Esai ringkas ini mencoba melihat hubungan hermeneutik, khususnya hermeneutik Ricoeur, dengan tafsir Al-Qur’an. Paul Ricoeur (1913-2005) kerap disebut sebagai filsuf yang menjembatani tradisi filsafat Jerman dan Perancis. Dia mempelajari pemikiran para tokoh filsafat Jerman dan Perancis, lalu mencari titik-titik temu dari dua sumber ini. Berangkat dari beragam pemikiran ini, dia kemudian mengembangkan hermeneutiknya sendiri, yaitu yang dilandasi pemikiran bahwa ada keserentakan antara interpretasi dan refleksi kehidupan, atau antara hermeneutik dan makna hidup.[1]
Keunikan konsep Ricoeur adalah paradigma teks yang berpusat pada konteks dan pembaca. Dia berpendapat bahwa teks itu otonom, tidak terikat pada horizon pengarang, situasi asli dan pembaca asli.[2] Berbeda dengan Gadamer dan pendahulunya yang tidak memakai refleksi dalam interpretasi, bagi Ricoeur, refleksi itu harus ada dalam interpretasi. Baginya, hermeneutik adalah usaha menyingkap intensi tersembunyi di balik teks, atau memahami adalah menyingkap. Teks yang diperhatikannya adalah teks sakral dan simbolisme dalam mitos.[3]
Dalam bukunya, Philosophie de la Volonte, dia mengulas pandangan antropologisnya bahwa kehidupan adalah dialektika antara kesengajaan (volonte) dan ketaksengajaan (involonte), karena itu selalu ada “ketegangan” antara kebebasan dan keniscayaan. Konsekuensinya, teks dikaitkan dengan makna hidup, melalui refleksi. Jadi refleksi adalah untuk memahami makna hidup kita atau eksistensi kita. Tampak di sini, Ricoeur menempatkan teks sebagai milik mutlak seorang pembaca untuk dipahami sesuai keinginannya.[4]
Ricoeur punya sebuah slogan, le symbole donne a penser (simbol menimbulkan pemikiran). Baginya simbol itu tidak hanya mengundang interpretasi, tapi juga refleksi filosofis. Lebih jauh, teks tidak hanya punya makna di dalam dirinya, tapi juga mengacu kepada makna di luar dirinya, yaitu pada kehidupan kita. Jadi tugas hermeneutik tidak hanya memahami simbol dalam mitos dan makna dalam teks, tetapi juga memahami kehidupan.
Filsuf ini dipengaruhi oleh fenomenologi Husserl, yaitu untuk memahami teks, seorang penafsir harus menangkap “makna intensional” teks. Patut dicatat, ini bukan intensi penulis, tapi intensi yang tersembunyi dalam teks. Karena Ricoeur menempuh jalan melingkar, teks dilihat melalui fenomenologi dan eksistensialisme untuk mencapai makna filosofis teks. Karena itulah maka langkah memahami dia ini disebut “hermeneutik fenomenologis” melalui jalan lingkaran hermeneutik Ricoeur.[5]
Yang menarik, Ricoeur mendekati teks dengan sebuah iman. Menurutnya, seorang penafsir harus memahami supaya dapat percaya, tapi dia harus percaya supaya dapat memahami. Dan iman adalah presuposisi dalam proses memahami ini. Tampak di sini kalau Ricoeur mengikuti Bultmann yang menggunakan iman sebagai pijakan awal atau presuposisi saat membaca teks sakral, karena mereka percaya bahwa iman menghasilkan pemahaman.
Proses ini bisa digambarkan juga sebagai sebagai dua kenaifan yang saling terhubung. Kenaifan pertama adalah saat pembaca atau penafsir melihat simbol, maka dia percaya secara langsung tanpa nalar. Artinya dia harus percaya supaya bisa memahami. Sedangkan kenaifan kedua dimungkinkan oleh mediasi logos (diskursus), yaitu hermeneutik. Dalam proses ini, si penafsir harus memahami supaya dapat percaya. Tapi kepercayaan yang timbul dari memahami ini tidak lagi sama dengan kepercayaan yang terkandung dalam teks yang didapat tanpa media nalar (kenaifan pertama).
Jadi lingkaran hermeneutik Ricoeur adalah hubungan sirkular (hermeneutical circle) antara percaya dan memahami. Menurutnya, pemahaman itu mengawali, mengiringi, mengakhiri dan menyelimuti penjelasan. Hasilnya, penjelasan mengembangkan pemahaman menjadi analitis.[6] Lingkaran ini terdiri dari dua hal: pertama kita perlu percaya supaya memahami. Artinya iman adalah presuposisi pemahaman. Kedua, kita memahami supaya percaya, artinya interpretasi membantu orang modern untuk beriman. Dengan kata lain, kenaifan kedua adalah cara percaya orang modern saat berhadapan dengan simbol. Yaitu ketika simbol diinterpretasikan secara kritis dan direfleksikan untuk kehidupan. Bisa disimpulkan bahwa makna yang terkandung pada simbol dan teks tidak mengacu pada simbol dan teks itu sendiri, tapi terhubung dengan konteks makna yang lebih luas, yang berciri eksistensial, yaitu makna hidup. Simbol bukan hanya objek interpretasi, melainkan objek refleksi filosofis. [7]
Pertanyaan penting adalah apakah hermeneutik Ricoeur ini bisa dipakai untuk menafsirkan teks Al-Qur’an? Jika melihat bagaimana Ricoeur mementingkan keimanan saat memahami, maka hermeneutiknya punya peluang diterima oleh umat Islam dalam mengkaji Al-Qur’an. Namun, saat ini ada dua pendapat yang muncul dari umat, yaitu yang menerima hermeneutik sebagai alat tafsir baru dan yang menentang penggunaannya dalam memahami ayat-ayat.
Kalangan yang mendukung hermeneutik antara lain berargumen bahwa hermeneutik yang berpegang pada pluralisme pemahaman sebenarnya sudah muncul sedikit demi sedikit di Ulumul Qur’an klasik. Buktinya antara lain ada kajian teks dari sudut kontekstual, seperti asbabun nuzul dan naskh mansukh.[8] Selain itu, munculnya keragaman komentar-komentar tentang Al-Qur’an melalui metode ilmu tafsir, serta adanya berbagai kategori tafsir yang diterima oleh para mufasir. Tokoh yang memakai hermeneutik dalam menafsir Al-Qur’an misalnya Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Fazlurrahman, Arkoun dan Abu Zayd.[9]
Namun, melakukan penafsiran dengan kesadaran kepada konteks saja tidak cukup, karena hal itu masih melakukan reproduksi makna lama ke masa kini. Pertanyaan penting adalah bagaimana teks produksi masa lalu bisa dipahami dan bermanfaat buat masa kini. Pertanyaan para pendukung hermeneutik Al-Qur’an ini mungkin bisa dijawab oleh hermeneutik Ricoeur yang memang ingin memproduksi makna dari teks lama dengan merefleksi kehidupan saat ini. Jadi hermeneutik itu peduli dengan teks, konteks dan kontekstualisasi teks sakral sehingga bisa menjadi salah satu alat tafsir baru dalam khazanah Ulumul Qur’an dan ilmu tafsir.
Di lain pihak, banyak pula penentang hermeneutik saat dibawa ke ranah tafsir Al-Qur’an. Argumen mereka antara lain, sifat hermeneutik adalah antroposentris, seperti yang diperlihatkan oleh Ricoeur, padahal dalam memahami ayat, yang menjadi pusat adalah Tuhan, bukan manusia. Selain itu, hermeneutik berasal dari tradisi Kristen (Ricoeur sendiri lahir dari keluarga Kristen yang taat) sehingga dianggap tidak cocok untuk dipakai dalam Islam. Alasan lain adalah Islam sudah punya Ulumul Qur’an dan ilmu tafsir Al-Qur’an yang kuat, sehingga tidak perlu mengambil alat baru dari luar. [10]
Lalu, pandangan pihak yang mana yang paling tepat? Hermeneutik Ricoeur dan hermeneutik yang diusung filsuf lain adalah sebuah tawaran baru yang pantas dipelajari lebih dalam, sebelum diterima atau ditolak.[11] Paling tidak ada tiga kemungkinan setelah hermeneutik dipelajari dengan lengkap oleh umat Islam, yaitu: ditolak sebagai bagian dari alat tafsir, diterima sebagai pengayaan cara menafsirkan teks, atau dicari titik temu dengan ilmu tafsir yang sudah ada.
DAFTAR PUSTAKA
Faiz, Fahruddin. Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial. Yogyakarta: Kalimedia, 2015.
Fithri, Widia. Mau Kemana Minangkabau? Analisis Hermeneutika atas Perdebatan Islam dan Adat Minangkabau. Yogyakarta: Gre Publishing, 2013.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Supena, Ilyas. Hermeneutika Al-Qur’an: Dalam Pandangan Fazlur Rahman. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014. Susanto, Edi. Studi Hermeneutika: Kajian Pengantar. Depok: Kencana, 2016.
[1] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: Kanisius, 2015, hal. 237.
[2] Widia Fithri, Mau Kemana Minangkabau? Analisis Hermeneutika atas Perdebatan Islam dan Adat Minangkabau, Yogyakarta: Gre Publishing, 2013, hal. 44.
[3] Ilyas Supena, Hermeneutika Al-Qur’an: Dalam Pandangan Fazlur Rahman, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014, hal. 9.
[4] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial, Yogyakarta: Kalimedia, 2015, hal. 11.
[5] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, hal. 245.
[6] Edi Susanto, Studi Hermeneutika: Kajian Pengantar, Depok: Kencana. 2016, hal. 62.
[7] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, hal. 270.
[8] Ilyas Supena, Hermeneutika Al-Qur’an: Dalam Pandangan Fazlur Rahman, hal. 40.
[9] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial, hal. 17.
[10] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial, hal. 34.
[11] Ilyas Supena. Hermeneutika Al-Qur’an: Dalam Pandangan Fazlur Rahman, hal. 9.