Wilhelm Christian Ludwig Dilthey (1833-1911) dibesarkan di dalam keluarga Protestan Jerman yang terpelajar. Dia dilahirkan di kota Biebrich di tepi sungai Rhein dekat kota Mainz pada 19 November 1833. Ayahnya merupakan seorang pendeta di Nassau mendorongnya untuk studi teologi. Karena itu setelah lulus gimnasium di Wiesbaden, Dilthey mendaftarkan diri di Universitas Heidelberg untuk belajar teologi. Kalaupun dia lulus teologi pada 1856, hal itu dilakukan demi menyenangkan hati ayahnya. Pada waktu yang bersamaan dia lulus kuliah filsafat di Berlin. Karir akademis Dilthey cemerlang. Setelah meraih gelar doktor pada 1864 dengan disertasi tentang Schleiermacher, dia diundang untuk mengajar di banyak universitas, termasuk di Universitas Berlin.
Dilthey mencoba untuk membedakan antara dua bidang ilmu pengetahuan yaitu Geisteswissenschaften (ilmu kemanusiaan) dan Naturwissenschaften (ilmu alam). Bagi Dilthey dua bidang ini menuntut pendekatan dan metode yang berbeda, karena keduanya memiliki objek pembahasan yang berbeda. Ilmu kealaman berurusan dengan benda-benda fisik, sementara ilmu kemanusiaan berurusan dengan hidup manusia.[1] Dilthey banyak menulis buku dan mempunyai banyak karya yaitu, Das Leben Schleiermachers (Kehidupan Schleiermacher), Einlietung in Die Geisteswissenschaften (Pengantar Studi Ilmu-ilmu Kebudayaan), Ide en Uber Eine Beschreibende und Zergliedernde Psychologi (Ide-ide tentang Psikologi Deskriptif dan Analitik). Dan pada akhirnya, Dilthey tutup usia pada 1 Oktober 1911 di wilayah Tirol Selatan yang sekarang adalah bagian Italia.[2]
Metode Memahami Dilthey
Cara Dilthey memahami yang lain itu tidaklah mudah untuk kita terapkan dalam kehidupan ini. Namun, kalau kita teliti dan tepat mengikuti setiap metode yang Dilthey berikan ini maka kita akan memperoleh pemahaman yang mendalam tentang orang lain. Metode Dilthey ini dimulai dengan mengetahui konteks sejarah dari yang lain dan menggeluti tentang erlebnis, ausdruck, dan verstehen. Metode yang disajikan oleh Dilthey ini merupakan cara yang tepat untuk memahami yang lain. Memahami yang lain itu membutuhkan proses. Dilthey menaruh perhatian pada sejarah. Sejarah mempengaruhi tata batin seseorang dalam kehidupannya. Cara sejarah mempengaruhi yakni dengan menghayati apa yang telah dialami. Apa yang dihayati itu bukanlah menjadi penghayatan lagi apabila sudah diungkapkan. Dalam pemikirannya itu Dilthey membedakan antara Naturwissenschaften dan Geisteswissenschaften.[3]
Sejarah tidak bisa dijadikan metode ilmiah. Sejarah selalu mengalami perubahan, sedangkan metode ilmiah sudah memiliki hukum ketetapan. Akan tetapi Dilthey mencoba untuk membuat penelitian sejarah ini masuk dalam ranah ilmiah. Dilthey berusaha untuk menjelaskan dengan menggunakan pemahaman erlebnis, ausdruck, verstehen. Ketiga hal tersebut memiliki relasi dasar yang saling berkaitan satu dengan yang lain sehingga membentuk suatu pemahaman akan makna yang mendalam.[4]
Erlebnis berasal dari bahasa Jerman yang berarti pengalaman yang dimiliki seseorang dan dirasakan sebagai sesuatu yang bermakna. Pengalaman merupakan suatu peristiwa yang telah terjadi dalam kehidupan sebelumnya. Dilthey memiliki pengertian lain tentang pengalaman yakni pengalaman hidup, di mana seseorang bersentuhan langsung dengan realitas. Di mana manusia tidak akan bisa lepas dari pengalaman hidupnya sendiri melainkan akan selalu melekat dalam hidupnya.
Ausdruck berasal dari bahasa Jerman yang dapat diartikan sebagai “ungkapan” atau “ekspresi”. Ungkapan atau Ausdruck menurut Dilthey adalah segala sesuatu yang merefleksikan produk kehidupan dalam manusia.[5] Segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia merupakan ungkapan kehidupan atau ekspresi hidup. Arti ungkapan dalam bahasa Indonesia ini terlalu sempit maknanya sebab orang terkadang berpikir tentang kata ungkapan itu hanya merupakan ungkapan perasaan. Ketika seseorang memiliki perasaan cinta maka ia akan mengungkapkan perasaan itu. Perasaan cinta yang diungkapkan merupakan sebuah ekspresi yang dimiliki oleh seseorang itu. Hal ini tidak salah dalam arti ungkapan namun akan menjadi sempit maknanya jika dihubungkan dengan ekpresi hidup menurut Dilthey. Ekspresi hidup menurut Dilthey itu lebih luas dari pada sekedar ungkapan perasaan semata.
Verstehen dapat diartikan sebagai ‘memahami’.Verstehen adalah proses pemahaman yang tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga mencakup kompleksitas seorang manusia.[6] Pengamat yang menggunakan metode Verstehen didorong untuk mengetahui “fakta mental” dari apa yang terlihat. Senyuman tidak hanya ekspresi pribadi melainkan secara bersamaan bentukdari kebiasaan atau standar moral suatu masyarakat.[7]
Memahami (verstehen) adalah mengetahui yang dialami oleh orang lain, lewat suatu tiruan (nachbild) pengalamannya.[8] Pengetahuan akan orang lain itu tidak lepas dari pengetahuan akan diri sendiri karena kodrat semua manusia itu sama. Dengan kodrat yang sama ini menghantarkan kita untuk dapat mengetahui orang lain. Proses pemahaman tidak hanya pada proses empati saja melainkan pada proses interpretasi. Jika orang hanya dengan berempati saja dalam memahami hidup batiniah orang lain maka pemahaman akan orang lain itu kurang mendalam. Dengan orang menggunakan cara interpretasi maka orang akan semakin dalam mengenal batin orang lain. Ada dua pemahaman tentang orang lain yakni pemahaman lahiriah dan batiniah. Pemahaman lahiriah seperti yang dilakukan oleh seorang dokter. Dokter memeriksa badan kita yang sakit. Akan tetapi dokter itu belum mengetahui pribadinya. Disinilah menjadi titik tolak pemikiran Dilthey tentang manusia itu yakni pemahaman akan pribadinya.
Kontribusi Dilthey bagi perkembangan ilmu hermeneutika yakni membuka wawasan lebih luas bagi hermeneutika modern dalam konteks ilmu-ilmu sosial kemanusiaan. Adapun Dilthey tidak hanya memahami manusia sekedar pemahaman yang dangkal melainkan pemahaman yang sungguh mendalam. Memahami dunia batiniah menjadi sumbangan untuk hermeneutikanya. Sumbangan pemikiran Dilthey bagi bangsa Indonesia yakni tentang memahami pluralitas yang semakin mendalam. Pemahaman itu dilakukan dengan memahami yang lain sebagai bagian dari diri sendiri.
Daftar Pustaka
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Mulyono, Edi, et al. Belajar Hermeneutik, Yogyakarta : Diva Press 2012
Palmer, Richard E. Hermeneutics: Interpretation in Scheilermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer. Evanston: Northwestern University Press, 1996.
Poespoprodjo, W. Hermeneutika. Bandung: CV Pustaka Setia, 2004. Qomaruzzaman, Bambang. Hermeneutika Untuk Teologi. Bandung: Pustaka Aura Semesta, 2020.
[1] Edi Mulyono, et al, Belajar Hermeneutika, Yogjakarta: Diva Press, 2012, hlm. 28.
[2] F.Budi Hardiman, Seni Memahami:Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: Kanisius, 2015, hlm. 9-10.
[3] Richard E Palmer, Hermeneutics: Interpretation in Scheilermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer, Evanston: Northwestern University Press, 1996, hlm. 20.
[4] Richard E Palmer, Hermeneutics: Interpretation in Scheilermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer, hlm. 22.
[5] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, hlm. 85.
[6] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, hlm. 89.
[7] Bambang Qomaruzzaman, Hermeneutika Untuk Teologi, Bandung: Pustaka Aura Semesta,2020, hlm. 92.
[8] W. Poespoprodjo, Hermeneutika, Bandung: Pustaka Setia, 2004, hlm. 48.