Hermeneutika dalam Al-Qur’an merupakan istilah yang masih asing dalam wacana pemikiran Islam. Dalam diskursus penafsiran al-Qur’an tradisional lebih banyak mengenal istilah at-Tafsir, at-Ta’wil dan al-Bayan. Tentunya ini tidak mengherankan, sebab tidak dijelaskan sebelumnya bahwa istilah hermeneutika merupakan kosakata filsafat Barat yang diadopsi dan digunakan belakangan oleh beberapa pemikir Muslim kontemporer dalam merumuskan metodologi baru penafsiran al-Qur’an.
Hermeneutika berasal dari mitologi Yunani, Hermes, dewa yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan kepada manusia, dimana Hermes harus mampu menerjemahkan pesan yang dibawa ke dalam bahasa yang digunakan manusia. Pada dasarnya medium pesan adalah bahasa, baik lisan maupun Bahasa tulisan. Jadi, penafsiran lewat bahasa, bukan bahasa itu sendiri.[1]
Penafsiran terhadap kitab suci al-Qur’an telah berjalan sejak ayat pertama al-Qur’an turun pada Nabi Muhammad Saw, Nabi sendiri telah menafsirkan beberapa ayat al-Qur’an. Tafsir al-Qur’an yang langsung dilakukan oleh Nabi adalah tafsir bil-manqul. Dalam perkembangan selanjutnya para ulama menyusun sebuah disiplin ilmu untuk penafsiran terhadap al-Qur’an, yakni ulūm al-tafsīr.[2]
Meskipun teks al-Qur’an demikian inspiratif, namun cukup mengherankan bahwa dalam sejarahnya ternyata perbincangan mengenai problem hermeneutik tidak muncul seiring dengan kemunculan teks al-Qur’an dalam sejarah. Dan istilah hermeneutik sendiri dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya ilmu tafsir al-Qur’an klasik, memang tidak ditemukan. Istilah tersebut kalau melihat perkembangan hermeneutika justru popular ketika Islam dalam masa kemunduran.
Perdebatan tentang penafsiran al-Qur’an melalui hermeneutika dan tentang penerapan hermeneutika hingga saat ini masih dimunculkan dikalangan para ulama dan sarjana Islam. Pro dan kontra pun terjadi dan tidak dapat dihindari. Sebagian dari mereka menolak hermeneutika secara totalitas. Sebagian yang lain menerimanya secara keseluruhan dan sebagian yang lain lagi berusaha menengah–nengahi perbedaan pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa sebagian teori hermeneutika dipandang diterima dalam kajian keislaman.
M. Amin Abdullah, rektor UIN Yogyakarta dikenal sangat gigih dan rajin dalam memperjuangkan penggunaan heurmenetika dalam penafsiran al-Qur’an. Ia menyebut heurmenetika sebagai kebenaran yang harus disampaikan kepada umat Islam, meskipun banyak yang mengkritiknya.[3]
Seperti Adian Husaini, menolak hermeneutika secara mutlak, sementara Quraish Shihab, seorang professor dalam bidang tafsir al-Qur’an dan salah satu penafsir, memiliki pandangan berbeda mengenai heremenutika, beliau menyatakan bahwa teori dan metode dalam hermeneutika bisa digunakan dalam memahami al-Qur’an.
Adian Husaini lahir di Bojonegoro, Jawa timur, 17 Desember 1965. Saat ini sebagai kandidat Doktor bidang pemikiran dan peradaban Islam di International Institute of Islamic Thought and Civilization-International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM). Akivitasnya saat ini adalah sebagai ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), wakil ketua komisi Kerukunan Umat Beragama MUI, Pengurus Majlis Tabligh PP Muhammadiyah, anggota Dewan Direktur di Institute for the Study of Islamic Thought and Civilazation (INSISTS) dan redaksi Majalah ilmiah ISLAMIA, serta pemimpin Redaksi jurnal Al-Insan. Juga, secara rutin, menulis Catatan Akhir Pekan (CAP) untuk Radio DAKTA 107 FM dan website www. Hidayatullah.com.
Adian Husaini mengkritik tentang para pemikir Islam di Indonesia maupun di Timur Tengah yang menggunakan metode hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an. Adian juga mengkritik penetapan metode hermeneutika sebagai mata kuliah wajib di jurusan tafsir hadis. Menurutnya hal ini merupakan masalah yang serius dalam pemikiran dan studi Islam di Indonesia, kini dan masa mendatang. Dengan hermeneutika, maka hukum–hukum islam yang selama ini sudah disepakati kaum Muslimin bisa berrubah. Dengan hermeneutika, bisa keluar produk hukum yang menyatakan wanita boleh menikah dengan laki–laki non-Muslim, khamr menjadi halal, laki–laki punya masa iddah seperti wanita, atau wanita punya hak talak sebagaimana laki–laki, atau perkawinan homoseksual/lesbian menjadi halal. Semua perubahan itu bisa dilakukan dengan mengatasnamakan “tafsir kontekstual” yang dianggap sejalan dengan perkembangan zaman.
Sebagai metode yang berasal dari Barat dan digunakan pada awalnya untuk mengkritisi kitab suci Bibel, sebagian kalangan muslim menolak hermeneutika bila digunakan untuk menafsirkan al-Qur‟an. Tokoh yang menolak hermeneutika pada umumnya menganggap metode ini berbeda dengan prinsip dan metode tafsir yang selama ini telah digunakan oleh ulama.[4] Adian Husaini mengemukakan terdapat tiga persoalan besar apabila hermeneutika diterapkan dalam tafsir al-Qur’an: pertama, Hermeneutika menghendaki sikap yang kritis dan bahkan cenderung curiga. Sebuah teks bagi seorang hermeneut tidak bisa lepas dari kepentingan-kepentingan tertentu, baik dari si pembuat teks maupun budaya masyarakat pada saat teks itu dilahirkan; kedua, hermeneutika cenderung memandang teks sebagai produk budaya (manusia), dan abai terhadap hal-hal yang sifatnya transenden (ilahiyyah); ketiga, aliran hermeneutika sangat plural, karenanya kebenaran tafsir ini menjadi sangat relatif, yang pada gilirannya menjadi repot untuk diterapkan.[5]
DAFTAR PUSTAKA
Kutha, Ratna Nyoman. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011.
Jalaluddin, Al-Suyuthi. al-Itqon fi Ulum Alqur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987.
Adian, Husaini. dan Abdurrahman Al-Baghdadi. Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an. Depok: Gema Insani, 2008.
Argo, Victoria. dan Abdullah Kelib. “Kontroversi Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir”. Jurnal Hukum Khaira Ummah, Vol. 12. No. 1 Maret 2017. Adian, Husaini. Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Gema Insani, 2006.
[1] Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hal. 45.
[2] Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqon fi Ulum Alqur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987), hal. 16.
[3] Adian Husaini dan Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an. Depok: Gema Insani, 2008, hal. 3.
[4] Argo Victoria dan Abdullah Kelib, “Kontroversi Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir”, Jurnal Hukum Khaira Ummah, Vol. 12. No. 1 Maret 2017, hal. 4.
[5] Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Gema Insani, 2006, hal. 153-155.