Tidak mudah memang memahami frasa “melenyapkan diri, memunculkan Allah” bila tidak dilengkapi dengan uraian-uraian dan pemahaman sufisme tasawuf. Merujuk pada penjelasan Imam Al-Qusyayri dalam kitabnya, pada waktu seseorang itu fana atau sedang dalam suasana ekstase bukanlah berarti dirinya lenyap sama sekali. Dirinya dengan segenap alam tetap ada, tetapi ia tidak mengetahui dan tidak menyadarinya karena hanyut dalam samudera luas kebesaran dan keagungan Ilahi.
Kondisi fana seseorang ketika taqarrub mendekat pada Allah SWT dengan zikir dan wirid-nya seperti fana atau lenyapnya bintang- bintang yang amat banyak itu karena munculnya matahari. Bintang-bintang itu tampak jelas bila tidak muncul matahari. Tetapi, ketika matahari itu muncul dengan cahayanya yang demikian kuat dan luas, maka lenyaplah bintang-bintang yang bertaburan itu dalam pandangan manusia yang berada di bumi, sebab munculnya matahari.
Uraian yang bersifat filosofis dengan pendekatan logika deduktif itu juga terkadang masih dianggap oleh sementara orang bukan dan tidak sama sekali terkait dengan Islam, sehingga dianggap nonsense bahkan bid’ah.
Memahami fana atau ekstase, dapat juga dilakukan dengan pendekatan non-filosofis yaitu mengkaji isi kandungan ayat al-Qur’an pada QS. Yusuf/12: 30-31. Allah SWT menyebut kisah Nabi Yusuf as dalam al-Qur’an dengan ahsan al-qashash biografi terbaik dunia karena di dalamnya kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan serta nilai-nilai luhur kehidupan living values sekaligus dapat menguak misteri kehidupan manusia.
Seperti sudah diketahui, Nabi Yusuf as memiliki paras dan tampilan fisik serta akhlaq dan perilaku yang amat terpuji. Karenanya, menawan hati siapa saja. Tidak terkecuali Zulaykha istri Qithmir, Wazir Mesir. Kehadiran Yusuf muda di rumahnya telah membuat dirinya “mabuk kepayang”. Karena kebetulan suaminya tidak dapat memberikan kebahagiaan maksimal padanya secara seksual (lihat: Tafsiir Jalaalayn).
Muncul rumor, gosip meluas di hampir seantero Mesir. Para wanita Mesir menggunjingnya. Kondisi ini membuat Zulaykha merancang pertemuan yang dihadiri banyak istri pejabat lokal dan pusat di Mesir. Disajikanlah makanan dan buah-buahan, diberikanlah pada masing-masing tamu wanita yang hadir itu pisau. Yusuf mudapun diminta keluar menampakkan diri di depan mereka.
Tatkala para tamu wanita itu melihat Yusuf melintas di hadapan mereka, mereka terkagum-kagum terpesona melihatnya, tanpa disadari pisau di tangan mereka melukainya. Terlontar ucapan mereka, “Mahasempurna Allah, ini bukanlah manusia. Ini benar-benar malaikat yang mulia” (QS. Yusuf/12: 31).
Keindahan wajah dan tampilan Yusuf as demikian mempesona para tamu wanita itu sehingga tanpa terasa tangan mereka tersayat pisau. Analogi dari kejadian faktual itu dapat menjelaskan mengapa orang bisa fana bahkan terlontar ucapan dan kalimat syathahaat.
Untuk sampai taraf itu, kepada para pencinta Allah swt tentu telah melewati lebih dahulu tahapan- tahapan sufisme yaitu ridhaa (senang), mahabbah (cinta Allah), dan isyq atau asyik ma’syuk pada taqarrub ilal Llaah, mendekat pada Allah SWT. Tahapan sufistik ini sangat penting untuk sampai pada derajat ma’rifat pada Allah SWT. Selamat terus memahami begitu banyak misteri dalam hidup. Untuk sampai pada taraf mengenal Allah SWT dengan paripurna, Allah SWT mencintai setiap hamba-Nya yang mendekat pada-Nya.[]
Editor: AMN