Memberdayakan Ekonomi Umat (Islam)

mmc.tirto.id

“….kalian banyak, tetapi seperti buih di atas air.”

(HR. Ahmad, Al-Baihaqi dan Abu Dawud)

          Di tengah populasi muslim yang hampir mencapai 1,9 miliar dan secara khusus berjumlah kurang lebih 229 juta pemeluk di Indonesia, masyarakat Muslim setidaknya masih dilanda persoalan sosial dan kemasyarakatan. Salah satunya adalah persoalan kemiskinan. Jika data populasi miskin mencapai 26,42 juta dari jumlah keseluruhan penduduk pada awal 2020, maka bisa dibanyangkan berapa banyak populasi muslim yang berada dalam situasi tersebut.

          Populasi tersebut memang tidak menyebut secara spesifik penganut agama tertentu, namun bisa disimpulkan, mereka yang berada di bawah garis kemiskinan dan ketidakberdayaan dihuni mayoritas umat Islam. Kesimpulan sederhana, boleh jadi menunjukkan bahwa di balik kumpulan besar itu, menyimpan kelemahan.

Ayat Pemberdayaan

          Tidak kurang ayat al-Qur’an menggugah memori publik untuk mengarusutamakan keberdayaan. Tuhan sebagai penggerak perubahan bahkan disebut tidak akan bekerja sendiri tanpa dukungan kreativitas manusia. Salah satu ayat yang sering dirujuk adalah: Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…(QS. Ar-Ra’d/13: 11).

          Quraish Shihab menjelaskan pemaknaan ayat tersebut dengan menyitir secara khusus huruf “ma” dalam penggalan “ma bi anfusihim”. Perubahan bersumber pada pelaku, Tuhan dan diri manusia yang meliputi keberanian dan sikap mental. Pada tataran yang lebih subtil, perubahan hanya akan terjadi melalui gabungan nilai yang dihayati serta iradah (kehendak) dari manusia. Perpaduan keduanya menciptakan kekuatan untuk melakukan sesuatu sehingga menghasilkan perubahan sosial.

          Sayangnya, tidak semua mengarah pada ketersalingan tersebut. Ayat tentang Tuhan yang memberi rezeki kepada hamba-Nya tanpa dia sangka, juga cukup memenuhi persepsi umat. Seakan berharap pada keajaiban, perubahan dipandang akan datang dengan sendirinya tanpa dijemput dan diusahakan secara maksimal. Cukup dengan geliat ritualitas, realitas diharapkan menuai perubahan dengan sendirinya.

          Tampaknya, Islam sebagai aksi sosial belum menjadi perbincangan yang riuh. Agama sebagai agent of change belum sepenuhnya menjadi ritualitas keseharian di balik banalitas kehidupan masyarakat Muslim yang dirundung ketidakberdayaan. Islam begitu mendayu dan mengasyikkan sebagai lantunan, tapi memprihatinkan sebagai kehidupan yang sedang dijalani oleh pemeluknya.   

Praksisme Islam

          Sebagai agama yang lahir belakangan, Islam sesungguhnya mengusung perubahan. Bukan hanya dogma dan ritus tapi juga tentang bagaimana ajarannya mampu merubah kehidupan umat manusia. Atas usungan perubahan itu, Islam bergelora dan menuai penerimaan luas di seluruh seantora jagad raya. Jika sekiranya Muhammad diutus hanya sekedar menyempurnakan dogma dan ritus, maka boleh jadi umat yang sebelumnya yang memang telah akrab dengan dogma dan ritus tidak akan melihat sesuatu yang “lebih” dari Islam.

Bukankah al-Qur’an secara ekplisit menyebut umat Islam sebagai Umat Terbaik (khairu ummah)? Status terbaik tersebut tentu tidak datang dengan sendirinya. Dimensi ketersalingan antara Tuhan dan manusia menjadi rujukan utama. Tuhan yang berkehendak dengan didasarkan pada sikap manusia atas nilai-nilai Islam yang mampu merubah dirinya.

Kuntowijoyo menjelaskan nilai-nilai itu dengan menyinggung tentang umat yang terbaik merujuk pada QS. Ali Imran/3:110. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Ayat ini menyiratkan 3 (tiga) hal terkait keniscayaan perubahan. Ketiga hal itu adalah humanisasi (ta’muruna bil ma’rûf), liberasi (tanhauna ‘anil munkar) dan trasendensi (tu’minûna billâh).

