Relevansi Hermeneutika Kritis Habermas dalam Studi Tafsir Al-Qur’an

Jurgen Habermas, lahir di kota Dusseldorf, Jerman pada 18 Juni 1929. Habermas termasuk filsuf yang berpengaruh di abad kontemporer. Ia juga dikenal sebagai generasi kedua Mazhab Frankfurt yang berhasil mengatasi kemacetan teoritis para pendahulunya dengan sebuah paradigma baru, yaitu paradigma komunikasi intersubyektif. Terkait hermeneutika, Habermas tidak secara spesifik membahas hermeneutika sebagai filsafat. Namun, hermeneutika kritis Habermas hanya terlihat secara tersirat dari metode kritisnya dalam mengembangkan teori sosial. Salah satu cara untuk mengetahui pendirian Habermas tentang hermeneutika adalah dengan cara membaca perdebatan kritis di masa mudanya atas hermeneutika filosofis  Hans-Georg Gadamer (1900-2002 M). Diantaranya, perdebatan Habermas atas Gadamer melalui esai panjang yang berjudul Zur Logic der Sozialwissenschaften di tahun 1967 dan dijawab langsung oleh Gadamer pada tahun yang sama, Rhetorik Hermeneutik und Ideologiekritik

Secara hermeneutika, teori universalitas Gadamer termasuk pada pandangan ontologis; berbeda dengan Habermas yang memandang hermeneutika secara epistemologis. Berangkat dari perbedaan ini, maka tidak heran bahwa hermeneutika ontologis Gadamer mendapatkan kritikan tajam dari hermeneutika epistemologis Habermas yang terkenal dengan hermeneutika kritis (depth understanding). Habermas mengkritik pendirian Gadamer tentang memahami tidak lepas dari prasangka subyek terhadap objek. Maka memahami dalam pandangan Gadamer bernuansa subjektif yang mengandung sikap “idealisme”. Gadamer berpendapat bahwa kegiatan memahami tidak akan lepas dari sebuah tradisi yang berlaku dan otoritas yang sedang berkuasa. Maka memahami merupakan sebuah kesepakatan dengan sebuah tradisi dan otoritas. Habermas mengkritik dengan tajam atas konsep Gadamer ini, dengan melontarkan argumen. Tidak selamanya konsep memahami selalu dikendalikan oleh sebuah tradisi, bahkan kita pun bisa memutuskan hubungan dengan tradisi yang seolah-olah melegitimasi dan mendoktrin kita kepada arah tertentu. Hal itu dapat dilakukan apabila kita memahami tradisi dengan cara melakukan refleksi kritis dalam memahami.

Sebagai contoh pemerintah otoriter dapat menguasai pengetahuan, tradisi, otoritas, dan bahkan sebuah pemikiran kognitif dari masyarakat. Berbagai narasi-narasi yang diciptakan penguasa yang berupa berbagai kata-kata represif. Dalam hal ini menurut Habermas bahasa tidaklah bersifat netral karena bahasa bisa saja menjadi medium kekuasaan dalam menciptakan sebuah narasi-narasi untuk kepentingan penguasa tertentu. Dengan demikian, hermeneutika menurut Habermas tidak bergerak di dalam hal-hal pra-reflektif yang diandaikan begitu saja, melainkan hasil refleksi. Jika merupakan hasil refleksi dan kesadaran kritis, hermeneutika tentu tidak hanya melanjutkan tradisi atau membenarkan otoritas, melainkan dapat mengevaluasi tradisi atau otoritas. Yang dipersoalkan Habermas bukan saja elemen tradisi dan otoritas di dalam pemahaman, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan di dalamnya. Gadamer terlalu fokus pada proses pemahaman dan mengabaikan fakta bahwa pemahaman itu juga dikendalikan oleh proses-proses kekuasaan. 

