IbihTafsir: Apa kabar, Prof?
M. Syahrur: Saya sedih, marah, bingung, dan ketakutan. Semua perasaan itu seperti campur aduk.
IbihTafsir : Mengapa bisa begitu, Prof? Apa yang sedang terjadi?
M. Syahrur: Lihatlah kota di mana saya tinggal, porak poranda dalam waktu sekejap. Hampir 500 ribu orang meninggal dan 12 juta orang menjadi pengungsi dan 1 juta orang tinggal di tenda-tenda. Mereka semua korban perang yang masih berlangsung hingga saat ini. Anda dapat melihat perang ini menghancurkan infrastruktur juga merusak mental anak-anak sebagai korban perang. Ini membutuhkan puluhan tahun bahkan mungkin lebih untuk memperbaikinya. Semua itu terjadi setelah peperangan antara orang Islam dungu dan orang Islam bodoh.
IbihTafsir : Bagaimana semua itu bisa terjadi, Prof?
M. Syahrur: Itulah akibat dari politisasi agama. Politisasi agama menempatkan agama di bawah kepentingan politik. Agama hanya dijadikan alat politik oleh mereka. Mereka saling mengkafirkan, saling mencaci, bahkan saling membunuh demi kepentingan kekuasaan, bukan kepentingan agama.
IbihTafsir: Meski untuk kepentingan politik, tetap saja mereka memakai dalil Al-Qur’an untuk melegitimasi pendapatnya.
M. Syahrur: Itulah yang menjadi pemikiran saya. Karena dalil hanya alat legitimasi, maka bisa dipastikan bahwa kedalaman teori dan pemahaman mereka patut dipertanyakan.
IbihTafsir: Lalu, bagaimana pemikiran, Prof?
M. Syahrur: Bidang saya bukan politik. Bidang saya ada studi Al-Qur’an. Saya yakin lewat pemahaman Al-Qur’an yang benar, pemerkosaan dalil Al-Qur’an demi kepentingan politik bisa dilawan.
IbihTafsir: Prof bisa mencontohkan pemahaman Al-Qur’an yang lebih baik lewat ayat yang biasanya mereka salah pahami?
M. Syahrur: Di dalam QS. Ali Imran/3: 19, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” Kekeliruan mereka dalam memahami ayat itu dimulai ketika mereka memusuhi sesama umat Islam padahal ayat tersebut sama sekali tidak berbicara tentang itu. Kekeliruan selanjutnya adalah pemahaman tentang kata al-Islâm yang semata-mata dipahami sebagai sebuah agama, padahal arti sesungguhnya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Bukti bahwa arti al-Islâm bukan sekadar agama adalah kelanjutan ayat di atas yang menyebutkan tentang orang-orang yang telah diberi Kitab. Tentu saja mereka adalah orang-orang yang beragama, tetapi mereka tetap berselisih karena adanya kedengkian. Kedengkian tidak akan ada jika masing-masing pemeluk agama hanya berserah diri kepada Allah SWT, bukan kepada kedengkian dan kepentingan. Dalam konsep hudûd saya, ayat ini ini termasuk kepada konsep ke-6, adil, yaitu hâlah hadd al-adnâ, yakni posisi batas minimal. Berislam itu adalah batas minimal atau penyerahan diri kepada Allah SWT adalah batas minimal. Jika itu saja tidak terpenuhi, maka tidak perlu lagi berbicara tentang beragama Islam karena beragama seperti itu tidak akan melahirkan amal shalih.
IbihTafsir: Lewat cara pandang Prof yang barusan, bagaimana membaca politisasi agama saat ini?
M. Syahrur: Yang saat ini berperang adalah yang mempolitisasi agama. Karena agama disimpan di bawah politik, akibatnya ayat-ayat Al-Qur’an dijadikan amunisi untuk saling membenci, saling mencaci, saling membunuh. Padahal dalam Al-Qur’an, batas minimal ayat di atas adalah berislam dan batas maksimalnya adalah berselisih. Perang ini adalah simbol kedurhakaan, keserakahan, kebodohan dan sesungguhnya semuanya akibat tidak mampu mengelola perbedaan paham.
IbihTafsir: Bagaimana menurut Prof tentang relasi antaragama?
M. Syahrur: Sesungguhnya umat Islam seluruh dunia harus belajar dari umat Islam di Indonesia. Toleransi kehidupan beragama di Indonesia sungguh harus menjadi model untuk umat Islam seluruh dunia. Indonesia memiliki wilayah yang luas, suku, budaya dan agama yang beragam. Mayoritasnya beragama Islam dan mampu berdampingan dan saling menghormati antaragama. Undang-undang Dasarnya pun memiliki makna Islami meskipun tidak disebutkan syariat Islam.
IbihTafsir: Bagaimana menurut Prof tentang kemenangan Taliban di Afghanistan? Apakah itu kemenangan Islam?
M. Syahrur: Anda dapat melihat gambar di sebelah ini. Anda sudah melihat bagaimana katanya mereka menegakkan hukum syariat Islam dengan cara biadab tanpa pengadilan, merendahkan derajat wanita, bahkan membunuhnya dengan cara-cara sadis. Mereka sesungguhnya membunuh saudaranya sendiri dengan semua kekejian-kekejian yang mungkin lebih hebat dari yang terjadi pada jaman jahiliah dahulu. Rasulullah SAW diutus untuk memperbaiki akhlak kaum jahiliyah, namun yang dipertontonkan oleh Taliban adalah akhlaknya kaum jahiliyah. Taliban harus belajar ke Indonesia, mereka harus memiliki Dasar Negara seperti Pancasila.
IbihTafsir: Bercerita tentang perang di negeri Anda tidak akan ada habisnya. Sekarang saya ingin tahu pendapat Prof tentang Indonesia
M. Syahrur: Rakyat Indonesia pada umumnya dan khususnya umat Islam Indonesia haruslah bersyukur luar biasa kepada Allah SWT yang telah menganugrahkan persatuan Indonesia yang kokoh dan sedemikian toleran dan kemudian bersatu dalam bingkai NKRI. Wilayah yang begitu luas, dengan ribuan pulau, bahasa, dan ragam etnik budaya dapat dipersatukan dalam bingkai NKRI dengan dasar Pancasila. Masya Allah itu sangat Islami. Tahukah Anda bahwa Mukadimah UUD Negara Republik Indonesia itu sangat Islami: “Atas berkat rahmat Allah”. Dan lihat pula Pancasila. Sila pertamanya adalah Tauhid. Hal ini juga diikuti dengan sila-sila berikutnya seperti kemanusiaan yang adil dan beradab di bawah persatuan Indonesia melalui terselenggaranya sistem demokrasi permusyawaratan perwakilan demi tegaknya keadilan bagi seluruh rakyat. Pancasila ini sesungguhnya harus menjadi Rukun Ihsannya seluruh umat Islam Indonesia dan diikuti oleh seluruh rakyatnya. Sungguh Indonesia adalah sekeping surga yang dilemparkan ke dunia. Anda harus benar-benar mensyukurinya. Seorang ulama besar dari Suriah, Syech Abdul Salam Rejeh, berpesan kepada bangsa Indonesia, khususnya umat Islam agar tidak terpecah-belah seperti Suriah. “Di negeri kami banyak golongan yang masuk dengan menggunakan senjata dengan dalih menegakkan syariat Islam atau Khilafah. Tapi, nyatanya mereka justru merusak. Mereka mengatakan cinta Allah dan Rasulullah, tapi mencerca saudaranya, memerangi saudaranya, bahkan membunuh saudaranya,”. Jangan sampai itu terjadi di Indonesia. Satu lagi yang penting, seharusnya politik ideologi di Indonesia, bukan dengan cara defensive. Sudah saatnya pemerintah Anda lebih offense, karena the best defense itu adalah offense. Caranya, Pemerintah Indonesia dan WNI harus aktif mengkampanyekan atau mensyiarkan Pancasila sebagai dasar negara di banyak negara muslim lainnya di dunia, atau bahkan di negara sekuler sekalipun. Jangan hanya bertahan dari gempuran ideologi-ideologi lain dari luar yang liar seperti ideologi Khilafah yang sama sekali tidak Islami namun menunggangi Islam.
IbihTafsir : Agar rukun damai, aman, nyaman, dan bisa hidup berdampingan dengan keragaman serta beragama penuh toleransi, bagaimana jika Afghanistan diakuisisi dan dijadikan saja provinsi Indonesia ke-35?
M. Syahrur: Brilliant!
Bahan Bacaan
Syahrur, Muhammad, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, terjemahan Sahiron Syamsuddin, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007.
—————, Al-Kitâb wa al-Qurân: Qirâ’ah Muâshirah, Damaskus: Al-Ahali li ath-Thibaah wa an-Nasyr wa at-Tauzi, 1990.
Fateh, Mohammad “Hermenutika Syahrur: Metode Alternatif Interpretasi Teks-Teks Keagamaan”, dalam Jurnal Religia, Nomor 13, 2010.
Abdullah, Amin, “Sebuah Pengantar” dalam Ishlah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika hingga Idiologi, Jakarta: Penerbit Teraju, 2002
1 Komentar