Dalam bahasa Islam, humanisasi adalah terjemahan kreatif dari amr al ma’ruf yang makna asalnya menganjurkan penegakan kebajikan. Humanisasi bermakna “makhluk manusia” dan “kondisi menjadi manusia”. Dengan demikian, ia juga berarti memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan, dan kebencian dari manusia.

Liberasi bertujuan membebaskan bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Manusia menyatukan rasa dengan mereka yang miskin, mereka yang terperangkap dalam kesadaran teknokratis, dan mereka yang tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa. Sementara transendensi mengalamatkan segala bentuk ketidakberdayaannya dalam sebuah semangat ketuhanan yang membangkitkan. Sehingga manusia percaya bahwa sesungguhnya kebangkitan itu adalah fitrah kemanusiaan.

Humanisasi, liberasi dan transendensi sesungguhnya mengarahkan Islam dan pemeluknya meninggalkan tradisi konvensionalnya yang bersifat langitan, abstrak dan tidak bisa diterapkan secara kontekstual dalam kehidupan bermasyarakat. Paradigma teologi klasik yang ditinggalkan para pendahulu lebih sebentuk ajaran langitan, wacana teoritis murni, abstrak-spekulatif, elitis dan statis serta jauh dari kenyataan sosial kemasyarakatan, tidak sepenuhnya mampu menjawab berbagai permasalahan modern dan situasi dehumanisasi yang ada. Padahal semua permasalahan modern sekarang ini, diyakini berpusat pada pengarusutamaan modal, bukan hanya karena ketidaktaatan pada Tuhan.

Sebagai bagian dari human consciousness, Islam sebagai bentuk kesadaran manusia tidak hanya yang menentukan “their being”, tetapi “their social being”. Keberadaan Islam sejatinya mendefinisikan seperti apa realitas sosial-kemasyarakatan yang sedang dirasakan pemeluknya. Atas dasar itu, ayat-ayat al-Qur’an sesungguhnya berangkat dari realitas, tidak hadir di ruang hampa. Ayat-ayat itu senantiasa berdialog dan zamannya dan realitas di sekitarnya.

Dalam konstruksi tafsir, ayat-ayat al-Qur’an lahir dari sebuah konstruk sosial, lalu membawa konstruk sosial itu berhadapan dengan interpretasi teks (al-Qur’an), kemudian memperhadapkan konstruk sosial dan model ideal teks yang diwujudkan dalam aksi.

Atas dasar itulah, sejatinya agama (Islam) mampu memberi dorongan bagi pemberdayaan dan kebangkitan ekonomi masyarakat. Aneka ragam produk ekonomi umat bertebaran di masyarakat, mulai dari koperasi keumatan yang dimiliki oleh hampir seluruh organisasi masyarakat keagamaan, hingga industri perbankan yang secara khusus bertema “syariah”.

          Tapi nampaknya produk-produk tersebut saat ini lebih cenderung sebagai produk kapital ketimbang pemberdayaan, sebab di saat yang sama masyarakat Muslim sebagai mayoritas tidak merasakan dampak signifikan. Di berbagai penjuru wilayah, di pelosok-pelosok, bahkan di perkotaan, ritus agama seringkali digunakan untuk meminta bantuan pemberdayaan kehidupan masyarakat. Pembangunan infrastruktur keagamaan bahkan secara terang-terangan harus “mengemis” ke khalayak publik untuk sekedar mendirikan rumah ibadah dan sentra-sentra pendidikan yang berbasis keagamaan. Kiranya persoalan pemberdayaan keumatan masih berada dalam tegangan yang terjal, jauh panggang dari api, dan cenderung hanya sebatas retorika religi ketimbang paradigma yang komprehensif. Oleh karenanya, selain peran negara, diskursus keagamaan harus memberi perhatian lebih maksimal. Tafsir-tafsir yang bersumber pada ayat-ayat pemberdayaan perlu dieksplorasi lebih jauh dan lebih dalam. Ayat-ayat suci harus memberi inspirasi dan tidak hanya berbicara di ruang hampa, apalagi di gurun pasir. Nyaring tapi hanya sekelebat. Menggelegar tapi tidak berbekas. Banyak, tapi bagi bagai buih di lautan.[]

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *