Paul Ricoeur termasuk tokoh terdepan hermeneutika modern selain Hans Georg Gadamer. Dia dilahirkan di Valance, Prancis Selatan pada tahun 1913. Di Lycee dia mengenal filsafat untuk pertama kalinya melalui R. Dalbiez, seorang filosof aliran pemikiran Thomistis. Pada tahun 1933 Paul Ricoeur memperoleh gelar Licence de Philosophie. Selanjutnya, pada tahun 1935 ia memperoleh Agregation de Philosophie dari Universitas Sorbonne dan gelar Docteur des Letters di tahun 1950. Paul Ricoeur diangkat menjadi profesor filsafat di Universitas Sorbonne pada tahun 1956, tetapi pada tahun 1966 dia memilih menjadi dosen di Nanterre, perluasan dari Universitas Sorbonne. Selain itu, Paul Ricoeur juga menjadi profesor tamu pada Universitas Chicago di tahun 1973. Pada periode ini dia banyak menggeluti masalah filsafat bahasa dan masuk lebih dalam pada dialog tentang hermeneutika. La Metaphore Vive adalah buku karya Paul Ricoeur yang terbit tahun 1975. Dalam buku itu dia banyak menganalisis tentang pengoperasian metafora sehingga menjadi lebih hidup.[1]
Hermeneutika modern yang diasaskan oleh Paul Ricoeur merupakan kelanjutan dari proyeksi Schleiermacher tentang bahasa. Dia menyatakan bahwa bahasa identik dengan pikiran. Anthony Thiselton berpendapat bahwa bahasa pertama adalah the locus of meaning alias wadah makna-makna. Setiap makna yang dijumpai dalam wacana tulis senantiasa memiliki konteks dengan kenyataan di luar bahasa. Pandangan ini merujuk pada hermeneutika Paul Ricoeur. Dalam bukunya The Rule of Metaphore, Paul Ricoeur memandang bahwa pemahaman dan penafsiran bukanlah semata kegiatan yang berkenaan dengan bahasa, melainkan juga sebagai tindakan pemaknaan dan penafsiran. Tidak ada orang membaca sebuah teks dengan maksud memahami isinya yang tidak melakukan penafsiran dan pemaknaan selama proses pembacaan berlangsung.[2]
Sebelum gagasan dan wawasan hermeneutika Ricoeur muncul, beberapa filosof dan hermeneutian sebelumnya telah menawarkan dan menjelaskan ragam dan varian pemikiran hermeneutika mereka. Di antaranya, Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher, seorang profesor di Universitas Berlin, membawa teori hermeneutika ini ke ranah hermeneutika umum, bukan hanya interpretasi kitab suci saja.[3] Dalam pandangannya, sekalipun Bibel adalah wahyu, namun ia ditulis dalam bahasa manusia. Dengan kata lain, Bibel merupakan karya manusia. Ia menawarkan seni interpretasi rekonstruksi historis objektif dan subjektif terhadap suatu pernyataan. Dengan rekonstruksi objektif historis, ia bermaksud membahas sebuah pernyataan dalam hubungan dengan bahasa sebagai keseluruhan. Dengan rekonstruksi subjektif historis, ia bermaksud membahas awal mula sebuah pernyataan masuk dalam pikiran seseorang. Schleiermacher menyatakan bahwa dengan hermeneutika bisa memahami teks sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami dirinya sendiri.
Pada sisi lain, pemikiran Ricoeur juga dipandang berjasa dalam memadukan antara fenomenologi Jerman dan Strukturalisme Perancis. Dari konsep fenomenologi, Paul Ricoeur memadukan antara tendensi metafisis Cartesian dari Husserl dan tendensi eksistensial dari Heidegger, sedangkan dari strukturalisme ia mengadopsi baik aliran linguistik Ferdinand de Saussure (terutama terkait dengan konsep perbedaan langue dan parole) maupun aliran antropologis. Maka dari konstruksi pemikiran Ricoeur secara keseluruhan bisa dikatakan, bahwa Ricoeur mempunyai perspektif kefilsafatan yang beralih dari analisis eksistensial kemudian ke analisis fenomenologis, historis, hermeneutika, hingga pada akhirnya semantik. Meskipun terdapat dugaan bahwa keseluruhan filsafat Ricoeur pada akhirnya terarah pada hermeneutika, terutama pada interpretasi.
Paul Ricoeur menegaskan bahwa setiap kata adalah sebuah simbol. Kata-kata penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi. Tidak hanya kata-kata di dalam karya sastra, tetapi kata-kata dalam bahasa keseharian juga merupakan simbol-simbol. Hal itu menggambarkan makna lain yang sifatnya tidak langsung karena terkadang ada yang berupa bahasa kiasan yang semuanya itu hanya dapat dimengerti melalui simbol-simbol. Simbol dan interpretasi merupakan konsep yang mempunyai pluralitas makna yang terkandung di dalam simbol atau kata-kata dalam bahasa. Setiap interpretasi adalah upaya untuk membongkar makna yang terselubung. Dalam konteks karya sastra, setiap interpretasi ialah usaha membuka lipatan makna yang terkandung di dalam karya sastra. Oleh sebab itu, hermeneutika bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut. Hal itu senada dengan pendapat Paul Ricoeur yang mengatakan bahwa hermeneutika membuka makna yang sesungguhnya sehingga dapat mengurangi keanekaan makna dari simbol-simbol.[4]
Setiap teks memiliki komponen, struktur bahasa, dan semantik yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam upaya interpretasi teks diperlukan proses hermeneutika yang berbeda-beda pula. Namun demikian, menurut Paul Ricoeur prosedur hermeneutikanya secara garis-besar dapat diberikan sebagai berikut[5]: Pertama, teks harus dibaca dengan kesungguhan, menggunakan symphatic imagination (imajinasi yang penuh rasa simpati). Kedua, penakwil mesti terlibat dalam analisis struktural mengenai maksud penyajian teks, menentukan tanda-tanda yang terdapat di dalamnya sebelum dapat menyingkap makna terdalam dan sebelum menentukan rujukan serta konteks dari tanda-tanda signifikan dalam teks. Barulah kemudian penakwil memberikan beberapa pengandaian atau hipotesis. Ketiga, penakwil mesti melihat bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan makna dan gagasan dalam teks itu merupakan pengalaman tentang kenyataan non-bahasa.
Proses penafsiran sebenarnya dicurahkan pada teks-teks kebahasaan dan berpijak pada analisis fenomena kebahasaan teks. Tetapi proses ini bertujuan mengungkap berbagai tingkatan makna batin. Hal ini membimbing kita pada konsepsi Ricoeur tentang pengertian kebahasaan. Ricoeur menolak pemahaman struktural bahasa atas asas bahwa bahasa merupakan sistem tertutup dari berbagai hubungan yang tidak menunjuk pada sesuatu di luarnya. Dalam pandangan Ricoeur, Strukturalisme berakhir pada menjadikan bahasa mendasari suatu alam dengan dirinya, suatu alam yang di dalamnya setiap unit menunjuk pada berbagai unit lain di dalam sistem yang sama sesuai interaksi antara berbagai kontradiksi dan perbedaan yang mendasari sistem. Ringkasnya bahasa tidak dianggap sebagai sari bentuk kehidupannya, tetapi ia menjadi satu sistem yang tegak di atas ketidak butuhan subyektif terhadap berbagai hubungan internal.[6]
Makna bukan sekedar yang terkandung di dalam simbol atau teks itu sendiri, melainkan terhubung dengan konteks makna yang lebih luas yang berciri eksistensial, yaitu makna hidup. Aktivitas memahami bukan sekedar menafsirkan makna itu pada dirinya, melainkan juga memikirkannya atau merefleksikannya dalam hubungannya dengan makna hidup. Dalam arti ini simbol bukan hanya obyek interpretasi, melainkan obyek refleksi filosofis.[7]
DAFTAR PUSTAKA
Armas, Adnin. Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an, Jakarta: GIP, 2005.
Hadi W. M., Abdul. Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Paramadina, 2001.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami Hermeneutik Dari Schleiermacher Sampai Derrida, Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Kaelan. Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta: Paradigma Yogyakarta, 2002. Sumaryono, E. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1999.
[1] E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1999, hal. 104.
[2] Abdul Hadi W.M., Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Paramadina, 2001, hal. 55-56.
[3] Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an, Jakarta: GIP, 2005, hal. l42.
[4] E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, hal. 106.
[5] Abdul Hadi W. M., Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri, hal. 61.
[6] Kaelan, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta: Paradigma Yogyakarta, 2002, hal. 231.
[7] F. Budi hardiman, Seni Memahami Hermeneutik Dari Schleiermacher Sampai Derrida, Yogyakarta: kanisius, 2015, hal. 269.