Dalam diskursus Islam, hermeneutik adalah tafsir, takwîl, bayân, syarh dan sebutan lainnya. Dalam kajian ushul al-fiqh cara atau teori memahami atau menafsirkan teks-teks Al-Qur’an, hadis atau sumber lainnya dikenal dengan istilah “al-istidlâl bi al-alfâzh”. Di kalangan mufasir telah membudayakan penafsiran Al-Qur’an yang luar biasa, yang kemudian dikenal dengan ilmu tafsir. Kecenderungan mereka berkonsentrasi pada pengembangan berbagai kaidah untuk menemukan kandungan teks berdasarkan masa dan tempat turunnya.[1] Para ulama tafsir lebih menekankan pada aspek lafaz dalam budaya analisis tradisional.
Jurgen Habermas seorang filosof modern Jerman memiliki pandangan bahwa, pada dasarnya harmeneutik membutuhkan dialog, sebuah proses memahami/interpretasi adalah proses kerja sama dimana pesertanya saling berhubungan diri satu dengan yang lainnya secara serentak di lebenswelt atau dunia kehidupan. Lebenswelt mempunyai tiga aspek, yaitu: dunia objektif, dunia sosial, dunia subjektif.[2] Dalam pembahasan ini, ada beberapa hal yang perlu diketahui ketika kita memasuki zona kawasan hermeneutik Jurgen Habermas. Pertama, Habermas sendiri dalam kapasitas intelektual lebih dikenal sebagai pemikir ilmu-ilmu sosial. Kedua, Habermas adalah seorang filosof yang berusaha “mengawinkan” dimensi teori dan praksis melalui prespektif hermeneutika. Maka wajar bila hasil pengawinan ini muncul dalam istilah Habermas dengan konsep hermeneutik kritis-komunikatif.
Habermas membedakan metode interpretasi ke dalam bentuk antara pemahaman dan penjelasan. Ia memperingatkan kita bahwa, kita tidak dapat memahami sepenuhnya makna suatu fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasikan. Bahkan kita tidak dapat menginterpretasikan fakta secara tuntas. Habermas menyatakan bahwa selalu ada makna yang bersifat lebih dan tersirat, yang tidak dapat dijangkau oleh interpretasi dangkal manusia, yaitu yang terdapat didalam hal-hal yang bersifat tidak teranalisiskan, tidak dapat dijabarkan, di dalam kapasitas pemikiran manusia[3]. Semua hal tersebut mengalir secara terus-menerus didalam hidup kita.
Pemahaman hermeneutik ini sedikit berbeda dari jenis pemahaman yang lainnya sebab pemahaman hermeneutik diarahkan pada konteks tradisional tentang makna. Habermas membicarakan tentang pemahaman monologis atas makna, yaitu pemahaman yang tidak melibatkan hubungan-hubungan faktual tetapi mencakup bahasa-bahasa murni, seperti misalnya bahasa simbol.[4] Dari pembedaan itu kita mengetahui bahwa monologika adalah pemahaman atas simbol-simbol yang disebut Habermas sebagai bahasa murni, karena simbol-simbol mempunyai makna yang definitif, sebagaimana terdapat dalam setiap rumusannya.[5] Dapat dikatakan bahwa proyek hermeneutik Habermas adalah proyek hermeneutik sosio-kritis, yang berangkat dari sisi epistemologis pemahaman manusia maupun sisi metodologis dan pendekatan komunikatif baik dalam teks, tradisi maupun institusi masyarakat.
Selain dari pemikiran konsep harmeneutik Habermas yang kritis dan berbeda, tujuan dipelajarinya konsep hermeneutik itu adalah untuk mengkaji dan menginterpretasi hal-hal yang berkenaan dengan teks-teks kitab suci agama-agama.[6] Kelayakan teks kitab suci ditengah masyarakat dewasa ini kadang masih dipertanyakan, sebab relevansinya dirasa kurang cocok dengan kondisi sekarang. Maka, salah satu tawaran atau konsep yang kiranya dapat diterapkan adalah dengan merujuk pada teori-teori hermeneutik yang dirasa sesuai dengan kondisi masyarakat yang berpedoman pada teks-teks tersebut.
Berangkat dari sudut pandang diatas, ada beberapa agenda atau tawaran dari Habermas mengenai konsep harmeneutik yang patut dipertimbangkan untuk diaplikasikan dalam menginterpretasi pemahahan kitab suci. Dari pelajaran yang dapat kita ambil dari Habermas adalah mengenai proyek peradaban kritis-komunikatif. Hermeneutik Habermas adalah dealektis, dimana antara subjek dan objek teks yang ditafsir memiliki hak untuk menyodorkan wacana dirinya secara terbuka.[7] Tidak ada dominasi karena disana ada saling kritik-konstruktif-dinamis. Wacana kritik-komunikatif ini dapat diambil sebagai pelajaran yang berharga dalam studi Islam. Khususnya dalam pengembangan pemikiran terhadap Al-Qur’an. Pemikiran tentang pemahaman Al-Qur’an (tafsir) selama ini telah dikultuskan lebih dari posisinya yang sebagai produk budaya manusia yang tentu ada kesalahan dalam memahami Al-Qur’an itu sendiri. Dari sini kiranya tidak ada salahnya apabila dirumuskan kembali reorientasi pemahaman terhadap teks Al-Qur’an yang berwacana suprioritas Al-Qur’an menuju Al-Qur’an yang komunikatif. Memang, Al-Qur’an merupakan kitab atau kalam ilahi yang tidak salah. Akan tetapi, penafsiran-penafsiran yang selama ini dianggap semua benar harus dipertanyakan kembali mengingat bahwa banyak tafsiran yang kiranya tidak relevan lagi dengan kondisi masyarakat yang ada. Maka dari itu diperlukan suatu paradigma berpikir berbeda yang tidak bisa dilepaskan dari Al-Qur’an sendiri sebagai produk budaya manusia dalam menangkap eksistensi Tuhan. Kerangka inilah yang disebut sebagai “Al-Qur‘an Komunikatif” dimana setiap individu diberi kebebasan dan ruang gerak seutuhnya dalam menginterpretasikan Al-Qur’an sebagai kebenaran menurut ukuran manusia itu sendiri. Al-Qur’an tidak bisa menunjukkan kebenarannya tanpa didukung oleh pandangan kebenaran dari diri manusia. Jadi, kebenaran Al-Qur’an adalah kebenaran yang bersifat manusiawi dan sudah sewajarnya jika manusia diberi ruang dalam menginterpretasikan Al-Qur’an.
Konsep hermeneutik kritik Habermas ini merupakan jenis hermeneutik yang berusaha memadukan antara objektifitas dengan subjektifitas, antara yang saintis dengan filosofis, antara yang ontentik dengan yang artikulatif. Teori kritis juga berusaha untuk menelanjangi teori tradisional, karena ia memposisikan objek sebagai sesuatu yang tak tersentuh alias objektif, apa adanya. Sehingga sulit ditangkap maknanya oleh manusia. Hal ini menjadikan objek terkesan sangat sakral dan harus diterima secara bulat-bulat.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. Filsafat Barat abad XX Ingris-Jerman. Jakarta: Gramedia, 1990.
Fahruddin, Arif. Jurgen Habermas dan Program Dialektika Hermeneutika-Sains, dalam Hermeneutika Transendental, dari Konfigurasi filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Atho’ Nafisul dkk. Yogyakarta: IRciSoD, 2003.
Mustaqim, Abd. “Etika Emansipatoris Jurgen Hebermas dan Imolikasinya di Era Pluralisme.” Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam, Vol. 2 No. 1 Tahun 2002.
Rick Roderick, Hebermas and the Foundation of Critical Theory, New York: St. Martins Press, 1980.
Salim, Fahmi. Kritik terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal. Jakarta: Gema Insani, 2012.
Zuhri. “Hermeneutika dalam pemikiran Habermas.” Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam, Vol. 4 No. 1 Tahun 2004.
[1] Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, Jakarta: Gema Insani, 2012, hlm. 138.
[2] Arif Fahruddin, Jurgen Habermas dan Program Dialektika Hermeneutika-Sains, dalam Hermeneutika Transendental, dari Konfigurasi filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Atho’ Nafisul dkk. Yogyakarta: IRciSoD, 2003, hlm. 188.
[3] K. Bertens, Filsafat Barat abad XX Ingris-Jerman, Jakarta: Gramedia, 1990, hlm. 213.
[4] Zuhri, “Hermeneutika dalam pemikiran Habermas,” Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam, Vol. 4 No. 1 Tahun 2004. hlm. 15-16.
[5] Rick Roderick, Hebermas and the Foundation of Critical Theory, New York: St. Martins Press, 1980, hlm. 100.
[6] Abd. Mustaqim, “Etika Emansipatoris Jurgen Hebermas dan Imolikasinya di Era Pluralisme, Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam, Vol. 2 No. 1 Tahun 2002, hlm. 21.
[7] Arif Fahruddin, Jurgen Habermas dan Program Dialektika Hermeneutika-Sains, dalam Hermeneutika Transendental, dari Konfigurasi filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Atho’ Nafisul dkk, Yogyakarta: IRciSoD, 2003, hlm. 47.