Kemudian kritik Habermas terhadap Gadamer tentang hermeneutika universalitas yang menurut Habermas tidak dapat diterapkan di semua pengetahuan. Klaim universal hermeneutika Gadamer menemukan batasnya, pada bahasa ilmu-ilmu alam dan bahasa abnormal. Terkait teks menjadi “abnormal”, ketika yang dihadapi penafsir adalah bahasa dan perilaku yang tidak dimengerti oleh penutur atau pelakunya sendiri. Habermas memberikan contoh kepada dua kasus, yaitu kasus psikopatologis dan kasus perilaku kolektif hasil indoktrinasi. Dengan demikian, sekarang dapat dipahami bahwa Habermas memiliki pendirian sendiri tentang hermeneutika. Hermeneutika biasa yang digagas dari Schleiermachcer sampai Gadamer menemui batasnya ketika berhadapan dengan tuturan atau perilaku, yakni “teks” yang dihasilkan lewat komunikasi yang terdistorsi secara sistematis. Hermeneutika biasa hanya dapat beroperasi dalam komunikasi yang kurang lebih transparan baik bagi orang luar maupun para pelakunya sendiri. Dalam keadaan demikian, hermeneutika khusus yakni “hermeneutika kritis” Habermas perlu dijalankan. 

Dengan demikian, dapat dipahami proyek hermeneutika Habermas adalah proyek hermeneutika sosio-kritis yang dapat diberangkatkan dari sisi epistemologis pemahaman manusia maupun sisi metodologis dan pendekatan komunikatif baik dalam teks, tradisi maupun institusi masyarakat.

Berdasarkan penjelasan di atas, menarik untuk dipertimbangkan konsep hermeneutika Habermas pada pemahaman teks-teks kitab suci. Pelajaran yang dapat di ambil dari Habermas adalah mengenai proyek peradaban kritis-komunikatif. Hermeneutika Habermas adalah konsep dealektis, dimana antara subjek (interpreter) dan objek (teks/yang ditafsir) memiliki hak untuk menyodorkan wacana dirinya sencara terbuka. Tidak ada dominasi karena disana ada saling kritik-konstruktif-dinamis. Wacana kritik-komunikatif ini dapat dikembangkan khususnya dalam pengembangan pemikiran terhadap al-Qur’an. Pemikiran tentang pemahaman al-Qur’an (tafsir) selama ini telah “dikultuskan” melebihi dari posisinya sebagai produk budaya manusia yang tentu tidak ada jaminan akan terbebas dari  kesalahan dalam memahami al-Qur’an itu sendiri. Sehingga tidak ada salahnya dirumuskan kembali reorientasi pemahaman atas teks al-Qur’an yang berwacana superioritas al-Qur’an yang komunikatif. Mengingat banyak produk tafsir yang kiranya tidak sesuai dengan kondisi atau kebutuhan masyarakat yang ada.

Hermeneutik kritis Habermas juga, mengingatkan kita pada pentinganya mengungkap kepentingan yang ada di balik teks penafsir. Hermeneutik kritis menempatkan sesuatu yang berada diluar teks sebagai problem hermeneutik. Dalam hal ini, perlunya upaya refleksi kritis atas dominasi yang ada pada penafsir. Termasuk dimensi ideologi penafsir dan teks, sehingga mengandaikan teks bukan sebuah medium pemahaman melainkan sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks tersimpan kepentingan penguna teks oleh karena itu, selain horizon penafsir dan teks pun perlu ditempatkan dalam ranah dicurigai.Dalam konteks sekarang ini, hal ini dapat dimaklumi, mengingat banyaknya praktek penafsiran al-Qur’an yang digunakan untuk meligitimasi kepentingan sebuah ideologi tertentu bahkan kepentingan politik praktis, terutama dalam masyarakat demokrasi saat ini. Sehingga perlu upaya refleksi kritis atas teks yang tidak saja mereproduksi atau memproduksi makna untuk masa depan melainkan juga menghasilkan pemahaman yang terbebas dari dominasi kepentingan dari luar teks itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Abdullah Khozim. Hermeneutika. Surabaya: Alpha, 2007.

Atabik, Ahmad. “Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas.” dalam Jurnal Fikrah, Vol. 1 No. 2 Tahun 2013.

Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik Dari Schleiermacher Sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Wijaya, Aksin. “Hermeneutika al-Qur’an: Membumikan Pesan Manusiawi dalam al-Qur’an.” dalam Jurnal Ulumuna, Vol. 15 No. 2 Tahun 2011.Ulumuddin. “Jurgen Habermas dan Hermeneutika Kritis: Sebuah Gerakan Evolusi Sosial.” dalam Jurnal Hunada, Vol. 3 No. 1 Tahun 2006.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *