Hermeneutika
Secara harfiah, hermeneutika artinya tafsir. Secara etimologis, istilah hermeneutika dari bahasa Yunani hermeneuin yang bermakna menafsirkan. Istilah ini merujuk kepada seorang tokoh mitologis dalam mitologi Yunani yang dikenal dengan nama Hermes (Mercurius).[1]
Hermeneutika bukan sekedar tafsir, melainkan satu “metode tafsir” tersendiri atau satu filsafat tentang penafsiran, yang bisa sangat berbeda dengan metode tafsir Al-Qur’an. Dituliskan dalam sebuah buku dan banyak menjadi rujukan di kalangan akademisi IAIN bahwa disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab, semua karya yang mendapatkan inspirasi Ilahi seperti Al-Qur’an, kitab Taurat, kitab-kitab Veda, dan Upanishad supaya dapat dimengerti memelukan interpretasi atau hermeneutik.[2]
Dampak Hermeneutika Terhadap Al-Quran
Adian Husaini mengemukakan terdapat tiga persoalan besar apabila hermeneutika diterapkan dalam tafsir Al-Qur’an. (1) Hermeneutika menghendaki sikap yang kritis dan bahkan cenderung curiga. Sebuah teks bagi seorang hermeneut tidak bisa lepas dari kepentingan-kepentingan tertentu, baik dari si pembuat teks maupun budaya masyarakat pada saat teks itu dilahirkan. (2) Hermeneutika cenderung memandang teks sebagai produk budaya (manusia), dan abai terhadap hal-hal yang sifatnya transenden (ilahiyyah). (3) Aliran hermeneutika sangat plural, karenanya kebenaran tafsir ini menjadi sangat relatif, yang pada gilirannya menjadi repot untuk diterapkan.[3]
Dalam bukunya yang berjudul “Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an” Adian Husaini juga menyebutkan dampak-dampak dari hermeneutika terhadap Al-Qur’an.
- Relativisme Tafsir
Para pengaplikasi hermeneutika menganut paham relativisme tafsir. Tidak ada tafsir yang tetap. Semua tafsir dipandang sebagai produk akal manusia yang relatif, kontekstual, temporal, dan personal. Berangkat dari paham ini, maka tidak adalagi kebenaran yang bisa diterima oleh semua pihak. Semua manusia bisa salah.
Paham relativisme sangat berbahaya. Berbahaya karena (1) menghilangkan keyakinan akan kebenaran dan finalitas Islam, (2) menghancurkan bangunan ilmu pengetahuan Islam yang lahir dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang sudah teruji selama ratusan tahun. Disatu sisi ilmu hermeneutika hingga kini masih merupakan upaya coba-coba beberapa ilmuan kontemporer yang belum membuahkan pemikiran Islam yang utuh dan komprehensif, dan (3) menempatkan Islam sebagai agama sejarah yang selalu berubah mengikuti zaman.[4] Oleh karena itu, penggunaan hermeneutika sebagai satu metode tafsir Al-Qur’an bisa sangat berbahaya, karena berpotensi besar membubarkan ajaran Islam yang sudah final.
- Curiga dan Mencerca Ulama Islam
Para pendukung metode ini juga tidak segan-segan memberi tuduhan yang membabi buta terhadap banyak ulama Islam yang terkemuka. Salah satu contoh sebut saja seperti Imam Syafi’i, yang berjasa merumuskan metodologi keilmuan Islam, yang tidak dikehendaki oleh para pendukung hermeneutika. Para mufassir, muhadditsin, dan para ulama ushul fiqih, telah memiliki metode yang kokoh dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Imam Syafi’i sendiri selain dikenal sebagai ulama ushul fiqih yang brilian juga dikenal sebagai mufassir. Beliau dijadikan panutan oleh para ulama dan umat islam sedunia. Ketokohan dan keilmuan beliau diakui dan tidak diragukan lagi. Namun dikalangan pendukung hermeneutika Imam Syafi’i dijadikan bahan kritikan dan bahan pelecehan.[5]
- Dekonstruksi Konsep Wahyu
Dalam bingkai hermeneutika, Al-Qur’an jelas tidak mungkin dipandang sebagai wahyu tuhan lafad dan makna sebagaimana yang dipahami oleh mayoritas umat islam, tetapi ia merupakan produk budaya atau setidaknya wahyu tuhan yang dipengaruhi oleh budaya arab, yakni budaya dimana tempat wahyu tersebut diturunkan. Dan harus diakui bahwa hermeneutika bukan produk muslim namun berasal dari tradisi Nasrani.[6]
Cara Menafsirkan Al-Quran
- Perbedaan Antara Tafsir dan Takwil
Tafsir berasal dari akar kata fas-sa-ra yang secara bahasa bermakna keterangan dan penjelasan yang menerangkan maksud dari suatu lafadz. Sedangkan ta’wil berasal dari akar kata aw-wa-la yang dapat diartikan sebagai penjelasan dan penafsiran yang menjelaskan dari pada mana sebenarnya. Atas dasar makna diataslah maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan tafsir dan ta’wil adalah bahwa tafsir menerangkan maksud yang ada pada suatu lafadz, sedangkan ta’wil menerangkan maksud yang ada pada makna yang tidak ditunjukkan secara zhahir, namun dikandung oleh lafadz tersebut dengan dalil lain yang mendukungnya.
- Cara Menafsirkan Al-Quran
Cara menafsirkan Al-Qur’an haruslah sesuai dengan cara yang sesuai dengan Al-Qur’an itu sendiri secara tekstual, dan bukan kontekstual (sesuai kondisi dan situasi). Menurut Abdurrahman Al-Baghdadi, setidaknya ada beberapa pegangan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Ringkasnya sebagai berikut.[7]
- Tafsir Al-Qur’an merupakan penjelasan makna kata dan makna kalimat. Oleh karena itu dibutuhkan ilmu yang mengetahui hakikat ilmu tafsir baik secara umum maupun khusus.
- Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab. Oleh karena itu, ilmu bahasa sangat diperlukan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
- Allah menurunkan risalahnya melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW yang kita kenal. Nabi adalah manusia agung yang setiap semua yang melekat pada diri nabi menjadi panutan. Maka pegangan berikutnya adalah menguasai ilmu hadits.
- Bahasa merupakan hal yang penting dalam penafsiran Al-Qur’an. Selain itu, ilmu berargumen juga tak kalah penting. Ilmu kalam juga sangat perlu dalam hal ini.
- Memahami kisah-kisah terdahulu dalam Al-Qur’an.
- Menguasai ilmu-ilmu kontemporer kekinian yang terkait dengan perkembangan keilmuan saat ini.
- Memiliki keterampilan bertijtihad dan nalar yang tinggi.
- Sumber-Sumber Tafsir
Setidaknya menurut Adian Husaini dan Al-Baghdadi ada tiga sumber-sumber tafsir, yaitu :[8]
- Tafsir Ma’tsur. Tafsir ini biasanya mengutip hadits-hadits muttashil dan maushul yang sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW atau mengutip hadits-hadits mauquf yang merupakan perkataan sahabat atau tabi’in.
- Salah satu sumber tafsir adalah ar-ra’yu (pendapat), yaitu yang lazim disebut dengan ijtihad dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dapat dikatakan bahwa tafsir berdasarkan ar-ra’yu ini merupakan pemahaman kalimat-kalimat Al-Qur’an dalam batas-batas makna yang menjadi kandungannya.
- Cerita-cerita Israiliyat. Kata Israiliyat ini bermakna cerita-cerita yang yang kerap kali dibawa oleh orang Yahudi yang masuk islam.[9]
Daftar Pustaka
Amrullah, Abdul Malik Karim. Tafsir Al-Azhar. Juz I.Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005.
Husaini, Adian dan Abdurrahman Al-Baghdadi. Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani, 2007.
Husaini, Adian. Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi. Jakarta: Gema Insani, 2006.
Muslim, Ahmad Shobiri. “Problematika Hermeneutika Sebagai Metode Tafsir Al-Qur’an,” Jurnal Empirisme, Vol. 24 No. 1, Tahun 2015. Sumaryono, E. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
[1]Adian Husaini dan Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2007, hal. 7.
[2] E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1999, hal. 28.
[3] Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: Gema Insani, 2006, hal. 153.
[4]Adian Husaini dan Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, hal. 20.
[5] Adian Husaini dan Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, hal. 28.
[6] Ahmad Shobiri Muslim, “Problematika Hermeneutika Sebagai Metode Tafsir Al-Qur’an, ” dalam Jurnal Empirisme, Vol. 24 No. 1, 2015, hal. 47.
[7] Adian Husaini dan Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, hal. 49.
[8] Adian Husaini dan Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, hal. 75.
[9] Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Juz I,Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005.