Intuisi melahirkan pengalaman. Akal melahirkan konsepsi. Sedangkan indera melahirkan persepsi. Apakah tidak menutup kemungkinan bahwa apa yang disebut sebagai intuisi sebenarnya adalah puncak-puncak akal dan indera yang telah terlatih hingga tahap tertingginya? Jika benar demikian, maka intuisi tidak lebih daripada akal dan indera jua. Jika demikian, maka sesungguhnya yang ada adalah akal dan indera. Intuisi tidak ada.
Dengan berpegang kepada pemahaman bahwa intuisi adalah potensi manusiawi yang berdiri sendiri secara merdeka dari akal dan indera, maka seharusnya kemungkinan yang disebutkan di atas tadi tidak benar. Namun pemahaman seperti itulah yang ditawarkan oleh beberapa kalangan. Sebenarnya itu adalah kritik terhadap institusi intuisi.
Pada contoh kasus kesadaran berketuhanan, itu bukanlah hasil dari dari puncak-puncak akal dan indera yang terlatih. Berkesadaran berketuhanan bukan hasil dari olah akal dan olah indera. Ia hasil dari persepsi langsung dan ada begitu saja. Begitu saja, maksudnya, berarti tanpa intervensi akal dan indera. Jika memang hasil puncak olah akal dan olah indera, maka seharusnya semakin berakal dan berindera, maka semakin bertuhan, tetapi tidak juga.
Kesadaran berketuhananlah yang membuat segala kesadaran lain menjadi hadir seperti bulan yang tampak akibat mendapatkan sinar matahari. Itu bukan berarti bulan tidak memiliki eksistensinya sendiri, tetapi bulan menjadi terpahami karena itu. Kesadaran berketuhananlah yang membuat akal dan indera menjadi menampakkan fungsinya. Bukan berarti akal dan indera tidak ada.
Kritik lain tentang apa itu intuisi adalah bahwa intuisi adalah hasil dari otak yang kacau sehingga otak yang normal sesungguhnya bekerja biasa saja sebagaimana umumnya manusia dan abnormalitaslah yang membuatnya terlihat memiliki intuisi. Lagi-lagi, intuisi hendak dienyahkan dengan cara berbeda.
Menyebut intuisi sebagai sebentuk abnormalitas sesungguhnya adalah pengakuan terhadap eksistensi intuisi itu sendiri karena itu sama saja mengatakan bahwa kesadaran intuisi itu ada; hanya saja abnormal. Normalitas selalu berkaitan dengan jumlah, bukan kebenaran atau kekeliruan. Selalu ada kemungkinan bahwa yang berjumlah tidak banyak itulah yang benar dan yang banyak justru keliru. Mereka yang tergolong jenius tidak disebut normal. Demikian pula mereka yang berada di bawah rata-rata juga tidak disebut normal. Apakah dengan demikian menjadi jenius atau menjadi di bawah rata-rata itu salah? Itu itu hanya nyata, tidak salah.
Seorang nabi tidak jarang disebut abnormal. Al-Qur’an mengisahkan bagaimana seorang nabi disebut gila (majnûn) oleh umatnya. Padahal seorang nabi hanya melihat ada yang tidak beres di dalam kehidupan masyarakatnya. Ada penindasan, ketidakadilan, keterbelakangan, kemiskinan, dan seterusnya. Hasil intuisi sang nabi menawarkan solusi untuk semua itu. Jika semua itu adalah abnormalitas dan kegilaan semata, maka tidak akan pernah ada nabi yang berhasil dalam misinya. Kegilaan dalam hal ini hanyalah kemampuan melihat apa yang oleh orang lain tidak terlihat dan kemampuan memecahkan masalah yang orang lain tidak mampu selesaikan. Karena itu, agama yang dibawa oleh para nabi bukanlah ketololan. Agama adalah inspirasi bagi pemecahan problem kehidupan.
Memang ada kisah tentang nabi yang terbang tinggi hingga menembus petala langit tersemampai. Seperti dalam peristiwa Isra dan Miraj. Katakanlah itu adalah pengalaman langsung sang nabi sebagai bagian dari pengembaraan intuitifnya. Namun, sang nabi tidak berhenti di sana. Sang nabi kembali ke bumi dengan kehendaknya sendiri dan berjumpa dengan problem sosial, ekonomi, dan politik yang sejak semula memang hendak diselesaikannya. Itu adalah tanda bahwa pengalaman spiritual dan intuitif bukanlah semata-mata khayalan tingkat tinggi, tetapi mendarat di panggung kehidupan.
Setelah selesai dengan tuduhan intuisi tidak lebih daripada desakan kenyataan dari luar yang tidak tertanggungkan oleh akal dan indera, tuduhan kepada intuisi dilanjutkan dengan sebagai hasil desakan dari dalam. Desakan hasrat seksual, misalnya, yang tidak terpenuhi. Tentu saja keliru. Agama bahkan menawarkan pengendalian terhadap hasrat seksual, meskipun tidak menghilangkannya sama sekali.
Lebih jauh, agama adalah upaya kontrol terhadap ego untuk sampai kepada realitas tertinggi yaitu kesadaran berketuhanan. Dalam hal ini, agama tidak mengandaikan kesempurnaan. Ego, dalam Islam, hanya untuk dicais, tidak untuk dihilangkan sama sekali karena menghilangkan ego sama sekali berarti tidak ada lagi subjek yang berkesadaran. Lalu, bagaimana kesadaran bisa tanpa subjek yang berkesadaran?
Agama memang menghendaki untuk sampai kepada realitas tertinggi, tetapi tidak dengan jalan kesempurnaan. Justru dengan segala kekurangan sehingga diri benar-benar bisa berhubungan akrab dengan Ketuhanan. Di satu sisi ada yang butuh dan di sisi lain ada pemenuh segala kebutuhan. Di satu sisi ada yang serba berkekurangan. Di sisi lain ada yang Maha Sempurna. Di satu pihak ada pendosa dan di lain pihak ada Maha Pengampun.
Tujuan dari kesadaran berketuhanan dan hubungan akrab dengan Ketuhanan di dalam agama adalah agar manusia bisa mengenali siapa dirinya sendiri. Hal itu ibarat dengan mencerap cahaya matahari, maka rembulan bisa melihat dan mengenali dirinya sendiri. Tanpa mengenali matahari, pada bulan hanya ada kegelapan sehingga bahkan dia sendiri tidak mengetahui siapa dirinya.
Di dalam Islam, ada dua bentuk pemujaan (‘ibâdah). Pertama, ibadah murni seperti yang tercantum di dalam Rukun Islam. Shalat, perumpamaannya, adalah upaya bulan untuk mengakses cahaya matahari. Kedua, ibadah tidak murni, seperti hubungan baik dengan sesama manusia. Akses terhadap cahaya matahari membuat bulan bisa melihat dirinya dan bisa melihat benda-benda langit lain seperti bumi. Sebagaimana bulan bisa memahami dirinya karena adanya cahaya matahari, maka demikian pula bulan bisa memahami bumi dan benda-benda langit lainnya karena adanya cahaya matahari juga. Kesadaran berketuhanan yang lahir dari pandangan seperti itu adalah bahwa tidak satupun yang luput dari cahaya Ketuhanan. Semua menjadi tampak dan bisa dipahami karena adanya cahaya tersebut. Dengan cara seperti itulah bulan memperlakukan semua benda-benda langit. Tidak satupun berada di luar cahaya-Nya dan tidak satupun layak dihina karena perbedaannya, toh, semua menjadi tampak karena adanya cahaya-Nya.[]
Editor: AMN
Mantap…. Renyah dan mudah difahami.