Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd

pexels.com

Dalam pembahasan Nasr Hamid Abu Zayd kali ini penulis ingin memaparkan secara singkat histori latar belakang beliau di mesir yang dirundung polemik. Nasr adalah intelektual Islam abad modern yang banyak melahirkan konsep baru dan menjadi salah satu pusat perhatian bahan kajian islam terutama melalui konsentrasi pemikirannya. Beliau tumbuh di Mesir di mana atmosfer kebebasan berpendapat dan berpikir sangat berkembang pesat. Negeri tersebut juga merupakan salah satu pusat sumber keilmuan Islam. Tidak dipungkiri dinamika tersebut secara impresif berpengaruh pada pertumbuhan intelektualitas Nasr.

Sosok Nasr Hamid Abu Zayd dilahirkan di desa Quhafa yang terletak di kota propinsi Tantha, Mesir pada tgl 10 Juli 1943M. Nasr adalah sosok Qori’ ternama dan terkenal juga mencapai derajat Hafidz dan mampu untuk menceritakan isi Al-Qur’an sejak umur 8 tahun. Keluarganya merupakan keluarga yang patuh beragama dan Nasr pun mendapatkan pengajaran agama dari keluarganya sedari kecil. Nasr lulus dari sekolah teknik Tantha pada tahun 1960M. Pada tahun 1968M ia menjadi mahasiswa di kejuruan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Sastra, Universitas Kairo. Pada tahun 1972M ia menyelesaikan kesarjanaannya pada program yang sama dan pada tahun 1977M ia menyelesaikan program magisternya, dan juga pada tahun 1981M ia telah mendapat gelar Ph.D. Nasr bekerja sebagai dosen di Universitas yang sama sejak 1982M. Pada tahun 1992M, promosi professor menjadi targetnya, tetapi ditolak karena pemikiran dan kontroversialnya, salah satunya menghujat para sahabat Nabi. 

Pada tahun 1978M beliau menjadi pengikut pada Centre for Middle East Studies di universitas pensylvania, Philadelphia, Amerika Serikat, di mana Nasr mendalami ilmu-ilmu sosial dan humanitis, khususnya teori-teori tentang cerita rakyat (folklore). Pada periode inilah Nasr menjadi dekat dengan hermeneutika Barat. Ia menulis dan memperkenalkan artikel tentang “al- Hirminiyutiqa wa Mu’dilat Tafsir an-Nash’’ (hermeneutika dan problem penafsiran teks) yang dalam prespektifnya merupakan artikel pertama tentang hermeneutika yang tertulis dalam bahasa Arab. Pada usianya yang ke-49, Nasr menikahi Dr. Ibtihal Ahmad Kamal Yunis, professor bahasa Inggris, Prancis dan sastra perbandingan di universitas Kairo. 

Satu bulan kemudian, 9 mei 1992, setelah gagal pada pengajuan pertama beliau mencoba kedua kalinya promosi professor di Kairo. Penulis menganalisa bahwa inilah langkah awal dari tragedi hidupnya, sebuah peristiwa yang telah mempengaruhi sejarah Mesir dan dunia Islam pada ruang akademika. Nasr menyerahkan dua bukunya, Al-Imam asy-Syafi’i dan Naqd Al-Khitab Ad-Dini, serta sebelas jurnal akademik lainnya kepada penguji. Dari tiga penguji hanya dua yang menyetujui muatan karya-karyanya, namun akhirnya akhirnya panitia mengadopsi pandangan Dr. Abd As-Sabur Asy-Syahin, yang telah menuduh Nasr merusak ortodoksi Islam yang berkaitan dengan Al-Qur’an, Nabi, Sahabat, Malaikat, dan makhluk gaib lainnya. Panitia pun menolak pengajuan promosinya, dua kali sudah tertolak dalam uji kompetensi gelar kehormatan tertinggi. Gejolak ujian tersebut menjadi bahan stimulus riset akademik bagi para akademisi yang berusaha memaparkan konsep Nasr baik yang pro dan kontra, bahkan Nasr sampai di adili di tingkat pengadilan 1 Giza pada tahun 1993M dengan berbagai tuduhahan murtad dan putusan cerai terhadap istri karena isi putusan pengadilan yang menerangkan bahwa Ia telah murtad.

Pemikiran Nasr bermula dari bukunya Mafhumun Nash yaitu mengenai ta’wil dalam tradisi sufi (Ibnu Arabi) dan mengenai majaz metafora dalam tradisi kalamnya Muktazilah. Dalam buku autobiografinya yang di muat oleh sahabatnya berkebangsaan Jerman, Navid Kermani, Nasr mengatakan: “Al-Qur’an adalah karya religi, kitab petunjuk, sebagaimana pemaparan Muhammad Abduh. Tetapi, petunjuk Al-Quran tidak di dapatkan begitu saja, ada teori khusus memahami teks, supaya pesan dan petunjuk tersebut dapat di mengerti, Maka kita harus menafsirkannya. Al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang memiliki konsentrasi dan intuisi, yaitu berupa bahasa Arab. Pecah tidak nya teks tersebut, maka perlu adanya kajian mendalam yang lebih luas dari sekedar disiplin filologi. 

Analisis ini memposisikan Al-Qur’an sebagai teks yang terstruktur. Oleh karenanya, Al-Qur’an tidak masuk kategori teks puisi saja, sebaliknya ia tetap sebagai teks religi yang memiliki lintas fungsi”. Pada hakekatnya setiap individu mempunyai potensi dalam berdialog dengan kondisi atau alam sekelilingnya dalam bentuk semiology atau menjadikan sumber yang di lihat adalah sebuah teks yang berpotensi untuk di tafsirkan. Nasr berpandangan bahwa turunnya Al-Qur’an adalah dapat di lihat dari kondisi peradaban dan budaya bangsa arab khusunya mekkah yang rusak pada saat itu, hal ini menggambarkan betapa tanda tanda yang ada saat itu yaitu budaya menjadi salah satu sebab turunnya Al-Qur’an. 

Nasr sendiri berusaha merekontruksi ulang keyakinan final umat Islam. Ia berusaha merobah atutentisme sakralitas Al-Qur’an dengan menganggapnya sebagai produk budaya religi. Baginya Al-Qur’an merupakan buah respons spontanitas berkaitan dengan iklim masyarakat ketika ia diturunkan. Sebabnya, interpretasinya pun harus melalui pendekatan persuasive melalui konteks, bahkan tanpa perlu mengacu kepada teks yang ada, karena prespektif pemahaman tentang Al-Quran dapat berubah ubah sesuai zaman dan merupakan bagian dari dinamika interpretasi. Nasr membebaskan kepada siapa saja pada konsentrasi penafsiran tanpa memperhatikan latar belakang penafsir, serta tanpa mempertimbangkan kehalian penafsir. Akhirnya, penafsiran terhadap teks-teks keagamaan menjadi relatif seluruhnya, tergantung siapa yang menafsirkan. Akibatnya, tafsir-tafsir ulama, hukum-hukum syariat, konsep-konsep nilai, bahkan bangunan keilmuan Islam dapat didekonstruksi seluruhnya, karena semua itu relatif dan bisa berubah.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Komarudin, Memahami Bahasa Agama Sebagai Kajian Hermeneutika. Jakarta: Paramadina Press, 1996.

Kurdi, dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010.

Latief, Hilman, Nasr Hamid Abu Zayd Kritik Teks Keagamaan. Jogjakarta: eLSAQ Press, 2003.

Maftukhin, Nuansa Studi Islam: Sebuah Pergulatan Pemikiran. Yogyakarta: Teras, 2010.

Nasution, Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: TAZZAFA-ACAdeMIA, 2004.

Nur Ichwan, Moch, Meretas Kesarjaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermenutika Nasr Abu Zaid. Bandung: Teraju, 2003.

Sucipto, Ensiklopedia Tokoh Islam dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qordhowi. Jakarta: PT Mizan Piblika, 2003.

Zayd, Nasr Hamid Abu. Hermeneutika dan Problema Penafsiran Teks, diterjemahkan oleh Muhammad Mansur dari judul Al-Hirminiyutiga wa Mu’dilat Tafsir Al-Nash Fi Isykaliyah Al-Qira’ah wa Alliyat At-Ta’wil. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2004. Lihat juga: Syamsuddin, dkk, Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya. Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003.……., Naqd Al-Khitab al-Diniy. Kairo: Sina li Al-Nasyr, 1994.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *