Pembicaraan mengenai hermeneutik dan kajian tafsir Al-Qur’an barangkali secara teknis terlihat berada di wilayah yang berbeda, namun pada prinsipnya memiliki kesamaan, karena pada dasarnya keduanya berbicara mengenai teks untuk kemudian menuntun kita pada tahap bagaimana cara memahaminya. Tulisan ini akan mencoba melihat relevansi antara hermeneutik yang digagas oleh Heidegger dengan kajian tafsir Al-Qur’an.
Martin Heidegger lahir di Messkirch sebuah kota kecil di Jerman pada tanggal 26 September 1889. Heidegger mulai belajar teologi di Universitas Freiburg, di sana ia mengenal hermeneutik sekaligus mengkaji pemikiran Schleiermacher dan Dilthey. Heidegger meninggal di Freiburg pada tanngal 26 Mei 1976.[1]
Berbicara mengenai hermeneutik, bagi Heidegger adalah dimulai dari pertanyaan tentang apa itu memahami. Menurut Heidegger, memahami merupakan sebuah konsep ontologis. Konsep ini sekaligus mengkritik dua tokoh hermeneutik sebelumnya yakni Schleiermacher dan Dilthey. Namun demikian tidak bisa dipungkiri, konsep hermeneutik Heidegger tidak akan hadir tanpa dua pendahulunya itu. Pengertian kedua perintis hermeneutik modern itu dapat kita sebut sebagai konsep intelektual tentang memahami, yang terjebak di dalam lingkaran positivisme epistemologis. Sedangkan bagi Heidegger, memahami adalah sebagai sebuah konsep ontologis, atau juga disebut sebagai cara berada Dasein.[2] Heidegger menggunakan istilah Dasein untuk menyebut manusia agar dapat dibedakan dengan benda-benda. Dari istilah ini dimaksudkan bahwa manusia adalah sein yang berarti ada, dan da berarti di sana, yakni ada dalam dunia. Manusia tidak ada begitu saja, tetapi berkaitan dengan adanya sendiri. Karena itu, memahami selalu melekat pada kedirian manusia itu sendiri. Itu artinya, bagi Heidegger, manusia itu ada ketika ia dapat memahami eksistensi hidupnya.
Jika dikaji kemudian, hermeneutik yang digagas oleh Heidegger sebagaimana telah dijelaskan di atas, sejatinya secara langsung berkaitan erat dengan kajian tafsir Al-Qur’an. Menurut Amin Abdullah, hubungan keduanya itu bersifat terbuka karena keduanya sebenarnya saling mengisi satu dengan yang lain.[3]
Dalam kajian Ulumul Qur’an, kata tafsîr yang secara etimologi berarti kasyf (membuka) dan bayân (menjelaskan), oleh Al-Zarkasyi didefinisikan dalam konteks Al-Qur’an yaitu sebagai memahami kitab Allah yang diturunkan kepada nabi-Nya Muhammad Saw, menjelaskan makna-maknanya, dan mengeluarkan hukum-hukumnya serta hikmah-hikmahnya.[4]
Jika dilihat, penjelasan dari istilah hermeneutik Dasein Heidegger yang berkaitan dengan proses bagaimana sebuah pemahaman terjadi, dapat melengkapi definisi di atas. Menurut Fahruddin Faiz, memahami bagi Heidegger merupakan ciri hakiki manusia. Memahami dan menafsir adalah bentuk paling mendasar dari keberadaan manusia.[5] Karena itu, melihat definisi di atas, hermeneutik Heidegger ini dibutuhkan dalam kajian tafsir Al-Qur’an.
Bagi Heidegger, pemahaman adalah ciri hakiki Dasein yang paling asli. Pemahaman merupakan dasar bagi semua penafsiran, senantiasa hadir dalam setiap kegiatan penafsiran. Menurut Heidegger, keseluruhan pemahaman itu bersifat temporal, intensional, historisitas. Dari konsepsi pemahaman Heidegger tersebut dapat didefinisikan bahwa pemahaman lebih dari sekedar proses mental, melainkan proses ontologis, bukan sebagai studi mengenai proses kesadaran dan ketidaksadaran, namun sebagai pengungkapan apa yang sebenarnya bagi manusia. Dengan demikian, konsepsi Heidegger tersebut sebenarnya dapat melengkapi kajian tafsir Al-Qur’an.
Hermeneutik Heidegger ini juga dibutuhkan dalam kajian tafsir Al-Qur’an di tengah maraknya tafsir-tafsir yang bercorak eksklusif bahkan fanatis.[6] Oleh karena itu, keberadaan hermeneutik Heidegger patut untuk diberi tempat dalam khazanah tafsir Al-Qur’an. Bagi Heidegger, pemahaman manusia tidak pernah bersifat objektif, karena selalu ada prasangka-prasangka yang melingkupi keseharian manusia. Demikian pula dalam memahami tafsir, manusia harus senantiasa bersifat inklusif dan mau menghormati pemahaman yang berbeda, karena pada dasarnya, hasil penafsiran tidak pernah lepas dari konstruksi pemahaman yang telah ada dalam benak si penafsir itu sendiri. Dengan demikian, dalam rangka mengembangkan khazanah tafsir yang inklusif, agaknya intergrasi hermeneutik yang digagas oleh Heidegger ini adalah sesuatu yang tidak terelakkan.
Akhirnya, betapapun tulisan ini cukup singkat, tetapi setidaknya dapat memberikan gambaran tentang hermeneutik ala Heidegger berikut relevansinya terhadap kajian tafsir Al-Qur’an. Sejatinya hermeneutik Heidegger yang menjelaskan tentang seni memahami sebagai sebuah konsep ontologis ini dapat memperkuat wacana kajian tafsir Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Studi Islam: Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Al-Zarkasyi. Al-Burhân fî Ulûm Al-Qur’ân. Mesir: Isa Al-Babi Al-Halabi, 1957.
Arif, Muhammad. “Hermeneutika Heidegger dan Relevansinya terhadap Kajian Al-Qur’an”. Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis, Vol. 16 No. 1 Januari 2015.
Faiz, Fahruddin. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, Melacak Hermeneutika Tafsir Al-Manar dan Tafsir Al-Azhar. Yogyakarta: Qalam, 2003.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius, 2015. Muaz, Abdul. “Hermeneutika dan Mewaktu Bersama Heidegger”. Jurnal Studi Hadis Nusantara, Vol. 2 No. 2 Desember 2020.
[1] Abdul Muaz, “Hermeneutika dan Mewaktu Bersama Heidegger”, dalam Jurnal Studi Hadis Nusantara, Vol. 2 No. 2 Desember 2020, hal. 145.
[2] F. Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: Kanisius, 2015, hal. 126.
[3] M. Amin Abdullah, Studi Islam: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal. 134.
[4] Al-Zarkasyi, Al-Burhân fî Ulûm Al-Qur’ân, Mesir: Isa Al-Babi Al-Halabi, 1957, hal. 3.
[5] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, Melacak Hermeneutika Tafsir Al-Manar dan Tafsir Al-Azhar, Yogyakarta: Qalam, 2003, hal. 33.
[6] Muhammad Arif, “Hermeneutika Heidegger dan Relevansinya terhadap Kajian Al-Qur’an”, dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis, Vol. 16 No. 1 Januari 2015, hal. 100.