Gadamer: Aplikasi, pengalaman hermeneutik, kesepahaman dan bildung

harakah.id

Konsep peleburan horizon-horizon memiliki implikasi penting untuk problem aplikasi. Mengacu pada karya klasik J.J. Rambach, Institutiones hermeneuticae sacrae (1723), Gadamer membagi hermeneutika menjadi tiga bagian, yaitu: pemahaman (subtilitas intellegendi), eksplikasi (subtilitas explicandi) dan aplikasi (subtilitas applicandi). Schleiermacher dan Dilthey meletakkan aplikasi di tempat tersendiri, sehingga aplikasi dianggap sebagai seni presentasi.[1] Gadamer memiliki pendirian berbeda. Menurutnya aplikasi adalah bagian integral pemahaman. Pandangan ini konsisten dengan konsepnya tentang peleburan horizon-horizon. Aplikasi tak lain daripada “sebuah proses integral di dalam proyeksi makna teks di dalam horizon yang membentang dari sang penafsir” . Teori Hans-Georg Gadamer dapat diklasifikasikan ke dalam empat konsep besar yaitu, Pertama teori kesadaran keterpengaruhan oleh sejarah (Affective History), Kedua,  teori prapemahaman, Ketiga teori penggabungan/asimilasi horizon, Keempat,teori penerapan atau aplikasi.[2]

              Dalam memahami konsep aplikasi ini Gadamer menghadirkan  contoh yaitu aplikasi dalam teologi, hukum dan sastra. Pertama, contoh dalam teologi. Seorang penyampai khotbah mengawali dengan memahami Alkitab dan menafsirkannya secara teologis, setelah itu mengaplikasikan penafsirannya tersebut dengan kontek kekinian. Di dalam proses itu tampak seolah-olah aplikasi terpisah dari pemahaman dan interpretasi. Dua hal terakhir itu dianggap sebagai hal universal yang kemudian diaplikasikan pada hal yang konkret. Namun Gadamer berpendapat bahwa pemahaman, interpretasi dan aplikasi adalah “satu proses yang terpadu”. Mengaplikasikan teks Alkitab adalah memahaminya, dan memahaminya juga selalu adalah mengaplikasikannya. Kotbah bukanlah sekadar suplemen pada teks Alkitab yang diinterpretasi, melainkan bagian proses memahami itu sendiri.

            Begitupun dalam bidang hukum. Hakim akan memvonis sebuah perkara didahului dengan pengetahuannya bagaimana hukum tersebut diaplikasikan dalam sebuah kasus. Ia perlu tahu apa kiranya pikiran si pembuat hukum bila hukum itu diaplikasikan dalam situasi konkret saat kini. Situasi kekinian itu tentu tak diketahui si pembuat hukum, tetapi aplikasi hakim itulah yang membuat makna hukum itu terwujud. Undang-undang yang mengatur komunikasi digital, misalnya, baru dimengerti maknanya ketika diaplikasikan pada kasus konkret oleh seorang hakim. Di sini kita juga menemukan bahwa aplikasi adalah pemahaman. “Sebuah hukum,” demikian Gadamer, “tidak ada untuk dipahami secara historis, melainkan untuk dikonkretkan dalam kesahihan legalnya dengan diinterpretasi. Begitu juga, Injil tidak ada untuk dipahami sebagai dokumen historis belaka, melainkan diperlakukan sedemikian rupa sehingga menghasilkan efeknya yang menyelamatkan.

Pengalaman Hermeneutis, Kesepamahan dan Bildung

            Pengalaman dialog dengan yang lain dalam keberlainannya adalah bagian dari hermeneutik itu sendiri, karena hermeneutik bukan sekedar metode memahami saja, itulah konsep gadamer kaitannya dengan konsep gadamerian tentang memahami dan bildung. Gadamer membahas pengalaman dialog sebagai hubungan aku-engkau, didalam dialog kita tidak sekedar mempelajari apa yang kita jumpai, melainkan juga mempelajari pengalaman perjumpaan itu sendiri, pengalaman inilah kemudian oleh gadamer disebut konsep “pengalaman hermeneutis”. Perhatian pada tradisi itulah letak konsep ini, namun tradisi bukanlah sekedar sebuah proses bahwa pengalaman mengajari kita untuk mengetahui atau untuk bertindak, tradisi adalah bahasa untuk mengungkapkan.

            Hubungan kita dengan tradisi menurut Gadamer tidak bisa disamakan dengan hubungan kita dengan objek-objek. Masa silam hadir sebagai sebagai penafsir membiarkannya berbicara sebagai suatu engkau yang berhubungan dengan kita. Komentar Palmer tentang tiga macam hubungan aku-engkau dalam hermeneutic Gadamer, yaitu pertama  Engkau sebagai sebuah objek dalam sebuah medan, kedua Engkau sebagai sebuah proyeksi reflektif dan ketiga Engkau sebagai tradisi yang bicara.[3]

Tradisi yang dimaksudkan Gadamer tentang suatu Engkau, kita harus mengerti apa yang dimaksud olehnya dengan jenis hubungan ketiga yang didalamnya tradisi sebagai suatu Engkau dibiarkan berbicara bukan seperti yang dilakukan dalam historisme melainkan fenomenologi. Tradisi dan masa silam adalah yang lain yang berhubungan dengan kita sebagai penafsir, dan hanya dengan keterbukaan kita dapat memahami yang lain ini dalam keberlainannya.      

Memahami dalam pemahaman Gadamer itu saling memahami yang juga memiliki arti kesepahaman. Didalam perjumpaan si penafsir dengan tradisi, memahami terjadi bila terjadi peleburan horizon penafsir dan horizon tradisi itu. Memahami suatu Engkau dalam keberlainan merupakan tugas tak kunjung selesai dalam hermeneutik Gadamer dikarenakan manusia sebagai makhluk linguistis adalah misteri. Pengalaman hermeneutis merupakan sebuah tegangan antara keakraban dan keasingan yang berlangsung diantara aku dan Engkau.

Konsep berikutnya yang terkait  dengan pengalaman hermeneutis yaitu bildung. Jika dimaknai dengan sederhana, bildung yaitu sebagai hasil proses formatif dan transformatif yang diperoleh lewat belajar. Hasil dari proses seperti itu tentu tidak sekedar kognitif intelektual melainkan holistis, yaitu menyangkut seluru diri manusia. Hermeneutik Gadamer ttidak mengejar pengumpulan fakta atau informasi tentang tradisi, yang menjadi perhatiannya adalah apa yang terbangun dari upaya pencarian pengetahuan itu. Seorang penafsir yang berpengalaman dalam berhubungan dengan tradisi-tradisi, tentu lewat ketekunan intelektualnya adalah seorang pribadi yang telah mengalami formasi dan transformasi dalam dirinya sehingga pribadi seperti ini tidak lagi cenderung memaksakan sikap-sikap objektif dan reflektif terhadap pokok bahasannya melainkan bersikap terbuka yaitu membiarkan yang lain dalam keberlainannya berbicara. Bildung dapat difahami juga sebagai Pemeliharaan bakat,  bildung adalah pengembangan terhadap sesuatu yang sudah ada, sehingga praktik dan pemeliharannnya merupakan sarana mencapai tujuan, dengan target kemampuan linguistic seseorang, dan menjadi dirinya sendiri (otonom). Tidak ada yang hilang dalam bildung hanya merawat, memelihara,  dan sebagai unsur penting dalam bidang humaniora.[4]

DAFTAR PUSTAKA

Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger  and Gadamer Evanston: Northwestern University Press, 1969, hal 187.

Syamsuddin, Sahiron.  Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, Yogyakarta. Pesantren Nawesea Press 2017, hal 76-83

Hardiman,F  Budi Seni Memahami: Hermeneutik dari Schhleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: PT.Kanisius,  2015 hal.191

Apollo, Daito. Pencarian Ilmu Melalui Pendekatan Ontologi Epistemologi  Aksiologi,  Jakarta: Mitra Wacana 2011.

Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969)

Hardiman, F. budi  seni memahami. Yogyakarta: kanisius2018

Apollo, Daito. Pencarian Ilmu Melalui Pendekatan Ontologi Epistemologi, Aksiologi, Jakarta.2011, Mitra Wacana. Syamsuddin, Sahiron  Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, hal 76-83. Pesantren Nawesea Press 2017


[1] Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer Evanston: Northwestern University Press, 1969, hal 187.

[2] Syamsuddin, Sahiron.  Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, Yogyakarta. Pesantren Nawesea Press 2017, hal 76-83

[3] Hardiman,F  Budi Seni Memahami: Hermeneutik dari Schhleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: PT.Kanisius,  2015 hal.191

[4] Apollo, Daito. Pencarian Ilmu Melalui Pendekatan Ontologi Epistemologi  Aksiologi,  Jakarta: Mitra Wacana 2011.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *