Memahami Sebagai Metode Ilmiah (Dilthey dan Hermeneutik Ilmu-ilmu Sosial-Kemanusiaan)

ssl.com

Dewasa ini, ada kecenderungan di kalangan para pemikir Muslim kontemporer untuk menjadikan hermeneutik sebagai mitra,[1] pendekatan atau bahkan sebagai pengganti ilmu tafsir Al-Qur’an. Dilthey dan hermeneutik modern kritik atas positivisme “Lebens Philosophie” konsep Verstehen dan Erklaren roh obyektif penghayatan, ungkapan, dan memahami konsep Nacherlebben lingkaran hermeneutik serta membahas posisi Dilthey di dalam sejarah hermeneutik modern. Seandainya tokoh yang dibahas ini tidak bersikeras mengembangkan hermeneutik modern, yang diwariskan kepada kita hari ini tak lain dari pada kembalinya hermeneutik pada bidang-bidang khusus, sebagaimana tampak dalam pemikiran Von Humboldt, Steinthal, Bockh, Von Ranke, Droysen, dan Von Savigny. Hermeneutik universal yang dirintis oleh Schleiermacher kiranya akan ditinggalkan. Metodologi tafsir ulama klasik, diasumsikan terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik, terlalu memberhalakan teks dan mengabaikan realitas.[2]

Apa itu hermeneutik? Secara harfiah, hermeneutik artinya tafsir. Secara etimologis, istilah hermeneutik dari bahasa Yunani hermeneuin yang berarti menafsirkan. Istilah ini merujuk kepada seorang tokoh mitologis dalam mitologi Yunani yang dikenal dengan nama Hermes. Di kalangan pendukung hermeneutik ada yang menghubungkan sosok Hermes dengan Nabi Idris. Dalam mitologi Yunani, Hermes dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan dewa kepada manusia. Dari tradisi Yunani, hermeneutik berkembang sebagai metodologi penafsiran Bibel, yang dikemudian hari dikembangkan oleh para teolog dan filsuf di Barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. The New Encyclopedia Britannica menulis bahwa hermeneutik adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bibel (the study of the general principle of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutik adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bibel. Dalam sejarah interpretasi Bibel, ada empat model utama interpretasi Bible, yaitu: (1) literal interpretation, (2) moral interpretation, (3) allegorical interpretation, dan (4) anagogical interpretation. Hermeneutika bukan sekadar tafsir, melainkan satu “metode tafsir” tersendiri atau satu filsafat tentang penafsiran, yang bisa sangat berbeda dengan metode tafsir Al-Qur’an.[3]

Hermeneutik sebagai sebuah teori dan metode penafsiran, setidaknya dapat diklasifikasikan dalam tiga model; Pertama, hermeneutik objektif yang dikembangkan tokoh-tokoh klasik, khususnya Friedrick Schleiermacher (w. 1834 M), Wilhelm Dilthey (w. 1911 M) dan Emilio Betti (w. 1968 M). Menurut model pertama ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang dimaksudkan pengarang, sebab apa yang disebut teks menurut Schleiermacher, adalah ungkapan jiwa pengarangnya sehingga seperti juga disebutkan dalam hukum Betti, apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan kita melainkan diturunkan dan bersifat intruksi.[4] Kedua, hermeneutik subjektif yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh modern khususnya Hans Georg Gadamer (w. 2002 M) dan Jacques Derida. Menurut model yang kedua ini, hermeneutik bukan usaha menemukan makna objektif yang dimaksud sipenulis seperti yang diasumsikan dalam model hermeneutik objektif melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri, Ketiga, hermeneutik pembebasan yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh muslim kontemporer seperti Hasan Hanafi, Farid Esack, dan termasuk Nasr Hamid Abu Zaid. Hermeneutik ini sebenarnya didasarkan atas pemikiran hermeneutik subjektif, khususnya dari Gadamer. Namun, menurut para tokoh hermeneutik pembebasan ini, hermeneutik mestinya tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau metode pemahaman tetapi lebih dari itu adalah aksi.[5]

Pokok Gagasan Hermeneutik Dilthey bertolak dari pendirian Schleiermacher bahwa untuk memahami suatu teks kita harus menempatkannya di dalam konteks kehidupan penulisnya, dan konteks kehidupan terdiri atas masyarakat, kebudayaan dan sejarah, maka hermeneutic dapat menjadi dasar proses memahami di dalam ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan. Salah satu jalan masuk untuk mengenali hermeneutic Dilthey adalah tujuan filsuf ini dalam memakai hermeneutik. Tujuan Dilthey adalah member justifikasi rasional atas ilmu-ilmu tentang manusia dan masyarakat.

Kritik terhadap hermeneutik versi Dilthey

Memahami Dunia Sosial-Historis, kekhasan obyek hermeneutik Dilthey, saya sudah menjelaskan bagaimana Dilthey mendasarkan Verstehen sebagai metode ilmu-ilmu kemanusiaan. Di dalam bagian ini saya akan membahas lebih jauh kekhasan hermeneutik Dilthey sebagai seni memahami dunia sosial historis secara ilmiah. Ada kesamaan dan perbedaan antara memahami karya-karya seorang pengarang, seperti buku, dokumen atau surat-surat, dan memahami manusia dan masyarakat atau apa yang disebut Dilthey “dunia sosial historis”. Kesamaannya adalah bahwa keduanya merupakan jejaring atau susunan simbol-simbol yang bermakna. Kesamaan antara karya-karya, seperti surat-surat R.A. Kartini, surat-surat Paulus.[6]

Kesimpulan

Dilthey tidak hanya melanjutkan atau mengembangkan hermeneutik Schleiermacher, melainkan juga memakai hermeneutik untuk memberi pendasaran epistemologis bagi metode Geisteswissenschaften. Kontribusinya adalah membuka wawasan lebih luas bagi hermeneutik modern dalam konteks ilmu-ilmu sosial kemanusiaan. Peneliti dunia sosio-historis memahami objek penelitiannya tidak lewat introspeksi, melainkan lewat interpretasi atas makna hasil-hasil objektivikasi kehidupan atau kebudayaan. Hermeneutik Dilthey membuka perspektif antropologis dan ontologism bagi hermeneutik selanjutnya tentang historisitas manusia. Manusia adalah makhluk sejarah, maka tidak memiliki “hakikat” atau “kodrat” tetap yang sudah final. Ia berubah lewat waktu. Begitu juga makna bukanlah substansi yang tetap, melainkan berciri historis, maka berubah lewat waktu.

Daftar Pustaka

Faiz, Fahruddin. Hermeneutika Al-Quran: Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta: ELSAQ, 2005.

Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: PT Kanisuus, 2015.

Husaini, Adian dan Abdurrahman Al-Baghdadi. Hermeneutika & Tafsir Al-Quran. Depok: Gema Insani, 2007.

Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas, diterjemahkan oleh  Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1985.

Syamsuddin, Sahiron. et.al., Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya. Yogyakarta: Islamika, 2003. Wijaya, Aksin. Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.


[1] Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hal. 175.

[2] Sahiron Syamsuddin, et.al., Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, Yogyakarta: Islamika, 2003, hal. 5.

[3] Adian Husaini dan Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika & Tafsir Al-Quran, Depok: Gema Insani, 2007, hal. 7.

[4] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, diterjemahkan oleh  Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1985, hal. 9-10.

[5] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Quran: Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta: ELSAQ, 2005,  hal. 192

[6] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: PT Kanisuus, 2015, hal. 78-80.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *