan al-Qur’an, yaitu: khimār dan jilbāb. Terkait pengertian keduanya, Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy mendefinisikan khimār adalah kerudung yang menutupi dada, dan jilbāb adalah selendang besar yang menutupi muka. Sedangkan Quraish Shihab mendefinisikan khimār adalah tutup kepala yang panjang, dan jilbāb, dengan menukil pendapat ulama lain, sebagai pakaian yang lebih kecil dari jubah tapi lebih besar dari kerudung yang menutupi kepala atau wajah wanita. 

Kedua, titik persamaan dan perbedaan penafsiran Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dan Quraish Shihab dapat dilihat dari empat aspek, yaitu: (a) metode penafsiran. Kitab tafsir kedua tokoh memiliki karakteristik metodis yang sama: tafsir analitik, akan tetapi dengan titik fokus yang berbeda: Hasbi lebih fokus pada kajian setema, dan Quraish Shihab lebih fokus pada keserasian al-Qur’an; (b) pengertian pakaian muslimah. Keduanya memiliki pengertian yang sama tentang khimār dan berbeda pendapat dalam pengertian jilbāb seperti dijelaskan di atas; (c) hukum pakaian muslimah. Hasbi melihat hukum menggunakan khimār dan jilbāb adalah wajib, dan Quraish Shihab melihat pemakaian khimār dan jilbāb tidaklah wajib dan hanya bersifat kontekstual; dan (d) ketentuan pakaian muslimah. Meski Hasbi dan Quraish Shihab berbeda pendapat mengenai pakaian muslimah, mereka melihat bahwa cara berbusana wanita mesti memperhatikan ketentuan berbusana yang baik. Ketentuan berbusana muslimah paling tidak memperhatikan dua hal, yaitu: (a) menutup atau tidak menampakkan aurat dan bentuk tubuh; dan (b) tidak mengundang fitnah (perhatian) dari orang lain.

Demikianlah pemahaman tentang pakaian muslimah berdasarkan tafsir Al-Qur’an melalui metode pemahaman hermeneutika, yang mana hermeneutika itu adalah suatu proses memahami, menerjemahkan dan menjelaskan sebuah pesan dalam bahasa itu menjadi rahim yang melahirkan hermeneutika. Dalam proses hermeneutika tersebut memiliki berbagai elemen yang sangat kompleks, seperti pra-anggapan, dialektika, bahasa, dan realitas.

DAFTAR PUSTAKA

Rahmat, Jalaluddin. Islam Alternatif. Bandung: Mizan, 2000.

Alim, Ma`shum Nur. Hermeneutika Penafsiran Ayat-ayat Kalam dalam Tafsir al-Manar. Penerbitan:YPM, 2017.

Syahur, Muhammad. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur`an Kontemporer. Terj. Sahiron Syamsuddin, dkk. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004.

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 2008.M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran. Vol. 11. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *